kip lhok
Beranda / Liputan Khusus / Indepth / Bermain Tanah Di Nurul Arafah dengan Uang Negara

Bermain Tanah Di Nurul Arafah dengan Uang Negara

Minggu, 13 Agustus 2023 16:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Bahtiar Gayo


Nurul arafah. Foto: Dialeksis.com


DIALEKSIS.COM| Indept- Mempermainkan tanah adalah tindakan yang terlalu berani dilakukan manusia yang diciptakan dari tanah. Kepada tanahlah dia dikembalikan, namun masih ada manusia yang belum sadar bahwa dia kelak akan dihimpit tanah.

Tujuan awalnya mulia. Namun ketika dilaksanakan oleh manusia-manusia yang belum berhati mulia, melanggar ketentuan, ahirnya berbuah petaka. Ada yang harus masuk penjara.

Lihatlah bagaimana hingar bingarnya saat ini soal korupsi pengadaan lahan Nurul Arafah di Kecamatan Meuraksa, Banda Aceh, yang ditangani penyidik Tipikor Polresta Banda Aceh. Sudah ada tiga tersangka yang masuk jeruji besi yang diminta pertanggungjawabanya.

Tersangka teranyar yang masuk jeruji besi dalam perkara korupsi ini adalah MY,Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Banda Aceh. Dia ditangkap diruang kerjanya oleh penyidik Tipikor Polresta Banda Aceh, 7 Agustus 2023.

Bagaimana persoalan tanah Nurul Arafah ini hingga ada yang harus masuk jeruji besi? Apakah akan ada penambahan tersangka. Berapa kerugian negara, apa permasalahanya, sehingga permainan tanah ini menjadi petaka?

Cita-Cita Luhur

Program pengembangan proyek Nurul Arafah Islamic Center (NAIC) Mesjid Baiturrahim Ulee Leue Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh merupakan program luhur. Walikota yang dijabat Aminullah Usman dan Zainal Arifin sebagai wakil wali kota, serta Amiruddin (PJ Walikota Banda Aceh saat ini), merencanakan dilokasi ini menjadi area zikir, bahkan digadang-gadangkan terbesar di Asia Tenggara.

Anggaran yang dikucurkan secara bertahap juga terbilang besar. Bahkan Aminullah langsung menemui Presiden Jokowi mengajukan proposal, agar masa kepemimpinan Jokowi punya cenderamata di kota Banda Aceh.

Wali Kota Banda Aceh Aminullah Usman menyerahkan proposal pembangunan Nurul Arafah Islamic Center (NAIC) kepada Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Senin (23/7/2018).

NAIC merupakan bangunan zikir bertaraf internasional. Kepada Presiden Jokowi, Aminullah menyampaikan bahwa selama ini Banda Aceh dan Aceh pada umumnya yang notabenenya daerah yang menerapkan syariat Islam, belum memiliki lokasi zikir yang memadai.

Nurul Arafah akan menjadi penyokong Banda Aceh sebagai salah satu destinasi wisata islami dunia. Diharapkan juga dapat menjadi ikon Indonesia di mata dunia. Demikian disampaikan Aminullah kepada presiden dan sejumlah wali kota yang hadir pada pertemuan yang berlangsung di Ruang Garuda Istana Bogor.

Ketika itu Aminullah sangat berharap agar pemerintah pusat dapat mendanai proyek pembangunan Nurul Arafah yang saat ini tengah dalam proses pembebasan lahan.

“Saya berharap pembangunan proyek ini dapat dianggarkan dalam APBN 2019. Semoga cita-cita mulia ini dapat terealisasi, dan Nurul Arafah menjadi ˜bungong jaroe” istimewa dari Bapak Presiden bagi masyarakat Aceh yang sumbangsihnya begitu besar dalam perjuangan kemerdekaan RI,” kata Aminullah.

Usai menyampaikan presentasinya, Aminullah langsung menyerahkan proposal pembangunan Nurul Arafah ke tangan Presiden Jokowi. Cita cita luhur itu ahirnya didukung dengan pengucuran dana yang besar. Namun menuai masalah dalam pengadaan lahan.

Bahkan pada tahun 2021 pemerintah pusat menginstruksikan kepada pemda untuk melakukan n rekofusing anggaran yang tidak urgent dialihkan untuk penanganan covid 19. Sementara Pemko Banda Aceh terkesan dimata publik memaksakan diri untuk pengadaan tanah dan belanja fisik lainnya, sehingga terjadinya penumpukan utang.

Buah dari memaksakan diri dalam penyediaan lahan ini, sudah ada tiga tersangka yang ditahan pihak penyidik Tipikor Polresta Banda Aceh. DA mantan Keuchik Gampong Ulee Lheue, dan RR yang menerima uang ganti rugi tanah dan teranyar MY, Kadis PUPR Aceh, ketika itu menjabat sebagai PPTK. Kerugian negara diperkirakan lebih dari Rp 1 miliar.

Dalam persoalan dugaan korupsi ini, Direktur Analisis Kajian dan Advokasi Rakyat (Pakar) Aceh Muhammad Khaidir punya catatan. Dia mengapresiasi langkah yang dilakukan Penyidik Tipikor Polresta Banda Aceh.

Muhammad Khaidir punya catatan khusus dan analisis bagaimana adanya dugaan korupsi dalam pengadaan tanah yang bermasalah, hingga pihak penyidik menetapkan tersangka. kegiatan itu bermula di tahun 2018.

Pemerintah Kota Banda Aceh melalui PUPR membuat perencanaan Masterplan program pengembangan proyek Nurul Arafah Islamic Center (NAIC) Mesjid Baiturrahim Ulee Leue Kecamatan Meuraxa dengan anggaran sejumlah Rp 1 miliar lebih.

Dalam keterangan Khaidir menjelaskan, pada tahun 2021, pada saat Walikota dijabat oleh Aminullah Usman dan Sekdanya dijabat oleh Amiruddin/PJ Walikota Banda Aceh sekarang, dilakukan Perencanaan Pengadaan/Pembebasan tanah tahap kedua di lokasi pembangunan Pusat Zikir di mesjid Baiturrahim Ulee Leue.

Luas tanah yang akan dibebaskan mencapai 8.000 meter bujur sangkar dengan nilai anggaran sebesar Rp8 miliar. Namun kenyataanya, pada saat proses pembebasan hanya dilakukan sejumlah Rp 1 miliar. Sisa anggaran Rp 7 miliar tidak dipergunakan dengan alasan terkendala pembebasan lahan milik warga setempat.

Pada tahun yang sama (2021) sisa anggaran pembebasan tanah untuk program pengembangan awal Nurul Arafah Islamic Center (NAIC) sejumlah Rp 7 miliar dilakukan pengalihan. Anggaran itu digunakan untuk program pembebasan lahan/ganti rugi tanah di Bantaran Sungai Krueng Daroy, Desa Setui, Kecamatan Baiturrahman Kota Banda Aceh.

Menurut Khaidir, pembebasan lahan ini guna mendukung proyek Penataan Kawasan Kumuh Kota Banda Aceh, dengan nilai anggaran Rp 6 miliar, diduga tanpa melalui prosedural. Pemerintah Kota Banda Aceh dalam melaksanakan pembebasan lahan tidak melengkapi dokumentasi dan tidak mengikuti ketentuan peraturan perundangan.

Menurutnya, pengadaan tanah lokasi Proyek Penataan Kawasan Kumuh Kota Banda Aceh di Bataran Krueng Daroi diduga tidak sesuai prosedur dimana setiap kegiatan perencanaan pengadaan tanah di setiap instansi pemerintah, maka Kepala OPD wajib ada penyusunan dokumen perencanaan pengadaan tanah.

Pada pengalihan lokasi pembebasan tanah lokasi Pembangunan Proyek Nurul Arafah Islamic Center (NAIC) Mesjid Baiturrahim Ulee Leue Kecamatan Meuraxa diduga tidak melengkapi dokumen pengadaan Tanah.

Menurut Pakar Aceh, tujuan rencana pembangunan proyek penataan kawasan kumuh Kota Banda Aceh di Bataran Krueng Daroi diduga tidak sesuai dengan perencanaan awal. Pada perencanaan awal yaitu program pengembangan awal Nurul Arafah Islamic Center (NAIC) Mesjid Baiturrahim Ulee Leue Kecamatan Meuraxa,

Dijelaskan Khaidir, pengadaan luas tanah untuk lokasi proyek ini diduga tidak sesuai dengan ukuran pada perencanaan awal. Pada perencanaan awal jumlah luas tanah mencapai 8.000 meter persegi lokasi di Uleu Lee Kecamatan Meuraxa dengan nilai harga RP 8 miliar.

Pada pelaksanaannya terjadi pengurangan ukuran luas hanya 1500 meter persegi, dengan nilai harga Rp 8 miliar. Maka diduga telah terjadi kerugian negara pada pengurangan jumlah luas tanah dan peningkatan nilai harga tanah.

Menurutnya kegiatan ini tidak sesuai dengan perencanaan awal, dimana pada perencaan perkiraan ganti rugi tanah seluas 8.000 meter persegi senilai Rp 8 miliar. Namun pada pelaksaannya terjadi perubahan nilai harga ganti rugi yaitu dengan luas 1.392 meter persegi dengan nilai mendekati Rp 6 miliar.

Didalami Penyidik Tipikor

Permaian tanah ini ahirnya menjadi PR yang harus dituntaskan Penyidik Tipikor Polresta Banda Aceh. Apakah pihak penyidik akan mengurai kasus ini, sampai ke akar akarnya, tidak tebang pilih dalam menetapkan tersangka?

Sudah ada tiga tersangka yang diamankan pihak penyidik. Kapolresta Banda Aceh, Kombes Fahmir Irwan Ramli melalui Kasat Reskrim, Kompol Fadhillah Aditya Pratama dalam keteranganya kepada media, Selasa (20/6/2023) menyebutkan, pihaknya usai menggelar perkara, sudah menetapkan SH sebagai tersangka.

 “Dari hasil gelar perkara dan alat bukti yang cukup kami dapat menetapkan beberapa tersangka, salah satunya SH, ke depan akan kami lengkapi bukti-bukti lain untuk keterlibatan tersangka lainnya. Untuk tersangka SH sekarang belum ditahan,” ujar Fadillah dalam keterangannya.

Hasil pengembangan penyidik, kemudian pada 7 Agustus 2023, pihak penyidik menangkap MY, Kadis PUPR Banda Aceh yang telah ditetap sebagai tersangka.

Sebelumnya penyidik sudah memberikan keterangan kepada media, saat gelar perkara ditemukan beberapa fakta adanya dugaan korupsi dalam pengadaan lahan zikir dengan nilai total pagu anggaran sebesar Rp5,1 miliar lebih (tahun 2018 senilai Rp 3,2 miliar lebih dan tahun 2019 senilai Rp1,8 miliar lebih).

Pada tahun 2018, lahan telah diukur pihak BPN Kota Banda Aceh sesuai pengukuran bidang rincikan yang dikeluarkan pada bulan Mei 2018. Kemudian, pihak Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) juga menilai harga setiap tanah yang hasilnya dikeluarkan pada Agustus 2018.

“Setelah adanya hasil pengukuran dan penilaian harga dari 14 persil tanah yang ada, pihak Dinas PUPR Kota Banda Aceh telah membayar sembilan persil tanah dengan total Rp4 miliar lebih (lima persil tahun 2018 dibayar sebesar Rp 3,1 miliar lebih dan empat persil tahun 2019 dibayar Rp799 juta lebih),” jelas Fadilah.

Sembilan persil tanah itu terindikasi penyimpangan, dimana tiga persil diantaranya, tanah Pasar Batu Cincin, tanah gampong dan tanah salah satu warga. Dua tanah diantaranya menggunakan alas hak berupa Surat Keterangan Tanah Milik Gampong (SKT) dan satu lainnya mengunakan alas hak sporadik.

“Saat proses pembayaran tanah, pihak keuchik tidak melampirkan rekening kas gampong, melainkan rekening pribadi. Pihak dinas pun tidak memverifikasi secara mendetail, sehinggga dana pembebasan lahan itu masuk ke rekening pribadi, padahal sesuai aturan harusnya masuk ke kas gampong,” jelas Kasat Reskrim.

 “Kami akan lengkapi bukti lainnya yang berkaitan dengan tersangka lain, termasuk memeriksa tersangka dan melengkapi berkas perkaranya. Untuk tersangka dikenakan Pasal 2 Ayat (1) Jo Pasal 3 Jo Pasal 8 Jo Pasal 18 ayat (1) dan (2) UU RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” jelasnya.

Pada November 2022, penyidik Polresta Banda Aceh menyita uang senilai Rp 120 juta dari salah seorang saksi. Kasus ini semakin terkuak setelah Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Aceh menyerahkan hasil audit kerugian negara kepada penyidik pada 24 Maret 2023.

Dalam laporannya, BPKP menemukan kerugian negara mencapai Rp 1 miliar. Lalu pada Juni 2023, Polresta Banda Aceh berupaya penyitaan lahan Nurul Arafah Islamic Center sebagai barang bukti untuk memudahkan pengungkapan kasus tersebut.

Penyitaan lahan tersebut berdasarkan Penetapan Pengadilan Negeri Banda Aceh Nomor: 4/Pen.Pid.Sus-TPK-SITA/2023/PN Bna tanggal 13 Februari 2023 dan Surat Perintah Penyitaan Sat Reskrim Polresta Banda Aceh Nomor: SP/Sita/24/II/Res.3.5/2023/Sat Reskrim tanggal 15 Februari 2023.

“Penyidik juga sudah menyita barang bukti yang ada kaitannya dengan pengelolaan dana ganti rugi tanah tersebut, termasuk lahan, dikarenakan dari hasil pemeriksaan saksi-saksi dan bukti-bukti lain, sebahagian dana ganti rugi tanah itu telah digunakan untuk membeli tanah penganti,” ungkapnya.

Kini kasusnya sedang didalami pihak penyidik, melengkapi bukti bukti dan pemberkasan, apakah aka nada tersangka lainya?

Penyidik Harus Serius Jangan Tebang Pilih

Harapan publik, penyidik harus serius dalam mengungkap dugaan korupsi soal pengadaan tanah ini. Tidak tebang pilih, tidak hanya mengusut keterlibatan orang-orang di bagian bawah pemerintahan.

Koordinator Gerakan Anti Korupsi Aceh, Askhalani Bin Muhammad Amin, sangat relevan. Dia mendesak penyidik yang menangani perkara ini mengusut juga keterlibatan pengguna anggaran dan kuasa pengguna anggaran.

“Banyak pihak yang seharusnya juga diperiksa karena diduga terlibat sebagai pengusul, penerima, peneliti, penanggung jawab dan lain-lain. Jadi, tidak elok jika kepolisian berpuas diri dengan berhenti pada tiga orang yang saat ini ditetapkan sebagai tersangka,” sebutnya.

“Patut diduga pengadaan tanah itu hanya pintu untuk meloloskan rencana orang-orang tertentu tanpa berpikir bahwa uang itu hanya membebani anggaran,” sebut Askhalani.

“Kami berharap kepolisian tidak menghentikan penyidikan hanya terhadap tiga orang itu. Polisi harus memburu aktor intelektual perkara ini. Jangan menumbalkan orang-orang kecil saja,” kata Koordinator Gerakan Antikorupsi Aceh, Askhalani Bin Muhammad Amin.

Menurutnya, Kuasa pengguna anggatan (KPA), Kepala Dinas PUPR saat itu selaku pengguna anggaran (PA), serta Sekretaris Daerah selaku Ketua Tim Anggaran Pemerintah Kota (TAPK) saat pengadaan lahan itu dilakukan harus pula dimintai pertanggungjawaban.

Satreskrim Polresta Banda Aceh juga harus menyelidiki dugaan korupsi pada pengadaan lahan NAIC yang bersumber dari APBK Tahun Anggaran 2021 Rp 8 miliar. Awalnya NAIC direncanakan dibangun di Gampong Ulee Lheue, Kecamatan Meuraxa, pinta Askhalani.

Pihak penyidik harus menemukan aktor utama dalam dugaan korupsi ini. Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian menyebutkan, aktor utama dalam kasus dugaan korupsi pembebasan lahan Zikir Nurul Arafah Islamic Center belum ditemukan.

Masih ada pejabat sebagai kuasa pengguna anggaran (KPA) dalam kasus itu yang harus diungkap. Dugaan kuat sekali ada aktor lain yang belum tersentuh," kata Alfian dalam keteranganya kepada media.

Ia menjelaskan, Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Banda Aceh, Muhammad Yasir, sebelumnya hanya sebagai kepala Bidang Penataan Ruang dan Pembangunan. Dalam kasus korupsi pembebasan lahan di Gampong Ulee Lheue, Kecamatan Meuraxa, itu Muhammad Yasir menjabat sebagai pejabat pelaksana teknis kegiatan (PPTK).

Alfian menduga banyak oknum terlibat dalam kasus tersebut termasuk pejabat yang berperan sebagai KPA. Oleh karena itu, MaTA meminta Polresta Banda Aceh untuk mengungkapkanya. Alfian berharap pihak kepolisian tidak ada upaya menyelamatkan aktor pada kasus korupsi tersebut lantaran kerugian negara mencapai Rp 1 miliar.

"Kita minta kasus ini diungkap secara utuh, tidak berhenti di tiga orang tersangka saja. Kita mengapresiasi kinerja Polresta Banda Aceh dalam mengungkapkan kasus tindak pidana korupsi pembebasan lahan Nurul Arafah. Namun aktor utamanya harus diungkapkan,” sebut Alfian.

Kini kasus dugaan korupsi dalam permainan tanah ini sedang didalami pihak penyidik, mereka yang sudah ditetapkan sebagai tersangka, pemberkasanya sedang disiapkan, agar dapat dilimpahkan ke Kejaksaan.

Apakah pihak penyidik akan mengusut tuntas kasus ini, seperti harapan publik, kita nanti saja apa jurus yang akan dimainkan pihak penyidik tipikor ini.

Soal tanah bukanlah persoalan main-main, karena manusia akan dikembalikan dengan beragam prosesnya. Namun masih ada manusia yang berani mempermainkan tanah untuk mengeruk keuntungan. Ahirnya ada yang masuk penjara, Nurul Alfalah kini sudah mengukir sejarah. **** Bahtiar Gayo


Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda