Jalan Sunyi Kaum Lelaki Seks Lelaki di Aceh
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - "Semua hal ada di Aceh". Wisnu (32) tidak percaya dengan pernyataan dari seorang pamannya itu hingga suatu malam di akhir tahun 2012, dia melihat fenomena ini.
Di kawasan Batoh, Banda Aceh, di halaman café ternama tak jauh dari terminal bus, seorang pria berperawakan maskulin keluar dari tempat kerjanya menemui pria lain yang sudah kelihatan lama menanti. Ketika bertemu, keduanya cek-cok, bahkan sampai adu jotos.
"Kenapa lama sekali? Kau tidak tahu betapa aku jalan kaki jauh-jauh kesini untuk menemuimu?" cerita Wisnu kepada Dialeksis.com, Senin (9/12/2019), mengutip ucapan pria penunggu itu.
Kedua pria itu pun bertengkar dalam keremangan malam hingga berakhir dengan sendirinya. Lalu keduanya berpisah dengan wajah benjol.
"Masalahnya mereka itu berbadan macho, tapi bertengkar seperti pasangan kekasih antara pria dan wanita. Omongan mereka itu dalam sekali layaknya orang pacaran," ujar Wisnu yang saat itu bekerja di salah satu rumah makan tak jauh dari kejadian.
Ilustrasi "pasangan lelaki". [Foto: Andhika/detikcom]Itu bukan pertama kali Wisnu melihat prilaku lelaki yang kelihatan menyukai lelaki. Suatu kali dalam sebuah konser grup band nasional di Banda Aceh, ia melihat "sepasang lelaki" bermesraan di antara kerumunan penonton.
"Seorang duduk, seorangnya lagi berdiri di belakang sambil merangkul lelaki di depan yang menurutku itu pasangannya," ujar warga Banda Aceh ini.
Apa yang dilihat Wisnu adalah beberapa ciri perilaku Lelaki Seks Lelaki (LSL) atau dalam versi Inggris disebut MSM (men who have sex with men). Ia sejenis gay.
"Ciri-ciri lain," kata dr Iman Murahman saat dihubungi Dialeksis.com, Senin (9/12/2019), "mereka biasanya saat bertemu memberi kecupan di pipi, tapi kalau di Aceh mereka harus lihat sikon dulu."
Dia adalah Kasi Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Menular (P2PM) Dinas Kesehatan (Dinkes) Aceh.
Perilaku pasangan LSL, kata Iman, juga terlihat saat mereka bercengkrama atau saat jalan bergandengan tangan. Namun bebernya, "kalau di Aceh mereka belum berani bergandengan tangan."
Menurut Iman, perilaku penyimpangan seksual mulai muncul di Aceh pascatsunami, seiring mudahnya keluar-masuk para pendatang dari luar Aceh dan mudahnya mengakses internet seperti media sosial.
"Kalau dulu kita punya adat, misalnya kalau ada perempuan di warung kopi langsung dilihatin, tapi kalau sekarang kan gak lagi. Setelah tsunami, adat itu hilang, seiring banyaknya orang-orang masuk ke warung kopi dari berbagai kalangan. Maka hal-hal seperti itu (LSL) tak terbendung lagi," jelasnya.
Semakin tahun, Iman mengungkapkan, tren LSL di Aceh terus meningkat setiap tahunnya.
Dinas Kesehatan Aceh mencatat, di Kota Banda Aceh saja, jumlah LSL pada tahun 2018 ada 350 orang dan bertambah jadi 771 orang pada tahun 2019.
Kasi Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Menular Dinas Kesehatan Aceh, dr Iman Murahman. [Foto: Sara Masroni/Dialeksis.com]Kenaikan itu berbanding lurus dengan jumlah orang terjangkiti virus HIV (human immunodeficiency virus yaitu virus yang merusak sistem kekebalan tubuh) yang semakin dominan di kalangan LSL.
Namun Iman menggarisbawahi, angka LSL atau komunitas yang terjangkit penyakit lain yang dapat menyebabkan penularan HIV merupakan angka target, bukan angka riil.
Angka-angka yang disebutkan di atas, ujarnya, merupakan angka target yang diukur berdasarkan rumusan dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Dia menyebut, Kemenkes membuat perumusan itu berdasarkan wilayah.
"Kalau wilayah Aceh itu kan tidak epidemi, sementara kalau epidemi meluas itu di Papua dan Papua Barat. Nah, Kemenkes punya rumus sendiri," ungkapnya. "Saya belum begitu mendalaminya tapi masing-masing pemerintah daerah punya akses tersendiri."
Dia menambahkan, sejatinya jumlah pengidap HIV atau orang dengan kondisi kondisi HIV/AIDS (Odha) tak bisa dipastikan.
"Saat disurvei, mana ada korban yang mau ngaku mengidap HIV/AIDS, sebab penyakit ini terlanjur mendapat stigma negatif di masyarakat," jelasnya.
Korban Menjadi Pelaku
Sebelumnya, saat ditemui Dialeksis.com di kantornya, Kamis (5/12/2019), Kasi P2PM Dinkes Aceh dr Iman Murahman menyatakan, persoalan LSL memang masif dan berbahaya. Sistemnya berantai.
"Setelah jadi korban, si korban bakal jadi pelaku. Begitu seterusnya," ujar dr Iman.
Ia menceritakan, pelaku LSL awalnya merupakan korban. Namun karena keenakan, si korban akan bertindak sebagai pelaku dengan mencari korban baru.
Motifnya, kata dia, pelaku maupun korban merasakan sensasi yang luar biasa nikmatnya saat berhubungan dengan sesama lelaki lewat ‘pintu belakang’. Sekali mencoba, keduanya akan terus terbayang dan melekat di pikiran.
"Setelah si korban merasakan nikmatnya LSL, maka ia akan mencari korban lain untuk memuaskan hasratnya," tambah Iman.
Menurutnya, modus pelaku yang notabene pendatang, biasanya menunjukkan keakraban secara berlebihan. Misalnya mengajak jalan-jalan, lalu memberikan sejumlah uang kepada korban untuk melakukan hubungan seks yang demikian.
Rata-rata pelaku LSL itu orang-orang kaya dari luar Aceh yang punya banyak uang. Mereka bukan orang sembarangan.
"Mereka biasanya menarget mahasiswa atau anak-anak muda yang sering melamun (sedikit aktivitas) dan kurang sokongan ekonomi," ungkap Iman.
Target tersebut, lanjutnya, akan diajak jalan-jalan dan tidur di kos berdua-duan. Dengan modus saling urut, maka si pelaku bakal melancarkan aksinya.
"Kemudian di sekolah yang berasrama. Tanpa berniat menciptakan stigma negatif, kita juga harus mulai aware (sadar) soal ini. Kalau ada guru yang mulai ajak muridnya sebagaimana kriteria di atas, mulailah menghindar," saran dr Iman.
Kantor Dinas Kesehatan Aceh di Banda Aceh. Dinas ini berharap pemerintah mulai fokus dalam menanggulangi kasus LSL di Aceh. [Foto: Sara Masroni/Dialeksis.com]Dia tak menyebutkan tempat, tapi kejadian seperti itu di asrama memang benar-benar pernah terjadi.
Walau begitu, dia mengingatkan, masyarakat cukup sekadar waspada. Tak perlu takut berlebihan memasukkan anak ke sekolah berasrama karena pelakunya itu hanya oknum kecil saja.
Saat ditanya apakah LSL punya hubungan dengan kaum gay dan pedofil, ia menjelaskan kaum gay punya kaitan erat soal itu, tetapi tidak dengan pedofil. Sebab gay memang memiliki orientasi seksnya ke sesama jenis. Sementara pedofil tidak bisa melakukan hal itu ke anak kecil yang sesama jenis.
"Minimal," sebut dr Iman, "usia korban LSL itu setingkat SMP."
Menurutnya, dari segi kesehatan, LSL juga lebih mudah menularkan virus HIV melalui darah akibat sobeknya anus, baik si pelaku maupun korban.
"Kita sedang lakukan survei di beberapa kabupaten/kota soal angka LSL di Aceh. Belum bisa kita publish (hasilnya) karena perlu koordinasi lebih lanjut," kata Kasi P2PM Dinkes Aceh itu.
Berawal dari Aplikasi
Penelusuran Dialeksis.com, di luar Aceh, hubungan LSL dapat terjalin dari interaksi di media sosial.
Mereka bahkan melakukan kencan online melalui aplikasi khusus. Dari chatting di aplikasi, mereka bertemu, lalu melakukan hubungan badan.
Di Kota Ambon, Maluku, misalnya, peningkatan angka HIV/AIDS akibat munculnya sejumlah media sosial yang memudahkan kaum LSL terhubung.
"Terdapat beberapa aplikasi yang dapat diakses oleh mereka untuk saling berkenalan, dan bertemu. Dan transaksi seksual untuk komunitas mereka banyak terjadi melalui sosial media tersebut," kata Direktur Yayasan Pelangi Maluku, Rosa Pentury, seperti dirilis Gatra.com, Jumat (19/7/2019).
Menurut Rosa, belakangan, tingginya kasus HIV/AIDS di pulau itu karena banyaknya pasangan LSL. "Sampai saat ini sudah mencapai hingga 1.000 lebih kasus," ujarnya.
Demikian di Jawa Barat. Misalnya kasus yang terjadi pada awal Januari 2018. Polres Cianjur, Jawa Barat, mengamankan lima orang laki-laki yang melakukan pesta seks sesama jenis di salah satu villa di kawasan Cipanas.
Keberadaan mereka, sebut Kapolres Cianjur AKBP Soliyah seperti dirilis Merdeka.com, Minggu (14/1/2018), diketahui setelah tim cyber mendalami sebuah aplikasi kencan.
Dari aplikasi itu, polisi menemukan kelimanya membuat janji untuk pesta seks di salah satu villa di Cipanas.
Fenomena itu diakui Kasi P2PM Dinkes Aceh dr Iman Murahman. Malah menurutnya, kini hubungan seks menyimpang itu banyak yang dimulai melalui interaksi di aplikasi atau media sosial.
"Mereka punya aplikasi khusus. Misal saya seorang LSL sedang di Blangpadang, lalu Bapak yang juga LSL sedang di Museum Tsunami, itu bisa saling kedetek. Aplikasi mereka lebih canggih," ujarnya kepada reporter Dialeksis.com.
Iman tahu ada aplikasi khusus kaum LSL atau gay itu dari kawan seprofesi di Sumatera Utara. "Namun apakah para LSL ini semua menggunakan aplikasi itu? Saya rasa belum tentu," ujarnya.
Dia hanya berharap pemerintah melalui instansi terkait seperti Diskominfo, harus melakukan pencegahan LSL yang berkembang dari aplikasi khusus itu. Sebab hingga kini, pihak Dinkes Aceh sendiri belum mengetahui apa dan bagaimana aplikasi itu bekerja.
Tim Riset Dialeksis.com, coba menelusuri sejumlah aplikasi yang disinyalir digunakan oleh kaum LSL atau kelompok LGBT, dengan mengikuti pola-pola yang dilakukan pelaku LSL seperti disebutkan dr Iman maupun mewawancarai sumber kami yang pernah berinteraksi dalam komunitas LSL.
Grindr (baca: graind) adalah aplikasi jejaring geososial yang ditujukan untuk pria gay, biseksual, dan bi-curious. Grindr diluncurkan pada tanggal 25 Maret 2009 oleh Nearby Buddy Finder, LLC, berbasis di Amerika.
Potongan layar halaman aplikasi Grindr. [Foto: dazeinfo.com]Grindr merupakan aplikasi gay pertama yang diluncurkan di iTunes App Store dan saat ini merupakan aplikasi telepon pintar khusus gay yang paling populer dan paling banyak penggunanya: saat ini tersedia di 192 negara.
Aplikasi ini memanfaatkan fitur geolokasi pada perangkat, yang memungkinkan seorang pengguna untuk menemukan pengguna lain yang berada dalam jarak dekat dengan dirinya.
Saat seorang pengguna membuka halaman muka aplikasi ini, terlihat gambar kotak-kotak yang menampilkan foto pengguna, yang diurutkan dari yang lokasinya paling dekat hingga paling jauh.
Pada aplikasi berlogo topeng kuning ini, memilih sebuah gambar akan menampilkan profil singkat pengguna yang bersangkutan, serta pilihan untuk chatting, mengirim foto, dan berbagi lokasi.
Berikutnya ada Hornet. Aplikasi ini diluncurkan pada 2011 oleh perusahaan Hornet Networks Ltd berbasis di Hong Kong. Aplikasi ini melabeli diri sebagai tempat bertemunya komunitas gay dunia. Saat ini memiliki 25 juta pengguna secara global.
Ada sejumlah aplikasi lain yang bertujuan serupa, baik gratis maupun berbayar, yang digunakan oleh komunitas gay, di antaranya GROWLr, Jack’d, Scruff, dan Gaydar.
Kompas.com dalam artikelnya pada 12 September 2014 menulis, Grindr menjadi tren di Nusantara dan negara Asia Tenggara lainnya.
Pihak Grindr menyatakan memiliki 23.966 pengguna aktif setiap bulannya di seluruh Indonesia. Sementara itu di Thailand, mereka punya 91.940.
Selain Grindr, aplikasi Jack’d juga populer di Indonesia. Belakangan, Grindr dan aplikasi serupa dianggap sebagai pisau bermata dua.
Di satu sisi, mereka punya dampak positif karena memungkinkan para gay terhubung di tengah dunia yang kadang mengutuknya. Sisi lainnya, Grindr dianggap bisa memicu epidemi, termasuk HIV.
Seorang sumber Dialeksis.com yang tidak mau disebutkan namanya, Selasa (10/12/2019) mengatakan, di Aceh pun banyak komunitas gay yang menggunakan aplikasi semisal Grindr dan Hornet.
Seorang pria dicambuk di muka umum karena melakukan hubungan seks sesama jenis di Banda Aceh, 23 Mei 2017. Aceh memiliki landasan hukum sendiri yang bisa menghukum kaum LGBT. MT (23) asal Sumatera Utara dan MH (20) asal Bireuen, Aceh, merupakan pasangan gay pertama yang ditangkap Satpol PP/WH. Keduanya dijerat dengan Pasal 63 ayat 1 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat. Keputusan sidang, keduanya dijatuhi hukuman cambuk masing-masing 85 kali. [Foto: Reuters/hrw.org]Dia mengetahui hal itu karena pernah berinteraksi dengan mereka. Namun lelaki berusia 20-an akhir ini tidak setuju kalau ada yang menyebut ciri-ciri LSL dapat diidentifikasi dari penampilan atau gestur. Menurutnya, komunitas ini sangat sulit diketahui.
Jika ada dua lelaki bertemu lalu mengobrol akrab, tak serta-merta dapat di-judge sebagai orang dengan ciri-ciri LSL.
Namun di sisi lain, lelaki yang tampak manly (jantan) bahkan sudah beristri sekalipun, secara diam-diam sudah melakukan hubungan seks menyimpang itu.
"Kita tidak bisa berspekulasi begitu saja. Mereka itu undercover (tak terlihat)," ujarnya.
Pemerintah Belum Fokus
Menurut catatan Dinkes Aceh, angka LSL merupakan kasus terkecil kedua sebagai penyumbang jumlah orang yang terjangkit virus HIV di Aceh, setelah penasun (penggunaan napza suntik).
"Kalau diurutkan, penyebab pertama virus HIV itu tidak diketahui. Penyebab kedua langsung dialamatkan kepada ibu rumah tangga," jelas dr Iman.
Dia menambahkan, "Ibu rumah tangga ini bukan berarti mereka dulunya PSK (Pekerja Seks Komersial), tetapi bisa jadi tertular dari suami atau bekas suntik. Makanya kita jangan memandang stigma negatif yang berlebihan soal ini, bahaya juga."
Hingga kini kata dia, Pemerintah Aceh belum terlalu fokus soal pencegahan LSL. Meski begitu, secara keseluruhan pihaknya melalui dinkes kabupaten/kota punya program penyuluhan HIV/AIDS di daerah-daerah dan pengobatan kepada para penderita.
Selain pencegahan kepada diri sendiri, bagi yang sudah terinfeksi virus HIV juga bisa melakukan pencegahan penularan dengan minum obat secara teratur.
"Kemudian untuk menghindari LSL, mari sama-sama saling menjaga. Terutama orang tua terhadap pergaulan anak-anaknya, harus dijaga betul. Sebab kalau sudah menjadi korban LSL sekali saja, maka dipastikan si korban akan menjadi pelaku dengan mencari korban lain. Dan begitu seterusnya," pungkas Kasi P2PM Dinkes Aceh itu.
Psikolog: PR Serius Pemerintah
Dinamika psikologis dalam aktivitas LGBT sangat tinggi. Ketika seseorang menjadi korban, ia akan memiliki sebuah perasaan yang membuat dia menyukai sesamanya.
"Istilahnya itu, welcome to my community," kata psikolog Aceh Nur Janah Nitura kepada Dialeksis.com, Senin (9/12/2019).
Saat si korban merasa disambut dengan hangat, dia akhirnya merasa bersatu, yang ujung-ujungnya memikirkan bagaimana mengembangkan komunitas itu. Tak ada cara lain bagi dia kecuali menyasar korban baru.
"Itu saya pikir sesuatu yang serius. Itu PR yang serius," ujar psikolog di Psikodista Konsultan.
Apalagi kalau memang ditemukan sasaran pelaku LSL adalah para pemuda yang mengalami kesenjangan ekonomi, kata Nur Janah, itu semestinya menjadi PR serius. Artinya, harus ada pemberdayaan ekonomi kepada generasi muda Aceh di samping memperbaiki karakter.
Psikolog Aceh Nur Janah Nitura. [Foto: IST]"Sebenarnya kalau mau didalami lagi, PR-nya sudah di tingkat desa," imbuhnya.
Sebab, desa menjadi basisnya masyarakat. Saat ini setiap desa memiliki dana desa (DD) yang diberikan pemerintah pusat melalui APBN.
Dari alokasi DD itu, semestinya bukan cuma untuk membangun sarana fisik tapi juga berinvestasi bagi SDM desa untuk mengentaskan kemiskinan dan memperkecil angka pengangguran.
"Sehingga pemuda-pemuda desa yang tumbuh itu menjadi pemuda yang sehat, kreatif dan membudayakan agama. Itu saya pikir PR para pimpinan desa mesti memikirkan, duduk bersama instansi terkait untuk mencari jalan keluar."
Lebih jauh, dia menuturkan, mereka yang sudah terjerumus dalam komunitas LGBT harus dibantu melalui pengobatan dan terapi agar kembali ke kehidupan seperti sedia kala.
Hal itu memang tantangan berat. Sebab ada ideologi yang dihembuskan oleh dunia barat saat ini: perilaku LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) dianggap sebagai sebuah perbedaan dalam menjalani hidup yang harus dihargai.
Nur Janah sendiri tidak bisa menerima pandangan itu.
"Saya sependapat bahwa LGBT itu sepenuhnya adalah sebuah perilaku yang sakit, tapi kita bisa bantu," ujarnya.
Menurut orang dari dunia timur, kata Nur Janah, mereka sudah melanggar norma agama. Bahwa yang namanya penciptaan manusia, Adam dan Hawa, laki-laki dan perempuan, tujuan fitrahnya untuk berkembangbiak dan beribadah di muka bumi.
"Tapi dengan adanya LGBT, proses itu kan terputus," ucapnya.
Adapun kaum pro LGBT melihat fenomena ini dari norma statistik, yaitu minoritas mengikuti mayoritas dalam sebuah kelompok.
"Kalau norma statistik itu, misal ada sepuluh orang telanjang, kemudian kita masuk kesitu tiba-tiba pakek hijab, itu kita yang tidak normal karena tidak sesuai dengan mayoritas, kan begitu. Itu norma statistik, tapi kita kan punya norma agama, norma ketimuran," jelasnya.
Kalau seseorang sudah terjerumus dalam komunitas itu, tambah Dosen Konseling Unsyiah itu, dia akan melalui proses pembelajaran yang akhirnya dia merasakan satu keniscayaan.
Ujungnya, dia melakukan perbuatan itu lalu membentuk suatu habit (kebiasan) baru. Dari pergaulan seperti ini lah kerap terjadinya penularan HIV/AIDS. Apalagi sekarang dunia barat menyebut LGBT sebagai orientasi seks, bukan lagi gangguan seks.
Dia menjabarkan demikian karena mengacu pada sejarah awal perkembangan kasus HIV/AIDS di dunia. Istilah itu menurutnya mulai populer pada tahun 90-an.
Untuk menjelaskan posisi perilaku LGBT, harus dilihat dari beberapa perspektif saja, tapi harus ditilik dari statistik atau pedoman baku DSM (Diagnostic Statistic Manual).
Pada tahun 1952 di Amerika diterbitkan DSM-I (Diagnostic Statistic Manual) atau pedoman gangguan jiwa. Pedoman ini menyebutkan LGBT sebuah kelainan jiwa/perilaku menyimpang. Saat itu disebutkan ada 106 jenis gangguan jiwa.
Pada tahun 1968 terbit DSM-II, bertambah menjadi 185 gangguan. Berikutnya pada 1973 terbit lagi DSM-III dengan 265 gangguan. Lalu tahun 2000 terbit DSM-IV dengan jumlah 365 gangguan jiwa.
Nur Janah menjelaskan, LGBT pada DSM I ditempatkan sebagai gangguan kepribadian sosiopatik, DSM II dipindahkan menjadi sexual deprivation. Lalu pada DSM III terbit tahun 1973 dan pada edisi revisi yang menyatakan bahwa homoseksual dihapuskan dan dinyatakan sebagai salah satu orientasi seksual.
Dia menjelaskan, semua perubahan di setiap edisi DSM tersebut dilakukan melalui voting dan usaha selama bertahun-tahun sehingga ketika homoseksual dihapuskan hal tersebut karena voting dimenangkan oleh yang pro LGBT.
"Tapi kita mesti ingat, proses penghapusan itu bukan untuk menjelaskan mereka yang sakit kemudian menjadi normal, bukan. Tapi itu adalah perjuangan kelompok LGBT berjuang secara politis untuk menghapuskan itu."
Nur Janah menyimpulkan, jika PR tadi dapat segera diselesaikan secara komprehensif dari berbagai lintas sektor, mulai dari sisi agama hingga ekonomi, maka tak akan ada lagi anak-anak muda Aceh yang terpengaruh bujukan manis pelaku LGBT.(tim)