kip lhok
Beranda / Liputan Khusus / Indepth / “Menggagalkan PLTA Batang Toru Dan Mereka Yang Membela”

"Menggagalkan PLTA Batang Toru Dan Mereka Yang Membela"

Sabtu, 27 April 2019 17:03 WIB

Font: Ukuran: - +


PLTA Batang Toru, Sumatera Utara kini menjadi perhatian. Sejumlah LSM dituding sebagai pihak yang ingin menggagalkan proyek senilai Rp 21 trilyun ini. Aktor LSM yang bermain di sini tidak tanggung-tanggung, mulai level internasional dan nasional, serta lokal.

Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batangtoru, merupakan proyek strategis nasional (PSN) era pemerintahan Presiden RI, Joko Widodo. PLTA ini menjai "bulan-bulanan" sejumlah LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat). LSM ini melakukan "kampanye hitam" dengan mengemas isu orang utan dan isu lingkungan, sebut Akhiruddin, koordinator GERAK.

Direncanakan PLTA Batang Toru akan rampung pada tahun 2022. Kapasitas total hasil dari pembangkit ini mencapai 510 Mega Watt (MW), dari empat turbin pengegrak dengan tenaga 127,5 MW. Namun bagi pecinta lingkungan yang disebut sebut akan "menggagalkan " proyek ini, mereka justru berupaya menyelamatkan lingkungan.

Dua kepentingan yang sangat sulit dipertemukan. Pertarungan kepentingan itu kini sedang dipertaruhkan. Pada 30 April ini, sejumlah organisasi yang menamakan dirinya sebagai penyelamat lingkungan akan hadir ke Batang Toru, bahkan dengan membawa wartawan. Bagaimana kisah Batang Toru selanjutnya?

PLTA Batang Toru Sumatera Utara akan rampung pada tahun 2022. PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE) yang mengerjakan proyek tersebut, terus berupaya agar pembangkit listrik ini dapat dinikmati masyarakat.

Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru di Tapanuli Selatan ini, keberadaannya akan mampu menghemat devisa sekitar USD 400 juta/tahun atau sekitar Rp5,6 tiliun rupiah/tahun. Selain penghematan devisa, PLTA Batang Toru adalah bagian dari komitmen Presiden RI dalam Paris Agreement, untuk mengurangi emisi karbon sebesar 29% pada tahun 2030.

PLTA ini akan berkontribusi mengurangi emisi karbon dioksida minimal 1,6 juta ton pertahun," kata Firman Taufick, Vice President Communications and Social Affairs PT PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE), perusahaan yang membangun PLTA Batang Toru.

Firman Taufick menyampaikan hal itu pada diskusi publik bertajuk Masa Depan Orang Utan dan PLTA Batang Toru, yang diselenggarakan Majalah Tempo di Gedung Tempo Jakarta, Kamis (4/4/2019) lalu.

Menurut Firman, keberadaan PLTA Batang Toru adalah sebagai salah satu solusi pemerintah dalam penghematan devisa dengan menggantikan pembangkit bertenaga diesel atau batubara, yang berbiaya lebih besar dan tidak ramah lingkungan.

"1,6 juta ton per tahun itu setara dengan kontribusi penyerapan karbon oleh 120.000 hektare wilayah hutan atau setara dengan 123 juta pohon," kata Firman. Dia juga menyebutkan, manfaat yang akan diperoleh masyarakat dan negara dari proyek energi baru terbarukan tersebut.

Karena sumber utama PLTA itu adalah air, kata Firman, maka pihaknya dapat dipastikan akan menjaga kondisi dan kualitas air sungai tersebut. "Jadi segala sesuatu yang terkait dengan air, kita harus konsen. Baik sungainya, wilayahnya, ya landscapenya, juga tentu people (manusia) nya," tegas Firman dalam diskusi yang dipandu oleh moderator dari Majalah Tempo, Bagja Hidayat.

Di tengah upaya Pemerintahan Joko Widodo memenuhi kebutuhan energi listrik terbarukan di Indonesia, banyak anasir-anasir asing melalui tangannya dalam bentuk lain seperti Non Goverment Organisation (NGO) yang memanfaatkan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal guna menggagalkan pembangunan PLTA Batang Toru.

Menurut Akhiruddin, Koordinator Presidium Gerakan Rakyat Antikorupsi (GeRAK) Indonesia, minimal ada 4 lembaga asing yang sangat getol dan secara terus menerus melakukan kampanye dan advokasi guna mewujudkan misinya membatalkan pembangunan PLTA Batang Toru.

Koordinator Presidium GeRAK Indonesia ini mengakui, memiliki dokumen penting yang menunjukkan hubungan keterkaitan antara lembaga asing tersebut satu sama lainnya, termasuk siapa penerima donasi lembaga asing itu di Indonesia.

Berdasarkan dokumen yang dimiliki, Akhiruddin menyebutkan nama-nama lembaga asing itu, diantranya PanEco merupakan lembaga yang berbasis di Swiss. Mighty Earth yang berkedudukan di Washinton DC Amerika Serikat, Jamescook Universtity Australia, dan Alliance of Leading Environmental Researchers and Thinkers (ALERT) yaitu suatu organisasi yang beranggotakan para ahli dan peneliti yang berjumlah 26 orang, yang berasal dari Amerika Serikat, Swiss, Francis, Australia, New Zealand, Colombia, Kolombia dan Brazil.

Lebih lanjut Koordinator GeRAK ini menjelaskan, bagaimana PanEco bekerja di Indonesia terutama di Sumatera Utara. PanEco bekerja melakukan advokasi dengan menggunakan isu penyelamatan orang utan melalui Sumatera Orangutan Concervation Program (SOCP).

Aktor kunci PanEco pada program SOCP terdiri dari 5 orang, yaitu Ian Singleton (Direktur Program), Davio Dellatore (Manajer Program), Gabriella Fredriksson (Kordinator Program Batangtoru), Graham Usher (Kepala Perlundungan Habitat), dan Matthew Nowak (Kepala Riset dan Monitoring).

Guna memudahkan akselarasi kegiatannya di lapangan, PanEco menggandeng mitra lokal yaitu Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) yang dimotori oleh Sofyan Tan dan Walhi Sumatera Utara. Tujuan utama PanEco, maupun YEL dan Walhi Sumut, agar Pemerintah Indonesia membatalkan pembangunan PLTA Batang Toru.

Selain itu, GeRAK Indonesia juga menjelaskan, peran ALERT dan Jamescook University dalam melakukan intervensi terhadap kedaulatan pemerintah, untuk menjalankan program-program strategis memenuhi kebutuhan energi listrik rakyat Sumatera Utara.

Menurut Akhiruddin,tanggal 10 Juli 2018, ALERT menyurati Presiden Joko Widodo, intinya mendesak agar Presiden menghentikan segala bentuk pembangunan PLTA Banangtoru. Mereka beralasan, karena dapat mengancam kelangsungan hidup Orangutan Sumatera, lingkungan hidup dan keanekaragaman hayati.

Berselang sebulan kemudian, tanggal 16 Agustus 2018 William F Laurance dari Jamescook University Australia juga menyurati Presiden Joko Widodo dengan tujuan agar Presiden membatalkan PLTA Batangtoru.

Akhiruddin mengambarkan, bahwa ALERT dan Jamescook senafas dengan PanEco. Hal ini dikarenakan aktor kunci ALERT adalah Gabriella Fresriksson dan William F Laurance. Di sisi lain Gabriella adalah figur kunci pada lembaga PanEco, sama halnya dengan William F Lurance di Jamescook University.

"Alert dan Jamescook University itu memiliki ruh yang sama dengan PanEco, karena figur sentral didalam Alert adalah Gabriella dan William, jadi mereka muncul dengan seribu wajah tapi sesungguhnya mereka satu", tegas Akhiruddin.

Belakangan juga terkuak pemain lainnya yaitu lembaga yang berbasis di Washinto DC Amerika Serikat yaitu Maghty Earth yang dimotori oleh Glenn Hurowitz. Mighty Earth adalah organisasi kampanye global yang bekerja untuk melindungi hutan tropis, lautan, dan iklim.

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari laman Mighty Earth, lembaga ini telah memainkan peran utama dalam membujuk perusahaan makanan dan pertanian terbesar dunia. Mereka ingin agar perusahaan pertanian terbesar di dunia ini mengadopsi kebijakan mereka, untuk menghilangkan deforestasi dan pelanggaran hak asasi manusia dari rantai pasokan mereka. Serta mendorong upaya pengalokasian multi-milliar dolar untuk energi bersih.

Dalam suratnya yang juga ditujukan kepada Presiden Joko Widodo, Mighty Earth mendesak Presiden untuk mengambil tindakan heroik untuk melindungi spesies orangutan Tapanuli dengan membatalkan usulan pembangunan proyek bendungan Batang Toru.

Akhiruddin menilai surat Mighty Earth ini ambivalen, di satu sisi mendukung program pengurangan kenaikan emisi, tapi di sisi lain menolak program PLTA yang berkontribusi terhadap program pengurangan emisi.

"Surat ini ambivalen, tidak beretika, terkesan mau mendikte kedaulatan seorang Presiden RI," terang Akhiruddin.

Menurut Akhiruddin, pada 30 April 2019 hingga 4 Mei 2019, Mighty Earth bersama dengan PanEco, YEL, Orangutan Information Center (OIC), dan Center of Orangutan Protection (COP), melalui Konsultannya akan melakukan kunjungan ke hutan dan sungai Batangtoru dengan membawa sejumlah wartawan.

Ayunda Putri selaku konsultan yang melaksanakan kegiatan ini, menjelaskan, bahwa peserta kunjungan lapangan ini disiapkan transportasi Medan - Sibolga pulang pergi, penginapan dan akomodasi lainnya selama kegiatan berlangsung.

Fakta-fakta yang diuraikan di atas, menurut Akhiruddin semakin membuka peta aktor baik aktor pada level international, nasional dan lokal. "Dari uraian berdasarkan fakta dan informasi yang sahih, sangat jelas tergambar relasi aktor baik pada level internasional maupun pada tataran nasional," pungkas Koordinator GeRAK Indonesia ini.

Versi Penyelamat Lingkungan

Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) yang disebut sebut sebagai jaringan ingin menggagalkan PLTA Batang Toru, pada prinsipnya apa yang mereka lakukan untuk penyelamatan lingkungan hidup. Bahkan untuk mewujudkan keinginanya, Walhi bersama beberapa LSM (KEL, YLI, serta mereka yang mengatasnamakan warga setempat) menuntut Gubernur Sumatera Utara.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumut menggugat Gubernur Sumatera Utara ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan, terkait pemberian izin lingkungan untuk PT. NSHE. Walhi menilai, pembukaan kawasan hutan Batang Toru untuk proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru yang dikerjakan PT. NSHE, akan merusak habitat orangutan tapanuli (Pongo Tapanuliensis) dan mengancam lingkungan secara keseluruhan.

Menurut Walhi Sumut, meski kawasan hutan untuk PLTA berada di areal penggunaan lain (APL), namun lokasinya merupakan habitat satwa. Terlebih, berdampak pada keterancaman orangutan tapanuli yang jumlahnya hanya 800 individu, yang hanya ada di hutan Batang Toru, tempat proyek dijalankan.

Gugatan Walhi ini didukung sebanyak 36 pengacara yang melakukan gugatan awal Agustus 2018 lalu. Mereka menggugat surat Gubernur Sumatera Utara yang sudah memberikan izin lingkungan kepada PT. North Sumatera Hydro Energy (NSHE) untuk membangun PLTA Batang Toru.

Menurut Walhi lokasi yang diberikan izin itu memiliki kepadatan keanekragaman hayati. Atas dasar itu, gugatan dilakukan sekaligus, meminta majelis hakim mencabut izin lingkungan tersebut. Menurut penggugat lokasi pembangunan PLTA juga merupakan area rawan gempa dan menjadi salah satu pusat gempa.

"Jika dilihat peta dan ditarik garis lurus dari kawasan Aek Latong, yang selalu diguncang gempa dan ruas jalannya tidak pernah bagus, maka titik puncaknya berdasarkan penelitian ahli geologi ada di kawasan hutan Batang Toru," jelas Dana Prima Tarigan direktur eksekutif Walhi Sumut.

"Bisa dibayangkan, air disedot dan ditempatkan dalam bendungan yang jika gempa akan hancur dan menghabiskan makhluk hidup yang ada di bawahnya," sebut Dana Prima.

Menurut Dana Prima Tarigan, pembangunan PLTA Batang Toru oleh PT. NSHE terkesan dipaksakan. Sebenarnya, untuk siapa pembangunan ini? Berdasarkan data PLN Wilayah Sumbagut, Provinsi Sumut kelebihan listrik sebesar 15 persen.

Jika alasannya provinsi ini membutuhkan listrik 35 ribu mega watt yang dicanangkan dalam proyek PLTA Batang Toru, bisa saja menggunakan sumber listrik yang sudah ada. Contohnya, panas bumi di Sarullah masih bisa dinaikkan kapasitasnya menjadi 1.000 mega watt, jelas Dana Prima.

Ada juga energi terbarukan dari udara seperti tenaga listrik kincir angin yang baru-baru ini diresmikan Presiden Jokowi. Itu tak pernah habis dan energi hijau ramah lingkungan. "Kenapa ini tidak disentuh Pemerintahan Provinsi Sumatera Utara?," tanya Dana Prima.

Dana mempersoalkan tentang klaim hijau dimunculkan PLTA. Menurut dia, jika diklaim hijau karena memakai air, tetapi merusak hutan, ini sama sekali bukan hijau tetapi merusak bentang alam. Silakan membangun, tetapi tidak di lokasi yang sekarang. "Jangan mengorbankan lingkungan, merusak habitat satwa, dan menyusahkan masyarakat karena proyek ini," ucapnya.

Bentang Alam Batang Toru yang luasnya sekitar 150 ribu hektar, terletak di Kabupaten Tapanuli Uutara, Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatera Utara. Dari luas tersebut, hampir 142 ribu hektar merupakan hutan primer yang mendukung kehidupan 344 ribu petani di sekitarnya.

Ekosistem Batang Toru menjadi habitat banyak satwa liar dan tumbuhan. Ada harimau sumatera, beruang madu, tapir, kambing hutan, juga berbagai jenis burung. "Hutan Batang Toru menjadi bagian penting keberlanjutan hidup kita semua," jelas Dana.

"Banyaknya masalah dan ancaman yang kami sebutkan, menghentikan proyek adalah pilihan tepat. Walhi Sumatera Utara menilai, mega proyek ini lebih banyak memberikan dampak buruk bagi lingkungan dan masyarakat ketimbang manfaat. Ini alasan kuat kami menggugat," tandas Dana.

Namun majlis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), menolak gugatan Walhi Sumut. Ketua majelis hakim Jimmy Claus Pardede, menolak seluruh gugatan penggugat (Walhi ). Majlis hakim menolak tiga poin yang menjadi pokok gugatan Walhi, yakni sosialisasi, gempa, ekologi darat, hidrologi dan musibah.

Majelis hakim juga menilai saksi-saksi yang diajukan Walhi Sumut selama persidangan tidak relevan dengan objek gugatan (PLTA Batang Toru). Atas keputusan majlis hakim ini, Walhi Sumut menyatakan banding.

Harga Diri

Namun walau Walhi cs sudah dikalahkan majlis hakim, namun mereka tetap memberikan perlawanan. Menurut Akhiruddin, coordinator GeRAK Indonesia, mereka akan melakukan kegiatan pada 30 April 2019 hingga 4 Mei 2019.

Organisasi Mighty Earth bersama dengan PanEco, YEL, Orangutan Information Center (OIC), dan Center of Orangutan Protection (COP), melalui konsultannya, akan melakukan kunjungan ke hutan dan sungai Batangtoru dengan membawa sejumlah wartawan.

Ayunda Putri selaku konsultan yang melaksanakan kegiatan ini, menurut Akhiruddin, sudah mempersiapkan segala sesuatunya tentang kegiatan tersebut. Mulai dari transportasi pulang pergi, penginapan, serta akomodasi selama kegiatan berlangsung.

GeRAK Indonesia tidak mau wibawa pemerintah Indonesia dilecehkan pihak asing dengan membawa isu penyelamatan lingkungan, demi orangutan. Karena apa yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk membangkitkan listrik dari PLTA Batang Toru, adalah untuk kepentingan dan kemakmuran rakyat.

Namun dilain sisi, sejumlah LSM yang didanai pihak asing menyatakan akan menyelamatkan lingkungan. Pertarungan itu sampai kini masih berlangsung. Bagaimana kelanjutan dari kisah PLTA Batang Toru yang direncanakan akan beroperasi di tahun 2022 ini? (Bahtiar Gayo)

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda