Jaringan Narkoba Hijrah ke Politik
Font: Ukuran: - +
Ilustrasi : Pixabay/the3cats
Sosiolog Aceh Dr. Otto Nur Ibrahim alias Otto Syamsuddin Ishak, menghentak alam bawah sadar rakyat Aceh pada tahun 2016. Ia mengatakan bahwa jaringan narkoba terlibat dalam proses demokrasi di Aceh. Banyak yang memilih tidak percaya, tapi di lapangan secara gamblang memang terjadi.
Ketika menyampaikan pernyataan tersebut, Otto masih menjabat sebagai salah seorang Komisioner Komnas HAM RI, dan ia menyampaikan hal tersebut pada acara seminar nasional: Satu Dekade Perkembangan Demokrasi di Aceh dan Kontribusi Bagi Nasional, yang digelar oleh Jaringan Survey Inisiatif (JSI) pada Senin (16/5/2016).
Pada kesempatan itu, dosen sosiologi yang juga aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) itu mengatakan keterlibatan jaringan narkoba dalam demokrasi dalam arti, ikut mendukung kandidat tertentu baik pada pilkada maupun Pileg, seperti yang terjadi pada Pileg dan Pilkada sebelumnya di beberapa daerah di pantai timur dan utara Aceh.
"Kepala daerah dan politikus yang didukung atau mendapat sumber dana dari bandar Narkoba atau sumber kriminal lainnya maka dapat dipastikan kepemimpinan dari orang yang terpilih tersebut akan berpihak kepada sindikat atau jaringan narkoba yang mendukungnya," ungkap Otto Syamsuddin Ishak, seperti dilansir aceHTrend.
Pada pilkada Bireuen 2017, kehadiran jaringan narkoba, yang disebut-sebut menyusup ke dalam barisan pendukung beberapa pasangan calon Bupati dan wakil Bupati, memang lumayan terasa. Bahkan beberapa nama toke sabu "legendaris" bekerja lebih agak nyata di kabupaten penghasil keripik pisang tersebut.
Hal yang sama juga ikut menjalar ke Pilkada Aceh 2017, sejumlah nama Bandar narkoba ikut menyumbangkan "sahamnya" kepada calon tertentu. Akan tetapi karena secara hukum tidak ada yang bisa membuktikan, akhirnya hal tersebut hanya diperbincangkan dalam "remang-remang".
*
Dilansir Harian Terbit pada 26 Februari 2018, Akhir akhir ini publik dihebohkan dengan penangkapan berton-ton narkoba jenis sabu yang akan diselundupkan ke negeri ini. Jika melihat dari intensitas dan frekuensi penyeludupan narkoba yang semakin marak, dan dalam jumlah besar, sejumlah kalangan mencurigai hal ini terkait dengan dana politik untuk kepentingan tahun politik yakni Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 mendatang
Anhar Nasution, Ketua Umum LSM Satgas Anti Narkoba (SAN) mengatakan, Semua tahu sama tahu, bahwa untuk merebut kekuasaan di negeri ini sangat membutuhkan biaya yang sangat besar, baik itu untuk ikut Pilkada, pemilihan legislatif.
"Bagi orang atau kelompok kelompok tertentu yang tidak bermoral tentu akan menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan dan untuk menghancurkan negeri. Mereka tidak lagi mempersoalkan asal uang dari mana, apakah diperoleh secara haram atau halal. Bagi mereka yang penting berkuasa. Dengan demikian, maraknya peredaran narkoba berkorelasi dengan masuknya masa pilkada dan pileg. Seluruh anak bangsa harus melawannya," kata Anhar.
Anggota Tim Perumus UU Narkotika Tahun 2009 ini mengatakan, dirinya pernah mendapat informasi dari seorang Pejabat Tinggi di BNN yang mengatakan bahwa prinsip bandar besar Narkoba, "jika hari ini mereka gagal atau ketangkap mengirimkan Narkoba 1 ton maka besok atau lain waktu mereka akan memasukannnya 2 ton atau 2x lipat dari yang ketangkap hal itu utk menutupi kerugian mereka," katanya.
Pengamat kebijakan publik dari Institute For Strategic and Development Studies (ISDS), M. Aminudin mengatakan, jika melihat intensitas dan frekuensi penyeludupan narkoba yang semakin marak dan jumlahnya juga sangat banyak, maka bisa jadi penyeludupan barang haram tersebut terkait hajatan politik yang tengah digelar di Indonesia. Semua pihak harus mewaspadainya.
"Kalau melihat intensitasnya masuk akal (narkoba terkait politik). Ini dilihat dari frekuensinya yang hanya sekitar dua pekan secara beruntun dua kapal membawa berton-ton sabu masuk Indonsia dan selalu melibatkan jaringan Tiongkok," ujar Aminudin.
Dikutip dari Suara Pembaruan, bisnis narkoba memasok 85 persen kejahatan trans-nasional terorganisir dengan nilai transaksi sekitar Rp 50 triliun.
Dengan nilai transaksi sebesar itu, tak menutup kemungkinan dana hasil penjualan narkoba digunakan untuk berbagai kegiatan seperti terorisme, separatisme, dan tak menutup kemungkinan untuk membiayai kegiatan politik pihak tertentu.
"Ketika suatu aktivitas memerlukan dana dengan jumlah besar pasti menghalalkan segala cara dan narkoba akan masuk di situ, termasuk kegiatan politik. Hal itu dimungkinkan," kata Deputi Pemberantasan Badan Narkotika Nasional (BNN) Irjen Benny Mamoto dalam konferensi pers di Gedung BNN, Jalan MT Haryono, Jakarta Timur, Kamis (28/3).
Benny mengatakan di beberapa negara, kartel Narkoba turut membiayai kegiatan politik. Bahkan dengan dana yang cukup besar, kekuatan kartel telah menjadi dominan dan bahkan turut menentukan pejabat publik seperti walikota atau gubernur.
"Fakta di luar negeri terbukti, seperti Meksiko atau Kolombia, kekuatan uang sindikat Narkoba bisa menentukan siapa wali kota dan gubernur. Ketika wali kota ingin memberantas kartel-kartel ini, maka nyawanya akan terancam," kata Benny.
Untuk mencegah agar kartel narkotika tidak menguasai kehidupan politik di Indonesia, Benny mengatakan dalam setiap menyidik sebuah kasus narkoba, pihaknya juga menyidik harta kekayaan para tersangka.
Bahkan, jika terbukti hartanya berasal dari narkoba, BNN tak segan untuk menyita harta kekayaan para tersangka dan menjerat mereka dengan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) atau money laundring.
"Setidaknya sejak 2010 hingga sekarang, BNN telah menangani 27 kasus money laundring terkait tindak pidana narkotika yang berdasarkan informasi dari PPATK merupakan penangan kasus money laundring terbanyak. " kata Benny.
Benny berharap upaya ini diikuti aparat lain dengan menyita semua aset rekening gembong narkoba sehingga miskin. Selain dengan menyita harta kekayaan gembong narkoba, Benny mengatakan, setiap menyidik kasus, pihaknya juga mempelajari dan mendalami hubungan sindikat dengan kelompok lainnya.
"Kami bekerja sama dengan aparat intel, BIN, untuk mewaspadai, karena ini memang domain mereka," katanya.
"Hijrahnya" para Bandar narkoba ke dalam pesta demokrasi, sepertinya sudah diendus oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh. Selain fokus akan menelusuri bacaleg eks koruptor, mereka juga menelusuri Bacaleg yang berasal dari Bandar Narkoba.
Ketua KIP Aceh Syamsul Bahri kepada media, Senin (23/7/2018) mengatakan sejauh ini pihaknya sudah mendapatkan laporan tentang adanya Bacaleg yang diduga merupakan mantan bandar Narkoba.
"Dari dapil Aceh Timur, ada laporan dari masyatakat terkait Narkoba," sebutnya.
Selain itu, Syamsul juga mengatakan pihaknya menghimbau partai politik peserta pemilu agar mencoret Bacaleg yang terindikasi eks koruptor, Narkoba dan tindak asusila. [a]