DIALEKSIS.COM | Indepth - Nilai proyeknya lumanyan besar mencapai Rp 148 miliar, berupa pemasangan instalasi listrik. Namun soal siapa yang mengerjakanya, itu yang menimbulkan polemik, bahkan bakal berujung di jalur hukum.
Pihak KADIN Aceh seperti tidak dianggap ada di Bumi Seuramo Mekkah, pihak PLN menunjuk anak perusaahaanya PT Haleyora Power sebagai pelaksana. Hingar bingar terjadi, pemberitaan diramaikan soal “diskriminasi” ini.
Bukan hanya KADIN yang bersuara, namun AKLI, PAKLINA, AKLINDO, dan AKKLINDO, yang berurusan dengan listrik bersuara tentang “persekongkolan” yang dilakukan PLN.
Bahkan penasehat hukum mendorong agar pihak Kadin Aceh menempuh upaya hukum, demikian dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menilai indikasi permaian itu cukup kuat, untuk itu pihaknya meminta AKLI dan pihak yang dirugikan untuk melapor kepada pihaknya, agar kasus ini dapat diungkap.
Bagaimana kisah hingar bingar ini? Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Aceh mengungkapkan keberatan tegas terhadap keputusan Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang menugaskan anak perusahaannya, PT Haleyora Power. Anak perusahaan ini mendapat kepercayaan menangani pemasangan instalasi listrik di wilayah Aceh, tanpa melibatkan Asosiasi Kontraktor Listrik Indonesia (AKLI).
Kepada Dialeksis.com, Muhammad Iqbal alias Iqbal Piyeung, Ketua Kadin Aceh sekaligus seorang pengusaha, pihak PLN mengabaikan peran penting AKLI sebagai wadah para kontraktor listrik yang memiliki kompetensi dan pengalaman dalam instalasi serta pengawasan teknis.
“PLN seharusnya mengutamakan prinsip kolaborasi dengan semua pemangku kepentingan, terutama AKLI, yang selama ini berperan sebagai mediator dalam penyediaan jasa instalasi listrik berkualitas,” ujar Iqbal Piyeung.
“Kami menilai bahwa dengan menyingkirkan peran AKLI, berpotensi timbul berbagai masalah teknis dan keselamatan di lapangan, yang nantinya akan merugikan konsumen dan industri secara luas,” jelasnya.
PT Haleyora Power, yang dikenal sebagai anak perusahaan PLN yang bertugas dalam pemeliharaan serta operasi jaringan transmisi dan distribusi listrik. Pihak Kadin Aceh menyampaikan keprihatinanya.
Pihaknya menitik beratkan pada fokus utama perusahaan tersebut, seharusnya tetap pada pemeliharaan dan pengoperasian jaringan, bukan pada aspek instalasi yang membutuhkan keahlian khusus dari para kontraktor profesional di bidang kelistrikan.
Sejumlah pengamat juga mengkritik praktik pelelangan pekerjaan yang selama ini dilaksanakan oleh PLN, dianggap tidak transparan dan cenderung dimonopoli oleh perusahaan-perusahaan tertentu, khususnya di wilayah Aceh.
PLN dinilai gagal melakukan pembinaan terhadap perusahaan lokal, yang tidak sejalan dengan instruksi Menteri BUMN untuk memberdayakan perusahaan lokal. Hal ini dinilai sebagai pelanggaran terhadap arahan menteri.
Kadin Aceh mendesak agar pihak PLN segera membuka ruang dialog dan musyawarah dengan seluruh pihak terkait, termasuk AKLI, guna memastikan bahwa setiap proses pemasangan listrik di masa mendatang dapat berjalan sesuai dengan standar profesional dan teknis yang telah ditetapkan.
Menurut Iqbal, keterlibatan AKLI bukan hanya soal formalitas, tetapi merupakan jaminan mutu dan keamanan instalasi yang harus mendapat perhatian serius.”
Sementara itu, Ketua Umum DPD Asosiasi Kontraktor Listrik Indonesia (AKLI) Aceh, Isova Darma, mendesak PLN UID Aceh untuk membatalkan keputusan yang menetapkan PT BLITZ sebagai pemenang tender proyek Pelayanan Teknik (Yantek) di PLN UID Aceh.
Isova menilai bahwa PT Blitz telah melanggar sejumlah aturan yang mengatur ketenagalistrikan di Indonesia.
"PT Blitz terindikasi telah melanggar ketentuan yang berlaku dengan memenangkan tiga proyek besar secara bersamaan. Proyek tersebut meliputi PLN UP3 Meulaboh di lokasi Simeulue senilai Rp47 miliar, PLN UP3 Lhokseumawe di lokasi Bireuen senilai Rp46 miliar, dan PLN UP3 Lhokseumawe di lokasi Takengon dengan nilai Rp55 miliar," jelas Isova kepada Dialeksis, Senin (17/2/2025).
Dijelaskan, dalam klasifikasi badan usaha jasa penunjang tenaga listrik, PT Blitz masuk dalam kategori perusahaan menengah, yang menurut peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 12 Tahun 2021 pasal III, hanya diperbolehkan mengerjakan satu proyek secara bersamaan. Menurutnya, kemenangan PT BLITZ dalam tiga proyek sekaligus jelas melanggar ketentuan tersebut.
Tak hanya itu, Isova juga menyoroti pelanggaran dalam sertifikat badan usaha (SBU) PT Blitz yang mengatur bahwa perusahaan dengan kualifikasi menengah hanya diperkenankan mengerjakan proyek dengan nilai maksimal Rp50 miliar. Namun, kenyataannya, total nilai ketiga proyek yang dimenangkan PT BLITZ mencapai Rp148 miliar, yang jelas melampaui batas yang diatur dalam SBU.
Lebih lanjut, Isova juga mengungkapkan bahwa PT Blitz telah melanggar klasifikasi SBU yang berlaku. Dimana perusahaan ini berstatus sebagai penyedia jasa pembangunan dan pemasangan instalasi tenaga listrik.
Namun, pekerjaan yang dimenangkan oleh PT Blitz lebih berkaitan dengan pengoperasian instalasi tenaga listrik, yang merupakan jenis usaha yang berbeda.
Oleh karena itu, AKLI mendesak PLN UID Aceh untuk membatalkan proses tender yang telah dilaksanakan dan membuka kesempatan tender ulang dengan melibatkan perusahaan-perusahaan lokal, guna menjaga kepatuhan terhadap regulasi serta mendukung pengembangan industri ketenagalistrikan lokal.
Tanggapan PLN
PLN Unit Induk Distribusi (UID) Aceh menanggapi protes Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Aceh terkait dugaan penugasan langsung anak perusahaan PLN, PT Haleyora Power, untuk pemasangan instalasi listrik di wilayah Aceh tanpa melibatkan Asosiasi Kontraktor Listrik Indonesia (AKLI).
General Manager PLN UID Aceh, Mundhakir, menegaskan bahwa seluruh proses pengadaan barang/jasa dilakukan sesuai regulasi dan melibatkan kontraktor lokal.
Mundhakir membantah klaim monopoli, pihaknya menyampikan empat poin penjelasan. Menurutnya, PLN UID Aceh mengklaim seluruh proses pengadaan mengacu pada sejumlah aturan, termasuk UU No. 30/2009 tentang Ketenagalistrikan, PP No. 62/2012 tentang Jasa Penunjang Tenaga Listrik, hingga Peraturan Direksi PLN No. 0018.P/DIR/2023.
Mundhakir menegaskan,tidak ada penugasan langsung ke PT Haleyora Power. Semua proyek perluasan dan pasang baru di enam UP3 Aceh dikerjakan kontraktor lokal melalui proses lelang sesuai hukum."
PLN menegaskan bahwa perusahaan lokal tetap menjadi prioritas. "Informasi bahwa Haleyora Power mengerjakan proyek secara langsung adalah tidak benar. Seluruh proses transparan dan sesuai prosedur," tegas Mundhakir.
Hal disampaikan Mundhakir menyebut Aceh memiliki beberapa asosiasi kontraktor listrik selain AKLI, seperti PAKLINA, AKLINDO, dan AKKLINDO.
"Semua asosiasi punya hak sama untuk bermitra dengan PLN. Tidak ada monopoli keanggotaan tertentu," ujarnya.
PLN mengklaim proses lelang dapat diakses publik melalui aplikasi eproc.pln.co.id.
"Tuduhan tidak transparan sama sekali tidak berdasar. Masyarakat bisa pantau langsung semua tahapan pengadaan kami," tambahnya.
Sementara itu, Manager Komunikasi dan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) PLN UID Aceh, Lukman Hakim menyampaikan bahwa pihaknya masih melakukan kajian lebih mendalam terkait permasalahan ini.
“PLN saat ini masih dalam tahap pengkajian dan sedang menunggu hasil diskusi lebih lanjut dengan manajemen,” ujar Lukman kepada Dialeksis.com, Selasa (18/2/2025).
Namun klarifikasi pihak PLN dibantah Ketua Umum DPD AKLI Aceh, Isova Darma. Ketua AKLI ini menguraikan apa yang disampaikan pihak PLN tidak benar.
Menurutnya, seluruh pekerjaan yang dilaksanakan oleh PT Haleyora Power dilakukan tanpa melalui pengumuman tender maupun proses tender yang transparan. Hal ini tentunya sangat jelas berdampak negatif dan mematikan perusahaan-perusahaan lokal.
"Penunjukan langsung PT. Haleyora Power sebagai pemenang pekerjaan pelayanan teknik senilai Rp 53 miliar di wilayah kerja PLN UP3 Banda Aceh jelas mematikan banyak perusahaan lokal," tegasnya saat dihubungi Dialeksis, Minggu (9/2/2025).
PLN seharusnya lebih mengedepankan prinsip kerja sama dengan semua pihak terkait, terutama AKLI, yang telah berperan sebagai penghubung dalam penyediaan jasa instalasi listrik yang berkualitas.
Selain itu, ujar Isova, pekerjaan pengadaan material distribusi PLN, seperti Saluran Udara Tegangan Menengah (SUTM), Saluran Kabel Tegangan Rendah (SKTR), dan lainnya, lebih banyak ditenderkan kepada perusahaan pabrikan. Sementara itu, perusahaan lokal di Aceh tidak diberikan kesempatan, yang menyebabkan banyak mati.
"Sudah saatnya pihak PLN segera membuka ruang dialog dan musyawarah dengan seluruh pihak terkait, termasuk AKLI, guna memastikan bahwa setiap proses pemasangan listrik di masa mendatang dapat berjalan sesuai dengan standar profesional dan teknis yang telah ditetapkan," tuturnya.
Upaya Hukum
Sementara itu, advokat dan praktisi hukum Hermanto SH mendesak Asosiasi Kontraktor Listrik dan Mekanikal Indonesia (AKLI) Provinsi Aceh segera melaporkan indikasi praktik monopoli, diskriminasi harga, dan kolusi dalam tender proyek listrik di Aceh ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Menurutnya, praktik ini telah meminggirkan kontraktor lokal dan mengancam iklim usaha yang adil. Ada pola sistematis dimana sejumlah proyek listrik dan mekanikal di Aceh didominasi oleh segelintir perusahaan melalui mekanisme tender yang tidak transparan.
“Ini jelas melanggar Pasal 17 dan 19 UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli. AKLI harus bertindak cepat sebelum kerugian anggota semakin meluas,” tegas Hermanto dalam wawancara eksklusif bersama Dialeksis, Selasa (25/02/2025).
Ia menjelaskan, indikasi pelanggaran terlihat dari syarat tender yang dinilai diskriminatif, seperti persyaratan modal dan pengalaman kerja yang tidak proporsional.
“Kontraktor lokal dengan kapasitas memadai justru tersingkir karena syarat dibuat sedemikian rupa untuk menguntungkan pemain tertentu. Ini bukan kompetisi sehat, melainkan rekayasa oligarki bisnis,” ujarnya.
Hermanto menambahkan, kolusi antara oknum penyelenggara proyek dan perusahaan tertentu juga memperparah situasi.
“Ada pembagian wilayah proyek secara tidak wajar dan penetapan pemenang lelang sebelum proses tender selesai. Ini merusak prinsip persaingan usaha dan berpotensi menimbulkan kerugian negara akibat inefisiensi anggaran,” paparnya.
Untuk memperkuat laporan, Hermanto menyarankan AKLI Aceh mengumpulkan bukti konkret seperti dokumen tender, surat kesepakatan tidak sah, dan kesaksian para pihak yang dirugikan.
“Kami siap membantu menyusun legal standing yang kuat. Laporan ke KPPU harus detail, mulai dari kronologi, identifikasi pelaku, hingga estimasi kerugian materiil dan immateriil,” jelasnya.
Ia juga mendorong AKLI melibatkan lembaga independen untuk audit proses pengadaan. Keterbukaan data proyek lima tahun terakhir perlu diusulkan.
“Jika ditemukan anomali, ini akan menjadi basis hukum yang solid untuk menuntut pertanggungjawaban pidana maupun perdata,” tambah Hermanto.
Tak hanya pendampingan hukum, Hermanto menekankan pentingnya kampanye publik. Masyarakat harus tahu bahwa praktik kotor ini berdampak pada harga listrik yang lebih mahal dan kualitas proyek yang buruk. Dukungan publik akan memberi tekanan moral bagi KPPU dan pemangku kebijakan untuk bertindak tegas,” ujarnya.
Hermanto optimistis langkah ini akan membuka mata pemerintah. Ini momentum untuk membersihkan sektor pengadaan proyek di Aceh.
“Jika KPPU bergerak cepat, tidak hanya anggota AKLI yang terbantu, tetapi juga iklim investasi Aceh akan membaik karena dianggap bebas dari praktik kartel,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan agar KPPU tidak setengah hati dalam investigasi. Jangan sampai kasus ini hanya berakhir di meja pemeriksaan tanpa tindakan nyata. Sanksi administratif seperti pembatalan tender dan denda maksimal harus dijatuhkan sebagai efek jera. Jika perlu, pihaknya akan eskalisasi ke penegak hukum untuk proses pidana,” tandas Hermanto.
Bagaimana reaksi KPPU?
Menurut Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), memenangkan tiga proyek tender secara bersamaan dapat menjadi indikasi adanya praktik persekongkolan tender, khususnya jika ditemukan pelanggaran terhadap regulasi atau ketentuan yang berlaku.
“Misalnya, jika terdapat persyaratan yang mengarah hanya pada satu perusahaan, sehingga mereka menjadi satu-satunya yang bisa memenangkan tender, atau adanya indikasi bahwa Pokja memberikan informasi awal kepada calon pemenang, memungkinkan mereka untuk mempersiapkan penawaran terlebih dahulu,” ujar Kepala Kanwil I KPPU, Ridho Pamungkas kepada Dialeksis, Senin (24/2/2025).
Namun demikian, lanjutnya, untuk memastikan hal tersebut, diperlukan investigasi lebih lanjut. Oleh karena itu, silakan melapor ke KPPU.
Bagaimana kisah selanjutnya dari persoalan instalasi listrik ini, apakah akan menempuh ranah hukum, atau pihak PLN yang akan mengalah, dengan melakukan proses tender ulang? Kita ikuti saja bagaimana “drama” selanjutnya. * Bahtiar Gayo