Sabtu, 07 Juni 2025
Beranda / Liputan Khusus / Indepth / Benturan Ekonomi dan Lingkungan: Polemik Tambang Nikel di Surga Raja Ampat

Benturan Ekonomi dan Lingkungan: Polemik Tambang Nikel di Surga Raja Ampat

Jum`at, 06 Juni 2025 15:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Redaksi

Kondisi ekploitasi tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya. Foto: Kolase Dialeksis


DIALEKSIS.COM | Indepth - Polemik tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya, memuncak setelah aktivitas penambangan viral di media sosial dan memicu reaksi beragam dari pemerintah pusat hingga kementerian terkait. Operasional tambang yang dikelola PT GAG Nikel anak usaha PT Antam Tbk (BUMN) dihentikan sementara oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Keputusan ini sekaligus menegaskan komitmen pemerintah untuk melindungi kawasan wisata sekaligus ekosistem laut yang telah diakui UNESCO sebagai global geopark. Berikut uraian mendalam mengenai lima fakta utama di balik penghentian sementara tambang nikel di Raja Ampat.

Gagasan menyoroti dampak tambang nikel muncul saat sekelompok aktivis Greenpeace Indonesia bekerja sama dengan empat pemuda asal Raja Ampat melakukan aksi di Konferensi Indonesia Critical Minerals Conference 2025. Mereka membentangkan spanduk berukuran besar bertuliskan “What’s the True Cost of Your Nickel?” tepat ketika Wakil Menteri Luar Negeri Arief Havas Oegroseno menyampaikan pidato. Selain itu, spanduk bertema “Nickel Mines Destroy Lives” dan “Save Raja Ampat from Nickel Mining” juga dikibarkan, menarik perhatian peserta konferensi dan masyarakat luas.

Aksi ini cepat menjadi viral seperti foto dan video spanduk tersebar di berbagai platform media sosial, mendorong diskusi publik soal dampak sosial, budaya, dan lingkungan dari eksploitasi nikel di kawasan yang selama ini menjadi primadona wisata bahari. Dengan latar belakang foto Pulau Piaynemo yang ikonis dan laut biru kehijauan, pesan aktivis itu menjadi “wake-up call” bahwa di balik potensi ekonomi, terdapat risiko kerusakan ekosistem yang sulit dipulihkan.

Temuan Greenpeace mengungkap bahwa aktivitas tambang nikel telah menjangkau beberapa pulau kecil di kabupaten Raja Ampat, antara lain Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran. Padahal, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau - Pulau Kecil melarang eksploitasi pertambangan di pulau-pulau kecil. Berdasarkan data lapangan, lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi alami telah hilang akibat pembukaan lahan untuk tambang nikel. Akibatnya, sedimentasi dari sisa material tambang mulai mencemari perairan dangkal dan terumbu karang.

Tidak hanya tiga pulau tersebut, Pulau Batang Pele dan Manyaifun dua pulau kecil yang hanya berjarak sekitar 30 kilometer dari ikon wisata Piaynemo juga teridentifikasi sebagai lokasi terancam. Padahal, wilayah Raja Ampat menjadi rumah bagi 75 persen spesies karang dunia, lebih dari 2.500 spesies ikan, 47 spesies mamalia, dan 274 spesies burung. Sebagai kawasan yang ditetapkan UNESCO Global Geopark, kerusakan ekosistem laut di Raja Ampat berpotensi merusak citra pariwisata sekaligus memutus rantai kehidupan laut yang tidak mudah direstorasi.

Merespons kegaduhan di media sosial dan kecemasan publik, Kementerian ESDM secara resmi memerintahkan penghentian sementara seluruh kegiatan penambangan milik PT GAG Nikel di Pulau Gag, Raja Ampat. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menuturkan bahwa Tim Inspeksi Kementerian ESDM telah diterjunkan untuk memeriksa kepatuhan perusahaan terhadap prosedur lingkungan.

“Sampai verifikasi lapangan selesai, operasional PT GAG Nikel dihentikan. Kami membutuhkan data objektif untuk memastikan bahwa lokasi penambangan tidak berada di kawasan wisata maupun pulau kecil yang dilindungi UU,” tegas Bahlil.

Bahlil juga menegaskan bahwa izin usaha pertambangan PT GAG Nikel diterbitkan pada era sebelum ia menjabat, sehingga kewenangannya saat ini hanya sebatas pengawasan dan verifikasi. PT GAG Nikel memegang Kontrak Karya Generasi VII (No. B53/Pres/I/1998) yang resmi ditandatangani pada 19 Januari 1998, dengan status mayoritas saham awal dimiliki Asia Pacific Nickel Pty. Ltd. (APN) sebelum diakuisisi Antam pada 2008.

“Lokasi penambangan berada di Pulau Gag, bukan Piaynemo. Jaraknya sekitar 30 - 40 kilometer, sehingga masyarakat perlu mendapat penjelasan yang jelas agar tidak terjadi kesimpangsiuran,” tambah Bahlil.

Selain Kementerian ESDM, Kementerian Pariwisata juga mengambil langkah cepat dengan memanggil Gubernur Papua Barat Daya guna meminta klarifikasi terkait rusaknya lingkungan di kawasan wisata.

Wakil Menteri Pariwisata Ni Luh Puspa menyatakan, “Kita tidak boleh merusak ekosistem Raja Ampat. Kawasan ini harus dijaga sebagai warisan untuk anak-cucu kita.” Meskipun hasil pemanggilan tidak dipublikasikan secara rinci, pernyataan tersebut menegaskan intervensi lintas sektor untuk melindungi destinasi wisata unggulan nasional.

Di sisi lain, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), melalui Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH), memutuskan menyegel empat perusahaan tambang nikel di Raja Ampat yang terindikasi melakukan pelanggaran serius. Keempat perusahaan tersebut adalah PT GAG Nikel, PT Kawei Sejahtera Mining, PT Anugerah Surya Pratama, dan PT Mulia Raymond Perkasa. Pengawasan lapangan yang berlangsung pada 26 - 31 Mei 2025 menemukan bahwa ketiga perusahaan pertama memiliki izin usaha pertambangan (IUP), tetapi hanya PT GAG, PT Kawei, dan PT ASP yang mengantongi Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH). Hasil pengawasan menunjukkan sejumlah pelanggaran, antara lain:

1. PT Anugerah Surya Pratama (PT ASP). Melakukan aktivitas penambangan di Pulau Manuran seluas ±746 hektare tanpa menerapkan sistem manajemen lingkungan dan tanpa pengelolaan limbah air. Seluruh kegiatan diberhentikan dan dipasang plang peringatan oleh KLH.

2. PT GAG Nikel (PT GN). Beroperasi di Pulau Gag dengan luas area ±6.030,53 hektare. Karena Pulau Gag termasuk pulau kecil, operasi tambang ini dinilai melanggar UU Nomor 1 Tahun 2014. Saat ini, KLH mengevaluasi kembali Persetujuan Lingkungan PT GAG; bila ditemukan pelanggaran yang tidak diperbaiki, izin lingkungan dipastikan akan dicabut.

3. PT Kawei Sejahtera Mining (PT KSM). Terbukti membuka tambang di luar kawasan izin lingkungan dan PPKH seluas ±5 hektare di Pulau Kawe. Aktivitas tersebut telah menimbulkan sedimentasi di pesisir pantai. Sanksi administratif berupa pemulihan lingkungan sudah dijatuhkan, dan perusahaan dapat menghadapi gugatan perdata jika tidak mematuhi rekomendasi.

4. PT Mulia Raymond Perkasa (PT MRP). Ditemukan tidak memiliki dokumen lingkungan dan PPKH dalam kegiatan di Pulau Batang Pele. Semua aktivitas eksplorasi dihentikan hingga pemenuhan persyaratan sesuai ketentuan.

Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol menegaskan, “Penambangan di pulau kecil melanggar prinsip keadilan antargenerasi dan dapat menimbulkan kerusakan yang tidak dapat dipulihkan. Kami tidak ragu mencabut izin jika terbukti merusak ekosistem.” Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-XXI/2023 juga menjadi landasan hukum bahwa wilayah pesisir dan pulau kecil tidak bisa dijadikan zona tambang mineral.

Ketika polemik merebak, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menuding ada pihak asing yang memanfaatkan isu tambang nikel Raja Ampat untuk menggagalkan program hilirisasi mineral Indonesia. Menurut Bahlil, proyek hilirisasi nikel menjadi salah satu fokus pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, sehingga isu lingkungan di Raja Ampat rupanya “dibesar-besarkan” untuk melemahkan upaya tersebut. Bahlil menegaskan bahwa lokasi tambang PT GAG Nikel berada di Pulau Gag, bukan di kawasan rusa wisata Piaynemo.

“Untuk menghindari kesimpangsiuran, kami verifikasi lapangan agar data objektif,” ujarnya.

Sekretaris Kabinet RI, Teddy Indra Wijaya, juga mengonfirmasi bahwa Menteri ESDM dan Menteri Lingkungan Hidup sudah mengambil langkah cepat setelah isu mencuat.

“Koordinasi lintas kementerian dilakukan secara intensif setelah informasi diterima,” ungkapnya melalui pesan singkat di Jakarta.

Bahlil menambahkan bahwa sejak izin diberikan pada 1998, PT GAG Nikel telah melalui proses akuisisi, dari mayoritas saham APN menjadi 100 persen di tangan Antam sejak 2008.

“Ketika izin itu terbit, saya masih menjabat Ketua Umum HIPMI, bukan sebagai pejabat pemerintah. Sekarang, kewenangan kita adalah menerapkan good mining practice untuk memastikan kondisi lapangan sesuai aturan,” jelasnya.

Penghentian sementara operasional PT GAG Nikel serta penyegelan empat perusahaan oleh KLH menegaskan sikap pemerintah dalam menegakkan environmental justice. Namun, tantangan ke depan bukan hanya soal penegakan hukum, melainkan juga bagaimana memastikan rehabilitasi lahan bekas tambang dan pemulihan ekosistem laut. Kementerian ESDM dan KLH tengah mengevaluasi dokumen lingkungan perusahaan-perusahaan tersebut. Jika terbukti melanggar, izin lingkungan dan PPKH akan dicabut permanen.

Sebagai kawasan geopark yang menjadi sumber pendapatan pariwisata dan rumah bagi keanekaragaman hayati yang luar biasa, Raja Ampat menghadapi risiko kerusakan jangka panjang. Pemerintah daerah maupun pusat perlu merancang program restorasi mangrove, penanaman kembali vegetasi pantai, serta pemantauan kualitas air laut secara berkala. Selain itu, keterlibatan masyarakat adat dan nelayan setempat harus menjadi bagian integral dalam proses rehabilitasi.

Di sisi ekonomi, penghentian tambang nikel juga berdampak pada serapan tenaga kerja dan pemasukan daerah. Namun, pemerintah berkomitmen mengembangkan alternatif mata pencaharian bagi warga setempat, misalnya lewat pelatihan ekowisata, budidaya rumput laut, atau program ekonomi kreatif yang memanfaatkan potensi lokal.

Polemik ini juga membuka diskusi lebih luas soal keseimbangan antara pemanfaatan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan. Undang-Undang Cipta Kerja dan kebijakan hilirisasi mineral dapat dikaji ulang jika ternyata mengabaikan prinsip keadilan antargenerasi. Pengambilan keputusan ke depan wajib melibatkan berbagai pihak: pemerintah pusat, pemda, masyarakat adat, LSM lingkungan, akademisi, hingga pelaku usaha. Dengan begitu, kebijakan pertambangan di wilayah pesisir dan pulau kecil dapat dibuat komprehensif, transparan, dan berkelanjutan.

Saat proses verifikasi lapangan dan evaluasi dokumen lingkungan berlangsung, masyarakat di Raja Ampat serta publik nasional menanti langkah konkret untuk menyelamatkan ekosistem laut dan memastikan hak atas lingkungan sehat terpenuhi. Pemerintah diharapkan tidak hanya responsif terhadap tekanan media, namun juga proaktif dalam merumuskan kebijakan jangka panjang yang melindungi kawasan geopark sekaligus mendukung kesejahteraan masyarakat lokal.

Kesimpulannya, sementara tambang nikel di Raja Ampat dihentikan, perjuangan menjaga “Surga Terakhir di Bumi” belum usai. Pemerintah wajib menuntaskan penegakan hukum, memulihkan dampak kerusakan, dan menyusun kerangka regulasi yang mengedepankan prinsip keberlanjutan. Hanya dengan komitmen tegas dan kerja kolaboratif, Raja Ampat akan tetap lestari sebagai identitas kebanggaan bangsa dan warisan bagi anak cucu.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI