kip lhok
Beranda / Liputan Khusus / Indepth / Gambaran Mental Pejabat, Lihatlah Sepak Terjang Syahrul Yasin Limpo!

Gambaran Mental Pejabat, Lihatlah Sepak Terjang Syahrul Yasin Limpo!

Senin, 06 Mei 2024 10:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Bahtiar Gayo

Mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL). [Foto: dok. MPI/Riana Rizkia] 


DIALEKSIS.COM | Indepth - Sebagai Menteri Pertanian, dia punya wewenang menentukan “nasib” bawahannya. Siapa yang tidak ikut dalam pusarannya akan tergusur, tapi masuk dalam pusarannya justru jadi “sapi perah”.

Anggaran di Kementan dia utak-atik, urusan pribadi dan keluarga menjadi beban bawahan. Semua permintaannya harus dipenuhi, publik kini disuguhkan dengan informasi bagaimana mental seorang pejabat terjerat korupsi menekan bawahannya.

Menarik untuk disimak bagaimana sepak terjang seorang mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo atau SYL. DPR RI juga ikut menikmati aliran pusaran SYL, bagaimana Syahrul bermain? Bagaimana sikap bawahannya, apa pendapat para pakar dalam melihat fenomena ini?

Dialeksis.com merangkumnya dalam sebuah catatan. Apakah ini merupakan sebuah gambaran, ketika seorang punya kekuatan dengan kekuasaan apapun akan dilakukannya, yang penting dirinya bisa menikmati kesenangan?

Sejumlah dugaan dan fakta baru bermunculan, di persidangan mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo atau SYL di Pengadilan Tipikor Jakarta. Sejumlah saksi memberikan keterangan, mantan pemimpinnya ini kerap menggunakan anggaran Kementan untuk keperluan pribadi.

Sejumlah saksi menyebutkan, Kementan mengeluarkan anggaran untuk acara yang bersifat pribadi, seperti sunatan dan ulang tahun cucu SYL, hingga skincare. Membayar cicilan mobil Alphard, uang jajan istri, sampai urusan jamuan makan dan urusan dangdut.

Berikut sejumlah fakta dinpersidangan yang kini hangat dibahas publik, dari berbagai sumber yang menayangkan pemberitaan ini diketahui, uang jajan istri SYL juga dari Kementan (padahal diketahui Ayun Sri Harahap, istri Kementan ini seorang yang kaya).

Hal itu terungkap ketika mantan Kasubag Rumah Tangga Biro Umum dan Pengadaan Kementan, Isnar Widodo menyebutkan, pihaknya selalu mengeluarkan uang bulanan untuk istri SYL.

"Selain jamuan makan, apa yang Saudara fasilitasi, apa lagi yang mereka minta?" tanya ketua majelis hakim Rianto Adam Pontoh dalam persidangan.

"Kadang-kadang uang harian, uang bulanan, Yang Mulia," jawab Isnar.

Selain urusan istri, dalam berita acara pemeriksaan (BAP) Isnar, nomor 43 yang dibacakan jaksa KPK dalam persidangan di PN Tipikor Jakarta, dikutip Kamis (25/4/2024) terungkap bahwa SYL kerap menagihkan pembayaran kartu kredit ke Kementan.

Dalam BAP itu juga mengungkapkan jika Isnar dicopot dari jabatannya lantaran tak memenuhi permintaan pembayaran tagihan kartu kredit SYL mencapai Rp215 juta.

Akibat penolakan itu, Isnar, bersama temanya Abdul Hafidz, Gempur, dan Musyafak dicopot dari jabatannya, dari struktural ke jabatan fungsional. Isnar menyebutkan, tagihan kartu kredit itu merupakan keperluan pribadi SYL.

Selain itu, ada kegiatan ulang tahun cucu SYL, Isnar mengakui adanya permintaan reimbursement atau pengembalian atas biaya acara ulang tahun (ultah) cucu SYL.

Cucunya ini merupakan anak dari Kemal Redindo Syahrul Putra. Namun, Isnar tidak mengungkap berapa biaya yang diminta ke Kementan. Dia mengatakan permintaan itu lagi-lagi disampaikan melalui Panji Hartanto, sang ajudan.

Permintaan lainnya, diungkapkan mantan Sub-Koordinator Pemeliharaan Biro Umum dan Pengadaan Kementerian Pertanian (Kementan), Gempur Aditya. Dalam persidangan Gempur dihadirkan sebagai saksi, menyebutkan, ada menggunakan anggaran di Kementan untuk biaya perawatan skincare anak dan cucunya.

Bukan hanya itu, untuk urusan ibadah juga ada indikasi pemerasan. Dalam paparan Jaksa Penuntut Umum (JPU), dikutip dari CNN dan Detikcom, SYL juga diduga melakukan pemerasan. Uang atas pemerasan tersebut dipakai untuk menunaikan umrah dengan biaya Rp1,87 miliar.

Adapun, sumber uangnya a.l. Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (Ditjen PSP): Rp 1.000.000.000 tahun 2022; Ditjen PKH: Rp 300.000.000 tahun 2022 dan Rp 300.000.000 tahun 2023; Ditjen Perkebunan: Rp 159.500.000 tahun 2023; dan BPPSDMP: Rp 112.150.000 tahun 2022.

Selain itu ada juga urusan partai yang Nasdem ikut terseret di dalamnya. Partai NasDem yang merupakan kendaraan politik SYL disebut jaksa KPK juga turut menerima uang sebesar Rp40.123.500. Uang ini bersumber dari Setjen Kementan.

Poin selanjutanya, juga terungkap SYL juga membayar charter pesawat senilai Rp3.034.591.120. Bukan hanya sampai disitu, Jaksa menambahkan SYL juga menggunakan uang sebesar Rp16.683.448.302 untuk acara keagamaan, termasuk uang kurban.

Semua uang itu bersumber dari Ditjen Prasarana dan Sarana (PSP), Ditjen PKH, Ditjen Perkebunan, Ditjen Hortikultura, Ditjen Tanaman Pangan, Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian, Badan Ketahanan Pangan, dan Barantan.

Adapun, dikutip dari Detikcom, sumber uang kurban a.l. Ditjen PSP: Rp 360.000.000 tahun 2023; Ditjen Perkebunan: Rp 75.000.000 tahun 2022; Ditjen Tanaman Pangan: Rp 250.000.000 tahun 2022; Balitbangtan: Rp 825.000.000 tahun 2020; BPPSDMP: Rp 87.500.000 tahun 2022; dan Badan Ketahanan Pangan: Rp 25.000.000 tahun 2020, Rp 32.000.000 tahun 2021.

Persoalan untuk hepi-hepi dengan mengundang biduan juga dibebankan kepada uang Kementan. SYL diduga membayar biduan menggunakan anggaran Kementan yang angkanya mencapai Rp50-100 juta. Penyanyi yang pernah diundang dalam salah satu acara itu adalah Nayunda Nabila.

Persoalan kondangan juga mengemuka dalam persidangan, mantan Kepala Biro Umum dan Pengadaan pada Kementerian Pertanian (Kementan), Akhmad Musyafak menjelaskan, SYL memakai anggaran Kementan untuk kondangan.

Ketika SYL datang ke sebuah acara kondangan, maka 'duit' kondangan itu diambil dari anggaran Kementan, sebut Akhmad.

Akhmad mengatakan anggaran itu digunakan untuk keperluan pemberian kado saat SYL pergi kondangan. Menurut dia, SYL kerap meminta disiapkan kado emas setiap kali menghadiri kondangan yang jumlahnya mencapai Rp8 juta.

Ada lagi urusan pribadi yang menyedot anggaran di Kementan, saat menjadi saksi, mantan Kasubag Pengadaan Biro Umum Kementan Abdul Hafidh menyebut Kementan juga membayar cicilan Rp43 juta per bulan untuk mobil Alphard SYL. Hafidh mengatakan Alphard itu ternyata digunakan oleh anak SYL, Kemal Redindo.

Berapa Nilai Totalnya?

Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menduga SYL menerima uang sebesar Rp44,5 miliar hasil memeras bawahan-bawahannya dan direktorat di Kementan yang kemudian digunakan untuk kepentingan pribadi dan keluarga.

Berikut rincian pengeluaran uang Kementan yang diduga digunakan SYL untuk kepentingan pribadi dan keluarganya:

Mobil merek Toyota Innova untuk anak SYL seharga Rp500 juta. Umrah keluarga Rp1,35 miliar. Untuk Kurban Rp1,6 miliar. Cicilan mobil Alphard Rp43 juta. Sunatan cucu, Skincare anak dan cucu.

Hadiah emas untuk setiap kondangan Rp7 juta - Rp8 juta. Kacamata SYL dan istri. Kebutuhan operasional rumah dinas (termasuk beli makan-minum) Rp3 juta per hari. Membayar biduan Rp100 juta. Parfum Rp5 juta.

Uang jajan istri Rp25 juta - Rp30 juta per bulan, beli dollar di bank US$4.000 (atau setara Rp64 juta). Biaya pemeliharaan apartemen milik SYL Rp300 juta. Cicilan kartu kredit Rp215 juta, biaya dokter kecantikan anak SYL.

Bantahan

Ketua Tim Pengacara SYL, Djamaludin Kudubun, membantah bahwa uang Kementan digunakan untuk membayar cicilan mobil Alphard. Ia mengeklaim mobil tersebut merupakan mobil dinas yang digunakan oleh SYL ketika berada di Makassar yang dibayar sewa Rp43 juta.

Sementara soal uang jajan istri SYL perbulan, menurut Djamal merupakan “hak dari istri Pak SYL“ yang berasal dari anggaran menteri. Hal yang serupa juga ia utarakan untuk pembayaran kartu kredit yang ia sebut diambil dari “haknya pak Menteri“.

“Sejumlah anggaran yang menjadi hak pak menteri yang diteruskan kepada istri beliau. Tapi bukan berarti seolah-olah itu adalah uang jajan istri beliau yang itu ilegal sifatnya, tapi itu uang yang memang legal,“ kata Djamal seperti dikutip dari Kompas.

Ia mengatakan bahwa selama ini pernyataan dari para saksi masih belum jelas menunjukkan dari mana uang itu berasal, siapa yang memintanya dan melalui apa uang itu ditransfer.

“Apakah itu diperintah oleh beliau atau anak-anak beliau atau diminta keluarga beliau? Tidak ada mengemuka dalam persidangan itu yang menyebut siapa yang memberikan uang itu,“ ucapnya.

Sementara itu SYL menyatakan siap mengikuti proses hukum dan melakukan pembelaan pasca-ditolaknya eksepsi oleh Majelis Hakim PN Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Ia mengatakan akan bertanggung jawab atas perbuatannya. 

"Saya siap berproses dengan hak-hak saya untuk melakukan pembelaan dengan pengalaman yang saya miliki," katanya saat ditemui wartawan sesuai mengikuti sidang putusan sela di PN Tipikor, Rabu, 27 Maret 2024.

Dia meminta diberikan kesempatan untuk melakukan pembelaan. 

"Kalau itu memang menjadi perbuatan saya, saya akan bertanggung jawab, tapi berikan saya hak untuk membela," ujarnya.

Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat menolak eksepsi atau nota keberatan yang diajukan bekas Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo (SYL)

Majelis hakim juga menolak eksepsi bekas Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementan, Kasdi Subagyono; dan bekas Direktur Alat Mesin Pertanian, Muhammad Hatta. Hakim Ketua Rianto Adam Pontoh memutuskan untuk melanjutkan proses hukum ke tahap pembuktian.

Tanggapan Peneliti

Peneliti dari PUKAT UGM, Zaenur Rochman mengatakan bahwa modus korupsi yang memanfaatkan dana operasional menteri (DOM) dan memungut biaya dari anak buahnya sudah menjadi praktik yang lumrah terjadi secara struktural.

“Inisiatif bisa datang dari menteri atau bawahannya atau vendor. Kebutuhan operasional menteri sebenarnya sudah ditanggung DOM. Namun, bagi pejabat yang serakah ingin hal-hal di luar kedinasan juga ditanggung.

“Akibatnya minta servis. Bawahan mencari dana servis dari manipulasi anggaran dinas maupun dari vendor,” ujar Zaenur kepada BBC News Indonesia.

Ia menilai bahwa praktik tersebut seringkali lama untuk terungkap hingga akhirnya terakumulasi dan “meletus” seperti pada kasus SYL.

Hal ini dikarenakan para pejabat yang bekerja di bawah kepala lebih memilih untuk bungkam karena khawatir kehilangan jabatan.

Menurut Peneliti lainnya dari Transparency International Indonesia (TII), Bagus Pradana, mengatakan bahwa sebenarnya pegawai yang melapor kepada instansi terkait sebenarnya dilindungi oleh hukum. Sehingga, seharusnya mereka tidak perlu takut.

Namun, ia juga memahami keberadaan “ancaman” yang dilakukan pihak yang memiliki kuasa lebih tinggi agar dapat membungkam bawahan-bawahannya. Sehingga mereka akhirnya terjerat ke dalam tindak pidana itu sendiri meskipun menyadari bahwa itu merupakan pelanggaran.

“SYL ini menjadi sangat besar karena terstruktur dan ada sistem part-compliance dan mekanisme ancaman, penonaktifan jabatan dan mutasi. Ancaman-ancaman ini yang ditakuti oleh eselon-eselon di bawahnya ini,” ujar Bagus.

Di sisi lain, menurut Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM, Zaenur Rochman, pengawasan terhadap penggunaan DOM dianggap "tumpul".

“Menurut saya sebanyak apa pun yang diberikan, bahkan sudah ditutupi oleh DOM, nyatanya juga masih meminta kepada vendor. Artinya, di sini masalah pengawasannya tumpul,” kata Zaenur Rochman kepada BBC News Indonesia.

Hal serupa juga terjadi beberapa tahun lalu ketika sejumlah menteri terjerat korupsi penyalahgunaan DOM, seperti yang dilakukan mantan Menteri ESDM Jero Wacik dan Menteri Agama Suryadharma Ali.

Sementara itu, peneliti Transparency International Indonesia (TII), Bagus Pradana, menjelaskan bahwa korupsi yang dilakukan SYL bersifat “terstruktur dan masif” karena diduga tak hanya melibatkan anggaran kementerian semata, tetapi juga memeras bawahan-bawahannya agar mendanai kepentingan pribadinya.

Peneliti TII lainya, Sahel Alhabsyi, mengatakan bahwa pemerasan di dalam institusi pemerintah sudah menjadi rahasia umum dan ada beberapa kasus di masa lalu yang menunjukkan tren serupa terjadi pula di deretan kementerian.

Ia merujuk pada kaitannya dengan meritokrasi, yakni penempatan orang di satu posisi tidak berdasarkan kompetensi atau rekam jejak. Selain itu, ada pula ongkos politik yang ditanggung oleh pemegang kuasa.

“Karena keluar ongkos politik yang besar untuk menempati satu posisi, maka atasan itu akan berusaha menutupi ongkosnya dengan meminta upeti pada bawahan-bawahannya," kata Sahel.

"Semua ini terjadi dan mengakibatkan praktik [pemungutan] upeti di dalam birokrasi menjadi lazim,” ujarnya kemudian.

Bumi Pertiwi sudah mengukir sejarah tentang sepak terjang para koruptor. Bagaikan mengurai benang kusut persoalan memakan uang rakyat ini tidak akan habisnya menjadi trend pemberitaan, apakah ini sebuah pertanda bahwa mental para pejabat di negeri ini lebih dominan untuk mengkhianati rakyat?

Satu persatu kasusnya bermunculan, mulai dari level terbawah di aparatur desa sampai dengan puncak pimpinan di level menteri. Bumi pertiwi masih termasuk negeri dalam pusaran korupsi. Mental para pemimpin di negeri ini kapan akan terbebas dari korupsi? [bg]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda