kip lhok
Beranda / Liputan Khusus / Indepth / Gen-Z di Pilkada Banda Aceh, Pemula tapi Tidak Buta Politik

Gen-Z di Pilkada Banda Aceh, Pemula tapi Tidak Buta Politik

Minggu, 10 November 2024 22:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Empat paslon wali kota dan wakil wali kota Banda Aceh melakukan deklarasi pelaksanaan Pilkada damai di Taman Bustanussalatin, Banda Aceh, Aceh, Selasa (24/9/2024). Foto: Naufal Habibi/dialeksis.com.


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Menjelang pemilihan kepala daerah di Banda Aceh, para calon berusaha keras merebut hati pemilih muda, khususnya Generasi Z. Mengapa? Karena jumlah Gen Z sangat besar. di Banda Aceh saja, ada 36.470 pemilih dari total 172.619. Itu berarti sekitar 21 persen dari semua pemilih, sebuah angka yang bisa menentukan hasil pemilu.

Namun, tantangan yang dihadapi Gen Z juga tidak sedikit. Di era digital ini, mereka dibanjiri informasi, termasuk kampanye hitam dan berita yang tidak selalu benar. Salah satu isu yang sering muncul adalah soal larangan perempuan menjadi pemimpin, yang bisa mempengaruhi pandangan mereka terhadap calon tertentu. Apakah para calon bisa merebut hati Gen Z dengan kampanye yang bersih dan positif, atau justru akan kehilangan kepercayaan mereka? Satu hal yang pasti, suara Gen Z akan sangat berpengaruh pada pemilihan kali ini.

Oleh Naufal Habibi

Sabtu malam, 21 September 2024, puluhan anak muda, sebagian besar dari generasi milenial, berkumpul untuk mendeklarasikan dukungan kepada pasangan calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Banda Aceh nomor urut empat, Illiza Sa’aduddin Djamal dan Afdhal Khalilullah.

Mereka yang berjumlah sekitar 30 orang ini menamakan diri mereka Kolaborasi Pengusaha Muda Kota (KPMK), sebuah kelompok yang diinisiasi oleh para pengusaha muda Banda Aceh. Dari luar hotel, bendera dan spanduk pasangan calon Illiza-Afdhal terlihat tertata rapi

Wajah-wajah antusias tampak memenuhi area, mereka yang sebagian besar tampil dengan gaya kasual namun rapi. Setiap detil dekorasi acara terpajang foto dan kata-kata dukungan terhadap visi dan misi pasangan Illiza-Afdhal. Sementara musik latar yang mengalun lembut menambah suasana deklarasi tersebut.

Ketika jam menunjukkan pukul delapan malam, aula hotel mulai padat. Panitia dengan sigap menyambut para tamu, memandu mereka menuju kursi-kursi yang telah diatur rapi. Di sudut-sudut ruangan, poster dan slogan kampanye Illiza-Afdhal tampak mencolok.

"Kami dari KPMK sangat antusias mendukung pasangan Illiza-Afdhal," kata Ketua KPMK, Aminullah kepada Dialeksis.com.


Deklarasi dukungan dari Kolaborasi Pengusaha Muda Kota (KPMK) kepada pasangan calon (Paslon) Illiza Sa'aduddin Djamal dan Afdhal sebagai Walikota dan Wakil Walikota Banda Aceh dalam Pemilihan 2024 di Aula Lantai 8 Hotel Ayani Peunayong, Banda Aceh, Provinsi Aceh, Sabtu, 21 September 2024. Foto: Naufal/ Dialeksis.com.


Aminullah, sosok kelahiran 16 Mei 1995, dikenal sebagai pendiri Yayasan Lentera Muda Karya, sebuah yayasan yang bergerak di bidang kemanusiaan dan kesejahteraan masyarakat. Melalui yayasannya, Aminullah bersama timnya berupaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, terutama bagi kalangan muda, melalui program-program pengembangan diri, pendidikan, dan pemberdayaan ekonomi.

Kini, ia dipercaya sebagai Ketua Kolaborasi Pengusaha Muda Kota (KPMK), sebuah organisasi yang dibentuk oleh pengusaha muda Banda Aceh. Di Pilkada Banda Aceh 2024, Aminullah dan rekan-rekannya di KPMK memutuskan untuk memberikan dukungan penuh kepada pasangan calon Illiza Sa’aduddin Djamal dan Afdhal Khalilullah, yang dinilai mampu membawa visi perubahan yang sejalan dengan aspirasi kaum muda.

Sebagai Ketua KPMK, Aminullah memimpin gerakan ini dengan tekad besar, mengajak generasi muda untuk bersama-sama berkontribusi dalam membangun Banda Aceh yang lebih inklusif, inovatif, dan berdaya saing.

Ia menjelaskan KPMK, sebagai perkumpulan pengusaha muda Banda Aceh, ingin mendorong lahirnya kepemimpinan yang berfokus pada pemberdayaan ekonomi dan pengembangan potensi pemuda, khususnya di bidang kewirausahaan.

Sesi deklarasi dukungan pun dimulai. Aminullah memimpin deklarasi tersebut. Dengan lantang, ia mengajak semua anggota KPMK untuk berikrar mendukung penuh Illiza-Afdhal dalam kontestasi pemilihan mendatang. Serentak, anggota KPMK mengangkat tangan, menyuarakan dukungan mereka.

"Bersama Illiza-Afdhal, Banda Aceh maju!" teriak Aminullah yang diikuti oleh para hadirin.

Pewarta Dialeksis.com mencoba menggali lebih dalam mengenai profil para peserta acara tersebut. Ternyata, mayoritas anggota Kolaborasi Pengusaha Muda Kota (KPMK) adalah kaum milenial yang lahir dan dibesarkan di Banda Aceh. Menariknya, tidak ditemukan satupun anggota yang berasal dari generasi Z dalam kelompok ini.

Dalam diskusi yang berlangsung bersama Ketua KPMK, Aminullah, muncul bahasan menarik tentang peran kaum muda dan Gen Z dalam keterlibatan kampanye politik di Kota Banda Aceh.

Aminullah menjelaskan bahwa mereka telah berupaya keras untuk menarik perhatian para lulusan baru, termasuk mereka dari generasi Gen Z, ke dalam berbagai kegiatan politik maupun ekonomi yang ada di kota tersebut. Meski begitu, Aminullah mengakui bahwa partisipasi dari generasi muda masih tergolong rendah.

“Kita sudah coba melibatkan mereka lewat berbagai kegiatan, namun banyak dari mereka yang belum begitu antusias dan tidak ikut," ujarnya.

Menurut Aminullah, pemuda dan pelaku usaha muda di Banda Aceh telah berkolaborasi dalam membangun Kota Banda Aceh menjadi lebih inklusif, modern, dan ramah bagi pemuda. Dia menekankan bahwa suara Gen Z memiliki potensi besar dalam menentukan arah politik di masa depan.

Namun, ia menambahkan bahwa meskipun mereka berupaya melibatkan anak-anak muda ini, banyak yang belum merespons ajakan untuk aktif berpartisipasi dalam politik dan kegiatan-kegiatan pembangunan kota.

Disisi lain, Puluhan pemuda berkumpul di kantor Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai NasDem Aceh pada Senin sore, 28 Oktober 2024. Mereka terdiri sekitar 20 orang menamakan dirinya sebagai Gerakan Milenial Pemuda Irwan Khairul Akmal (Gempika).dukungan mereka dalam pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Banda Aceh 2024-2029.

Bendera dan spanduk pasangan Teuku Irwan Djohan-Khairul Amal berkibar di depan kantor DPW. Para anggota Gempika tampak mengenakan seragam kaus dengan gambar irwan Johan dan khairul amal.

"Dukungan ini tidak diberikan secara sembarangan. Kami, dari Gempika, melihat dalam diri Teuku Irwan Djohan dan Khairul Amal sosok pemimpin yang mampu memahami tantangan dan kebutuhan kaum muda di Banda Aceh," ujar Riski Yudisia kepada Dialeksis.com.

Riski Yudisia, seorang pemuda berusia 28 tahun, adalah lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala. Ia pernah mencalonkan diri sebagai anggota DPRK Aceh Besar pada Pemilihan Umum (Pemilu) Tahun 2024 melalui Partai NasDem. Namun, dalam kontestasi tersebut, Riski belum berhasil memperoleh kursi di DPRK.

Kini, Riski dipercaya menjadi Ketua Gerakan Milenial Pemuda Irwan Khairul Akmal (Gempika), sebuah organisasi yang dibentuk untuk menggalang suara dan aspirasi generasi milenial Banda Aceh dalam mendukung pasangan Teuku Irwan Djohan dan Khairul Amal pada Pilkada 2024.

Di tengah riuhnya suasana, reporter Dialeksis.com, mencoba mencari sosok dari generasi yang lebih muda, generasi Z, namun ternyata hampir seluruh peserta yang hadir adalah generasi millenial atau Generasi Y, yang lahir antara tahun 1981 hingga 1996. Tidak ada satupun Gen Z yang datang dalam deklarasi dukungan tersebut.


Gerakan Milenial Pemuda Irwan Khairul Akmal (Gempika), mendeklarasikan dukungan terhadap Pasangan Teuku Irwan Djohan dan Khairul Amal sebagai calon walikota dan calon wakil walikota Banda Aceh periode 2024-2025 di Kantor DPW Partai NasDem Aceh, Senin, 28 Oktober 2024. Foto: Naufal/Dialeksis.com.


Dalam dua bulan terakhir ruang digital, seperti Instagram dan TikTok, warga Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh dipenuhi dengan konten berbau politik. Pemilihan walikota Banda Aceh periode 2025 - 2030 menghiasi setiap lini media sosial.

Salah satu konten yang selalu ramai dikomentari warganet atau netizen tentang ‘agama melarang perempuan menjadi pemimpin’. Misalnya postingan di akun Instagram @tercyduck.aceh dengan narasi “Seharusnya Illiza tidak mencalonkan walikota karena melanggar ayat A-Quran”.

Alhasil perang komentar tidak terelakkan, ada yang setuju atau juga yang tidak sepaham. Satu postingan itu dikomentari 315 komentar. Misalnya pemilik akun @ridha.id menuliskan AKU SETUJU, JANGAN PILIH PEMIMPIN WANITA. Sementara pemilik akun @oyun.lin menuliskan MAKIN DIBERITAKAN BEGINI MAKIN JELAS KEMENANGAN ILLIZA.



Rauzah, 20 tahun, seorang mahasiswi di Banda Aceh tahu konten itu serangan politik terhadap Illiza Saaduddin Djamal, calon walikota Banda Aceh. Illiza satu-satunya perempuan dalam ring pertarungan Pilkada Banda Aceh. Dia berpasangan dengan Afdhal Khalilullah.

Ini kali kedua Illiza mencalonkan diri sebagai walikota setelah pada Pilkada 2017 kalah dari Aminullah Usman yang juga kembali mencalonkan diri. Pada pilkada 2017, Illiza juga diserang dengan kampanye hitam agama melarang perempuan menjadi pemimpin.

Namun, Rauzah sama sekali tidak terprovokasi dengan konten tersebut. Bagi Rauzah, kampanye menjatuhkan orang karena jenis kelamin, tidak fair. “Itu rasis. Kita sudah hidup di zaman modern, laki-laki dan perempuan setara di mata hukum. Perempuan juga punya hak dan mampu memimpin," ujar Rauzah.

Jelas, bagi Rauzah memilih pemimpin karena kualitas, bukan identitas apalagi karena jenis kelamin. “Kenapa harus mempersoalkan perempuan? Aceh dulu pernah dipimpin oleh empat sultanah berturut-turut. Jadi, baik laki-laki maupun perempuan bisa memimpin, asalkan mereka memiliki visi yang jelas,” kata Rauzah.


Konten penolakan perempuan menjadi pemimpin ditayangkan di halaman media sosial seperti Instagram, TikTok, dan Facebook yang notabene ruang eksistensi para gen Z. 

Gen Z adalah sebutan untuk kelompok orang yang lahir tahun 1990-an hingga awal 2010-an. Mereka adalah generasi yang tumbuh di tengah pesatnya perkembangan teknologi digital, seperti internet, media sosial, dan perangkat pintar. Nyaris tidak ada hari dihabiskan tanpa berselancar di ruang digital.

Oleh sebab itu pula, kini ruang digital juga menjadi arena pertarungan calon walikota Banda Aceh. Berbagai konten kampanye disebar di media sosial baik milik pribadi calon maupun komunitas. Materinya juga beragam, mulai dari yang menginspirasi hingga menjatuhkan lawan. Tujuan mereka untuk merebut suara gen Z.

Pilkada Banda Aceh diikuti empat pasangan calon yakni, Illiza - Afdhal, Zainal Arifin - Mulia Rahman, Aminullah Usman - Isnaini Husda, dan Irwan Djohan - Khairul Amal.

Suara gen Z tidak boleh dianggap remeh. Pada Pilkada Kota Banda Aceh 2024, dari jumlah pemilih 172.619 orang sebanyak 36.470 pemilih atau 21 persen merupakan pemilih pemula atau gen Z. Karena alasan itu pula para calon serius melakukan kampanye di ruang digital.

Penelusuran Dialeksis.com narasi atau konten kampanye agama melarang perempuan menjadi pemimpin dominan disebar di platform Instagram dan TikTok. Dengan memasukkan kata kunci ‘Pilkada Banda Aceh dan Illiza Sa’aduddin Djamal’ akan muncul ragam konten, salah satunya narasi perempuan tidak boleh memimpin.

Konten itu disebar oleh akun pribadi dan akun anonim. Misalnya pada akun TikTok @rakyatberdaulat pada 29 September 2024 menayangkan video pidato ulama Aceh Abu Mudi Mesra Samalanga yang berisi narasi “Perempuan menjadi pemimpim rakyat=perbuatan dosa”.

Postingan ini mendapatkan 115 komentar beragam dari warganet. Sebagian setuju dengan potongan isi postingan tersebut misalnya pemilik akun @Adli99 dia menuliskan dalam bahasa Aceh “Dalam Islam Hareum Urung Inong Jeut keu pemimpin” (Dalam Islam haram perempuan menjadi pemimpin). Sementara dukungan untuk Illiza datang dari pemilik akun @fida yang menuliskan “Sabarr Bu...Semua Gerak Allah, InsyaAllah Banda Aceh di pimpin oleh perempuan "Kota Banda Aceh bermartabat, bersyariat"



Dialeksis melakukan wawancara secara random terhadap empat orang pemilih pemula yang masuk dalam kelompok gen Z. Ke empat narasumber merupakan mahasiswa dan mereka tidak mempersoalkan perempuan menjadi pemimpin. Bahkan, mereka menyebutkan tidak ingin terpengaruh kampanye hitam tersebut.

Misalnya Habibi, 19 tahun, warga Banda Aceh, dia tidak ingin tenggelam dalam narasi negatif itu. Dia hanya membaca semua komentar, tanpa membalas satu pun.

“Netizen sekarang kalau diinformasikan terkait isu kepemimpinan perempuan langsung bergerombolan memenuhi kolom komentar seolah-olah apa yang ia katakan itu benar. Sebagai pengguna sosial media aktif saya tidak ikut mengomentari tapi hanya ikut menyimak,” ujar Habibi.

Sebagai pengguna media sosial aktif, ia kerap kali mendapatkan kampanye tentang politik seperti money politik, stop hoax, dan isu terhadap menolak kepemimpinan perempuan.

“Saya sering melihat isu-isu politik itu di Instagram atau di fyp TikTok, tetapi saya hanya menyimak,” kata Habibi.

Menurutnya pemimpin yang baik tidak harus ditentukan oleh jenis kelamin, melainkan kemampuan untuk memecahkan masalah dan membawa perubahan.

Meski demikian Habibi dan Rauzah antusias mengikuti Pilkada Banda Aceh. Mereka akan memberikan hak suara pada hari pencoblosan. Mereka belum memutuskan siapa yang dipilih. Sebagai generasi intelektual mereka mempelajari program yang ditawarkan oleh kandidat.

Selanjutnya »     Lebih optimisSebagai ibu kota provinsi, ...
Halaman: 1 2 3
Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
Komentar Anda