DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Forum Bangun Investasi Aceh (Forbina) menentang rencana penambahan batalyon pasukan ke Aceh untuk mendukung program pangan nasional. Direktur Forbina, Muhammad Nur, menegaskan bahwa langkah tersebut dinilai tidak strategis dan berpotensi mengabaikan prinsip perdamaian yang telah disepakati dalam MoU Helsinki.
“Aceh adalah lumbung pangan nasional. Selama ini, sektor pertanian telah menjadi tulang punggung ekonomi yang membantu petani lokal. Penambahan pasukan dalam bentuk batalyon bukan solusi tepat. Justru, yang diperlukan adalah optimalisasi peran institusi yang sudah ada, seperti Pangdam atau Kodim, sebagai koordinator lapangan bersama petani terpilih,” ujar Muhammad Nur dalam keterangan di kirimkan khusus ke Dialeksis, Sabtu (10/5).
Nur menjelaskan, Aceh memiliki sejarah panjang sebagai daerah bekas konflik. MoU Helsinki yang diperjuangkan melalui meja perundingan internasional pada 2005 telah menjadi landasan transformasi Aceh menuju perdamaian. Menurutnya, kehadiran pasukan tambahan berisiko memicu ketidaknyamanan masyarakat, terutama jika tidak disertai koordinasi yang transparan dengan pemangku kepentingan lokal, termasuk Wali Nanggroe.
“Presiden perlu mempertimbangkan kembali keputusan ini. Program pangan nasional harus sejalan dengan kebutuhan riil Aceh. Daripada mengirim pasukan, lebih baik pemerintah fokus pada penciptaan lapangan kerja bagi pemuda dan petani. Saat ini, banyak anak muda Aceh yang menganggur karena keterbatasan akses ekonomi. Program presiden semestinya bisa mengakomodir mereka melalui pelatihan, pendanaan, atau pendampingan usaha tani,” tegasnya.
Nur menambahkan, kolaborasi antara TNI (melalui Pangdam/Kodim) dengan petani terpilih dinilai lebih efektif. Menurutnya, TNI memiliki kapasitas logistik dan jaringan yang dapat dimanfaatkan untuk distribusi hasil pertanian, sementara petani menyediakan produk unggulan. Sinergi ini, kata dia, tidak hanya mendukung ketahanan pangan tetapi juga menggerakkan ekonomi lokal tanpa mengesankan Aceh sebagai wilayah yang perlu diawasi ketat.
“Forbina mendorong agar pemerintah pusat menghormati semangat otonomi khusus Aceh. MoU Helsinki mengamanatkan pembangunan berkelanjutan dan partisipasi masyarakat dalam setiap kebijakan. Jika TNI ingin terlibat, harus dalam kerangka pendampingan, bukan melalui pendekatan militeristik yang berlebihan,” paparnya.
Lebih lanjut, Nur menekankan bahwa Aceh telah menunjukkan kontribusi nyata dalam sektor pertanian, seperti produksi padi, palawija, dan komoditas perkebunan. Data Dinas Pertanian Aceh mencatat, pada 2023, provinsi ini menyumbang 4,2% dari total produksi beras nasional. “Ini bukti bahwa petani Aceh mampu berperan tanpa intervensi struktural yang rumit. Yang dibutuhkan adalah dukungan infrastruktur, teknologi, dan pemasaran,” tuturnya.
Forbina juga mengingatkan agar pemerintah tidak mengulang kesalahan masa lalu dengan mengedepankan pendekatan keamanan di wilayah yang sedang membangun kepercayaan pascakonflik. “Kami berharap presiden mendengarkan aspirasi lokal. Strategi yang melibatkan semua pihak, termasuk Wali Nanggroe dan organisasi petani, akan lebih diterima masyarakat,” pungkas Nur.