Dilema Normalisasi Krueng Aceh
Font: Ukuran: - +
[Foto: Humas Prov.Aceh]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Raut wajah pria paruh baya itu tampak gelisah. Asap rokok bagaikan tak hentinya mengepul dari bibirnya. Lelaki yang sudah bekerja serabutan sejak medio 80-an ini tampak seperti orang kebingungan, dia harus menghidupi istri dan satu orang anaknya. Matanya menerawang ke langit, seolah sedang berpikir bagaimana nasib dirinya dan keluarganya paska penutupan sejumlah tempat usaha yang terletak di jembatan Cot Irie, Krueng Barona Jaya,Aceh Besar.
Pria bernama Safrizal itu sehari hari bertugas sebagai petugas parkir di Ngohya Kupi, Cot Iri, Aceh Besar. Belakangan ini warung kopi yang terletak persis dekat jembatan Cot Iri itu ramai dikunjungi pengunjung yang sekadar ingin menikmati secangkir kopi, sembari menikmati hamparan pemandangan sawah dan sungai krueng Aceh. Nuansa eksotis, terlebih kala matahari terbenam, membuat warung kopi yang tidak jauh dari Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda ini menjadi alternatif destinasi wisata kuliner bagi warga Banda Aceh dan sekitarnya. Terlebih di lantai bawah, pengunjung terutama keluarga dapat bercengkrama sembari melihat kolam ikan.
Pemerintah daerah mulai menertibkan kawasan ini. Menurut Safrizal, penertiban ini hanya baik untuk pihak tertentu. Namun tidak baginya yang mengais pundi rupiah disana sebagai petugas parkir. Belum lagi sejumlah pelaku usaha dan warga yang saban hari menggantungkan rezekinya dari wilayah tersebut.
"Penertiban ini bagus untuk pihak tertentu, bagi kami hancur. Karena pemasukan kami tidak ada lagi. Selain itu, kami mempunyai rumah tangga yang harus dinafkahi. Kami tinggal di tanggul. Seharusnya pemerintah jangan seperti ini, seperti menyiksa kami. Tidak ada lagi lapangan kerja," keluhnya kepada Dialeksis.com, Minggu (16/8/2020).
Pemerintah menyatakan memiliki legalitas untuk menutup sejumlah tempat usaha yang terletak di bantaran krueng Aceh itu. Selain memang kawasan tersebut merupakan tanah milik negara, area ini direncanakan sejak lama untuk ditata ulang dalam rangka normalisasi bantaran sungai yang terdegradasi fungsi dan telah mengganggu saluran kanal banjir (floodway) Krueng Aceh. Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah sebelumnya telah membentuk tim terpadu penataan kawasan kanal banjir Krueng Aceh melalui Keputusan Gubernur Aceh nomor 362/1337/2020.
Dalam keputusannya, Plt Gubernur Aceh membentuk tim terpadu yang melibatkan unsur SKPA, Pemerintah Kota Banda Aceh, Aceh Besar, unsur kecamatan dan TNI-Polri. Dalam keputusan di SK tersebut, pada poin (c) Tim Pelaksana Pemeliharaan Rutin Kanal Banjir, melaksanakan pembersihan semak, pembersihan tanaman liar, pembersihan sampah serta pembersihan gulma air dan bangunan air.
Memelihara dan memotong rumput pada permukaan lereng, tanggul dan bantaran. Melaksanakan pencabutan atau pemotongan pohon tanaman keras. Melaksanakan pembongkaran bangunan bekerjasama dengan tim sosialisasi dan tim pengamanan.
Mengatasi Banjir
Merujuk Kepada UU Nomor 7 Tahun 2011 tentang Sumber Daya Air, Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2011 tentang Sungai, dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 28/Prt/M/2015 Tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai dan Garis Sempadan Danau (selanjutnya disebut Peraturan Menteri PUPR), yang dimaksud dengan Sungai adalah alur atau wadah air alami dan/atau buatan berupa jaringan pengaliran air beserta air di dalamnya, mulai dari hulu sampai muara, dengan dibatasi kanan dan kiri oleh garis sempadan.
Sementara bantaran sungai adalah ruang antara tepi palung sungai dan kaki tanggul sebelah dalam yang terletak di kiri dan/atau kanan palung sungai. Adapun garis sempadan adalah garis maya di kiri dan kanan palung sungai yang ditetapkan sebagai batas perlindungan sungai.
Sedangkan Daerah aliran sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan.
DAS Krueng Aceh merupakan satu dari 15 DAS di Propinsi Aceh. DAS ini memiliki luas 207.496 ha. Berada pada dua wilayah administratif, yaitu Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar.
Sungai Krueng Aceh merupakan salah satu sungai utama di Aceh yang mengalir sepanjang 145 km yang dimulai dari Indrapuri Kabupaten Aceh Besar dan berakhir di Lampulo Kota Banda Aceh.
Pembangunan floodway dan tanggul sungai Krueng Aceh (Krueng Aceh Urgent Flood Control Project) yang selesai dibangun pada tahun 1992 tak lain merupakan bagian dari upaya pemerintah agar Banda Aceh dan Aceh Besar tidak kerap menjadi langganan banjir kala musim penghujan tiba.
Kanal banjir Krueng Aceh dari Bakoy melewati jembatan Lamnyoeng, Krueng Cut, sampai ke Alue Naga. Sejak lama Banda Aceh dan Aceh besar telah menjadi langganan banjir. Tercatat sudah tiga kali dalam interval 20 tahun, banjir besar merendam ibukota Provinsi Aceh, yaitu di tahun 1978, 2000 dan 2020.
Oleh karenanya, pemerintah provinsi bersama kabupaten/kota di Aceh diminta melakukan langkah kongkret untuk mengatasi permasalahan banjir yang kerap melanda kawasan tersebut setiap musim penghujan. Pembangunan kanal (saluran) dinilai menjadi salah satu solusi mengatasi bencana banjir yang setiap tahun melanda sejumlah kawasan di Aceh.
Meski demikian, kanal banjir (floodway) Krueng Aceh terancam tak berfungsi sebagaimana mestinya karena mengalami degradasi. Area bantaran sungai tersebut mulai dimanfaatkan oleh masyarakat, pasca tsunami, akhir 2004, silam.
Di sepanjang bantaran Krueng Aceh, baik sisi kiri maupun kanan sungai, tampak dimanfaatkan masyarakat sebagai area berternak, berkebun, kolam pembibitan ikan, mendirikan warung makanan, atau usaha-usaha lainnya.
Program bersama penataan diwujudkan dalam Keputusan Gubernur Aceh nomor 362/1337/2020 tentang tim terpadu penataan kawasan kanal banjir Krueng Aceh yang beranggotakan terdiri dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Aceh, Pemerintah Kabupaten Aceh Besar, Pemerintah Kota Banda Aceh serta TNI dan Polri. Keputusan ini dikeluarkan Plt Gubernur Aceh sejak 4 Juli 2020 lalu.
Dalam Peraturan Menteri PUPR, pada Pasal 3 disebutkan bahwa Penetapan garis sempadan sungai dan garis sempadan danau dimaksudkan sebagai upaya agar kegiatan perlindungan, penggunaan, dan pengendalian atas sumber daya yang ada pada sungai dan danau dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuannya.
Adapun dalam pasal 2, disebutkan penetapan garis sempadan sungai dan garis sempadan danau bertujuan agar; fungsi sungai dan danau tidak terganggu oleh aktifitas yang berkembang di sekitarnya.
Kegiatan pemanfaatan dan upaya peningkatan nilai manfaat sumber daya yang ada di sungai dan danau dapat memberikan hasil secara optimal sekaligus menjaga kelestarian fungsi sungai dan danau; dan daya rusak air sungai dan danau terhadap lingkungannya dapat dibatasi.
Disatu sisi, pemerintah daerah memang memiliki kewenangan untuk menertibkan bangunan dalam kawasan sempadan sungai. Pada Pasal 15 ayat 1 Peraturan Menteri PUPR disebutkan, apabila hasil kajian tim yang dibentuk oleh menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangannya dalam pengelolaan sumber daya air, menunjukkan terdapat bangunan dalam sempadan sungai maka bangunan tersebut dinyatakan dalam status quo dan secara bertahap harus ditertibkan untuk mengembalikan fungsi sempadan sungai.
Ketentuan tersebut tidak berlaku untuk bangunan yang terdapat dalam sempadan sungai untuk fasilitas kepentingan tertentu, seperti bangunan prasarana sumber daya air; fasilitas jembatan dan dermaga; alur pipa gas dan air minum rentangan kabel listrik dan telekomunikasi; dan bangunan ketenagalistrikan, atau kegiatan lain sepanjang tidak mengganggu fungsi sungai, antara lain kegiatan menanam tanaman sayur-mayur.
Disebutkan juga pada Pasal 22, dalam hal di dalam sempadan sungai terdapat tanggul untuk kepentingan pengendali banjir, perlindungan badan tanggul dilakukan dengan larangan menanam tanaman selain rumput mendirikan bangunan; dan mengurangi dimensi tanggul.
Lebih lanjut, kawasan sempadan sungai dalam Qanun Aceh Nomor 19 tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh Tahun 2013-2033 termasuk kedalam kawasan perlindungan setempat.
Dalam Pasal 36 huruf b disebutkan Kawasan sempadan sungai yaitu kawasan yang ditetapkan dengan ketentuan daratan sepanjang tepian sungai dengan lebar proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik serta keberadaan tanggul pada sungai. Setiap orang wajib mentaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan sebagaimana disebut dalam Pasal 89 ayat (2) Qanun RTRW Aceh.
Adapun sanksi bagi yang tidak mentaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan, dalam Pasal 92 Qanun RTRW Aceh disebutkan dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sesuai Undang-Undang Penataan Ruang.
[Foto: Suparta/acehkini]
Menuai Kontroversi
Zulhelmi, salah seorang pengelola tempat usaha Ngoh Ya Kupi, Cot Iri yang tepat berada di bantaran Krueng Aceh saat ditemui Analisaaceh.com, meminta pemerintah agar dapat mengkaji ulang keputusan penataan kanal Krueng Aceh tersebut.
“Kita minta kepada pemerintah belum tentu sanggup fasilitasi untuk kerja, padahal yang mencari nafkah sekitar ini hampir 5.000 an, oleh karena itu pemerintah melihat kembali dan mengkaji dengan hal tersebut, karena hanya akan menghabiskan anggaran saja,” kata Zulhelmi, Selasa (18/8/2020).
Zulhelmi menilai, satu sisi penataan itu memang bagus untuk antisipasi mencegah sewaktu-waktu terjadinya banjir, namun di sisi lain akan banyak orang yang kehilangan rumah dan akan menjadi pengangguran lagi.
Usman Lamreung yang juga pemerhati Sosial di Aceh, kepada acehimage.com mengatakan bahwa pemerintah sebaiknya menunda langkah penutupan usaha - usaha disepanjang DAS Krueng Aceh.
Sebab saat ini masyarakat lagi kesulitan ekonomi dampak pandemi Covid-19 yang melanda daerah, Aceh sendiri lagi kesulitan melakukan pemenuhan kebutuhan ekonomi rakyat.
"Mestinya tunda dulu dan pikirkan saja cara - cara penanganan yang bersifat solusif karena masyarakat lagi menderita akibat covid 19 ini," kata Usman Lamreung.
Dewan Pengurus Daerah Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Aceh Besar meminta Bupati Aceh Besar Ir Mawardi Ali untuk mencari alternatif solusi bagi masyarakat yang terdampak pada penertiban Daerah Aliran Sungai (DAS) Krueng Aceh.
Pemerintah Aceh Besar diminta memikirkan masyarakat yang sudah lama mengantungkan perekonomiannya di bantaran Krueng Aceh, apalagi mereka juga membantu pemerintah terkait ketersedian daging sapi di Banda Aceh dan Aceh Besar terutama saat tradisi meugang.
Pantauan dialeksis.com pada Rabu (19/8/2020), sejumlah pemilik usaha telah mulai beraktivitas kembali menyusul penutupan sehari sebelumnya. Banyak warga masyarakat terlihat mulai memadati warung kopi Ngoh Ya dan menikmati sajian hidangan.
Salah seorang pelanggan mengaku heran mengapa kemarin aktivitas usaha disini tutup. Meski demikian dirinya berharap permasalahan ini dapat diselesaikan dengan dialog sehingga tercapai kesepakatan yang menguntungkan semua pihak.
Program pemerintah dalam penanggulangan banjir dan penataan bantaran dapat berjalan dengan baik, masyarakat yang mengais rejeki di seputaran bantaran sungai ini juga dapat menghidupi diri. Seperti menarik rambut dalam tepung, rambut tertarik, tepung juga tidak terserak [AHN/HRS].