Keterwakilan Perempuan di Pangung Politik Aceh (Bagian 1)
Font: Ukuran: - +
Reporter : Ampuh Devayan
Dialeksis.com| MEDIO Februari 2018 lalu, sejumlah perempuan para mantan pejuang perempuan dari empat Negara berhimpun di Aceh. Mereka mengikuti satu workshop unik yang berlangsung di Hotel Pade Sabang.
Pertemuan itu dibatasi 20 orang peserta itu, terdiri atas perempuan-perempuan pemberani, mantan pejuang (komandan dan pelatih/mualim) laskar perempuan dari empat negara. Mereka berasal dari perwakilan pejuang perempuan MILF dan MNLF (Mindanao, Filipina), CNF (Myanmar), PLA (Nepal), dan Laskar Inong Balee, GAM (dari Aceh, Indonesia).
Para perempuan tersebut ikut pelatihan kerja yang difasilitasi From Female Combatans to Post-War Democratic Leaders; Building a Regional Peer-Advice Network (Transformasi Perempuan Pejuang Pascaperang Menjadi Pemimpin dengan Membentuk Jaringan Berbagi Pengetahuan di Tingkat Regional).
Sebelumnya (9 februari) Gubernur Aceh Irwandi Yusuf bersama isterinya, Darwati A Gani menjamu dengan makan malam di Restoran Pendapa Gubernur Aceh. Sebagai narasumber di Sabang menghadirkan M Nur Djuli (mantan juru runding GAM dan eks ketua Badan Reintegrasi Aceh) serta Yarmen Dinamika (Redpel Harian Serambi yang juga mantan direktur eksekutif Aceh Peace Resource Center).
Ruang belajar bersama itu, menurut Direktur Eksekutif Katahati Institut, Raihal Fajri, workshop itu terselenggara atas kerja sama Berghof Foundation, Jerman, Shadia Marhaban, dan Katahati Institute. Direktur Berghof, Veronique Dudouet juga menyajikan topik bagaimana transformasi mantan pejuang ke dalam partai politik, seperti yang dilakoni dalam sepuluh tahun terakhir.
Rangkaian workshop di dua kota ini bertujuan berbagi pengetahuan dan belajar bersama bagaimana kepemimpinan perempuan setelah perjanjian damai di negara-negara yang pernah terlibat konflik politik. Diharapkan mampu memetakan kesempatan dan tantangan sehingga mampu merumuskan strategi bersama bagi mantan pejuang perempuan di sejumlah negara.
Antara lain, membahas tentang pengelolaan reintegrasi Aceh pascakonflik, serta bagaimana mendorong partisipasi perempuan dan perdamaian serta kohesi sosial di Aceh.
Sebagaimana digambarkan narasumber, bahwa belum maksimalnya keterwakilan kaum perempuan di Aceh baik di partai politik maupun parlemen di tingkat provinsi Aceh maupun kabupaten/kota. Padahal saat ini lumayan banyak perempuan hebat, namun tidak berbanding lurus dengan keterlibatan mereka dalam politik, baik di partai politik maupun parlemen.
Keterwakilan perempuan dalam keanggotaan di partai politik dan Dewan Perwakilan Rakyat menjadi laporan khusus yang diturunkan tim redaksi dialeksis,com berikut.========================================
Keterwakilan perempuan di panggung politik Aceh selalu menjadi topik menarik setiap menjelang pemilihan legislatif. Hal itu menyusul diterapkannya kebijakan afirmasi pada dua lini;
pertama; kepengurusan partai politik melalui UU No. 31 tahun 2002 yang lalu diperkuat melalui UU No.2/2008.
Kedua; daftar calon anggota legislatif (DPR, DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/kota) melalui UU No. 12/2003 yag kemudian diperkuat melalui UU No. 10/2008. Pada kedua lini tersebut diterapkan kebijakan afirmasi dalam bentuk kuota minimal, yakni partai politik memiliki sedikitnya 30% pengurus perempuan, dan partai politik perempuan dalam daftar calon.
Regulasi terbaru UU No. 7 tahun 2017, di Pasal 173 ayat 2 huruf e menjelaskan Partai Politik dapat menjadi peserta pemilu setelah memenuhi persyaratan; menyertakan paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat.
Pada pasal 245, menyeburkan daftar bakal calon memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen. Diperkuat pada pasal 256 ayat 2, menyebutkan di dalam daftar bakal calon setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sedikit 1 (satu) orang perempuan bakal calon.
Berdasarkan studi United Nation Division for the Advancement of Women (UN-DAW), jumlah keterwakilan perempuan di tingkat nasional Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hasil Pemilu 2009-2014, mencapai 100 orang, atau 17,86 persen dari 560 total anggota DPR.
Vallida Anita Pieter, menulis tentang "Keterwakilan Perempuan di Lembaga Legislatif", mengatakan perjuangan terpenuhinya 30 persen perempuan yang menduduki kursi legislatif, sebenarnya memiliki sejumlah tujuan murni. Yaitu untuk memenuhi hak-hak perempuan dalam bidang politik sebagai warganegara, juga perempuan punya hak yang sama dengan kaum pria.
Isu pemberdayaan perempuan, kata Vallida, menjadi garis besar landasan pikir tentang keterwakilan perempuan dalam politik agar kebijakan-kebijakan dan undang-undang yang disusun memiliki sudut pandang gender. "Ini menjadi sebuah harapan yang menjanjikan bagi suatu perjuangan yang cukup panjang dan kepedulian dari pemerintah" ujar Dosen Fakultas Hukum Universitas Pattimura.
Representasi Perempuan
Masa Orde Baru, setting politik nasional dengan strategi yang ditujukan untuk menunjang pembangunan, melalui politik representasi. Termasuk dalam hal ini adalah pentahbisan identitas perempuan dalam konstruksi ‘peran ganda’ yang sejalan dengan program pembangunan negara Orde Baru.
Kerangka politik representasi perempuan di era Orde Baru, salah satunya, diaplikasikan ke Aceh melalui beberapa artikel dalam sebuah buku yang terbit untuk memperingati seratus tahun perlawanan Aceh terhadap Belanda. Di dalamnya, representasi perempuan Aceh dinarasikan beragam, namun menjadi bagian dari tema "strategi pembangunan daerah Aceh." Beberapa penulis menggambarkan identitas perempuan Aceh yang tidak tunggal, sebagai penguasa dan pejuang. Begitu pula dengan representasi perempuan dari kalangan biasa di kampung sebagai ibu, nenek, dan tengku perempuan, serta di kota sebagai "wanita dalam pembangunan."
Representasi identitas perempuan Aceh sebagai pejuang dan pahlawan dipaparkan dalam artikel Teuku H. Mardhiah Aly dan T. Syamsuddin. Keduanya menonjolkan heroisme dalam dinamika konteks Aceh pada masa kesultanan sebagai sultanah, negarawan, tentara sultan, dan panglima perang, hingga di masa pergerakan melawan kolonial Belanda. ]
Di masa yang terakhir ini, sosok perempuan Aceh yang banyak disebut adalah dalam jabatannya sebagai uleebalang atau kepala pemerintahan daerah. Namun, dalam artikelnya di buku yang sama, Mardhiah Aly mengkritik kelangkaan penggambaran perempuan dalam deretan literatur mengenai Aceh yang menyebabkan kesan hanya kaum laki-laki (ulama, sultan, dan uleebalang) yang berperan dalam tataran peradaban Aceh. Pandangan Mardhiah Aly tentang hal ini cukup lantang:
"Mengenai sejarah pergerakan dan perjuangan wanita Aceh sangat sedikit kita baca dalam buku-buku sejarah, mungkin karena yang menulis sejarah terdiri dari kaum laki-laki, umumnya yang ditulis juga tentang pergerakan laki-laki saja."
Bisa jadi karena era Orde Baru menganut perspektif ‘ibu pertiwi’ dan konsep perempuan sebagai ‘mitra sejajar pria,’ maka Mardhiah Aly mengadopsi perspektif ini ketika menggambarkan heroisme pejuang perempuan Aceh: "Dengan semangat yang berani wanita Aceh bersama dengan pria bahu membahu mempertahankan martabatnya. Mudah-mudahan Belanda tak berani lagi menginjakkan kaki di bumi Aceh untuk kedua kali."
Perspektif Syamsuddin dan Mardhiah Aly menonjolkan identitas kepahlawanan perempuan, tetapi kurang mempersoalkan kemasyarakatan yang mempengaruhi posisi perempuan Aceh. Masyhur Amin (1988) justru memperlihatkan bahwa peran sebagai penguasa perempuan, dalam settingpemerintahan sultanah/ratu Aceh tidak otonom, melainkan dipengaruhi oleh konstelasi relasi struktural yang melingkupinya.
Struktur sosial Aceh di masa kesultanan yang ditandai oleh kecenderungan elitisme dalam hubungan antara uleebalang-ulama-sultan berpengaruh besar terhadap posisi perempuan di pemerintahan.
Masyhur Amin menggambarkan perempuan Aceh (ratu) dalam konteks pengaruh politik ulama terhadap Sultan Aceh. Aceh di masa kesultanan Iskandar Muda, ditopang oleh dua pilar kekuasaan yaitu uleebalang dan ulama, yang dianggap mempunyai otoritas agama. Kerajaan Aceh Darussalam tidak memisahkan antara kehidupan agama dan politik, maka suksesi politik juga sangat tergantung dengan fatwa ulama. Dengan demikian, representasi perempuan Aceh sebagai ratu juga harus mendapatkan dukungan dari kalangan ulama.
Kronik identitas perempuan Aceh menurut literature sejarah memperlihatkan posisi perempuan dalam identitas mereka yang plural dikonstruksikan oleh struktur sosial, politik, dan ekonomi tertentu. Ruang gerak perempuan memang tidak terlepas dari struktur politik, ekonomi, dan sosial yang membentuk persepsi mengenai perempuan. Keterlibatan perempuan di Aceh dalam berbagai sektor bukanlah hal yang baru.
Meskipun Islam menjadi ‘common denominator’ -formalisasi identitas perempuan Aceh dalam bentuk Syariat Islam- tidaklah bijak untuk mengasumsikan bahwa persepsi dan interpretasi perempuan, serta pengaruh dari penerapan Syariat Islam berlaku sama bagi setiap perempuan Aceh. Tidak boleh menyamaratakan kondisi perempuan di satu daerah dengan daerah lain.
Dalam perjalanan waktu representasi terhadap aktifitas politik perempuan masih belum optimal, Berbagai studi menunjukkan bahwa aktivitas politik perempuan masih tergolong minim. Bahkan banyak negara di dunia, terutama perwakilan di parlemen, sama sekali tidak ada (Afshar 1996, Fuchs and Hoecker 2004, Jutting, et al. 2006, Viterna, Fallon and Beckfield 2007). Bila dirata-ratakan, baru mencapai angka 15 persen (15%)
Menurut Fuchs, dalam system demokrasi, keseimbangan partisipasi dan representasi politik antara perempuan dan laki-laki menjadi sangat penting. Sistem demokrasi menghendaki adanya hak dan kesempatan yang sama untuk semua kelompok di dalam masyarakat untuk berpartisipasi dalam setiap proses pengambilan keputusan.
Pentingnya meningkatkan representasi kaum perempuan itu karena pengalaman dan kepentingan perempuan berbeda dengan kaum laki-laki. Karenanya perlu perubahan struktur politik untuk mengakomodasi perbedaan tersebut. Konstruksi biologis dan sosial perempuan yang berbeda adalah dua poin penting agar perempuan terwakili dalam ranah politik.
Perbedaan (bukan pertentangan, red) pengalaman dan kepentingan kaum perempuan dengan kaum laki-laki, sehingga perlu mengkombinasi politics of presence dan politics of ideas (Anne Phillips, The Politics of Presence). Perempuan harus hadir (present) dan memberi makna (influence) agar kebijakan-kebijakan yang dihasilkan parlemen menjadi responsif gender. (catatan Women Research Institute, website: http://wri.or.id).