Ketika Gadis Aceh Dijual Ke Luar Negeri Untuk Menjadi Pekerja Seks
Font: Ukuran: - +
Reporter : Agam K
Kasus perdagangan perempuan ke luar negeri, merupakan bukan hal yang di Indonesia. Beberapa tahun sebelumnya kasus-kasus tersebut sudah banyak ditemukan. Tujuan utamanya adalah untuk eksploitasi seksual.
Sebagaimana dikutip dari Kompas.com, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati Puspayoga menyebutkan, korban tindak pidana perdagangan orang di Indonesia cukup besar karena Indonesia merupakan salah satu negara asal perdagangan orang ke luar negeri.
Bahkan Indonesia juga menjadi negara tujuan perdagangan orang dari China, Thailand, Uzbekistan, Ukraina, dan beberapa negara lain, terutama untuk tujuan eksploitasi seksual dan juga eksploitasi tenaga kerja dengan gaji yang rendah.
Menurut data Kementerian Sosial sejak 2016 hingga Juni 2019, terdapat 4.906 korban tindak pidana perdagangan orang di Indonesia.
Namun data dari Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak memperlihatkan, selama Januari 2019 hingga Juni 2020, terdapat 155 kasus tindak pidana perdagangan orang dengan 195 korban perempuan dan anak.
Kasus perdagangan perempuan juga terjadi di Provinsi Aceh, bahkan kasus tersebut dianggap sebagai kasus lama dan pihak kepolisian daerah yang dikenal dengan sebutan Serambi Mekkah itu, juga pernah mengungkap kasus tersebut.
Suara telepon seluler itu terdengar cukup nyaring, yang menandakan sebagai panggilan masuk. Kami berbicara cukup lama, memakan waktu sekitar 45 menit. Awalnya hanya pembicaraan ringan saja, namun kelamaan menjadi cukup serius.
Panggilan masuk itu dari Bukhari, ia merupakan Ketua Perkumpulan Masyarakat Aceh di Malaysia, karena berkomunikasi antar negara, maka kami melakukan sambungan dengan menggunakan aplikasi Whatsapp.
Ia bercerita, ada sebagian gadis Aceh yang menjadi korban trafficking dan dijual ke Malaysia. Ketika sudah berada disana bisa dipekerjakan di berbagai tempat, salah satunya adalah dipekerjakan untuk prostitusi.
Aktivitas tersebut tergolong sangat rapi, sehingga sangat sulit untuk dilacak. Berbagai modus yang dilakukan oleh agen-agen yang tidak bertanggungjawab, sehingga banyak gadis Aceh yang termakan rayuannya.
Beberapa modus yang sering dilakukan yaitu dengan mengiming-imingi gaji yang banyak dan berbagai fasiltas yang bagus. Intinya apabila korban ikut maka akan mendapatkan kehidupan yang enak.
“Bahkan ada juga sebagian agen mengeluarkan uang pribadinya untuk mengurus paspor dan sejumlah dokumen keimigrasian korban, serta menyerahkan sejumlah uang tunai kepada ibu korban sebelum berangkat supaya bisa lebih yakin,” ujar Bukhari.
Bukhari menambahkan, orang-orang yang diutus untuk mencari korban, merupakan tergabung dalam agen-agen yang tidak resmi, secara umum pelakunya merupakan warga Aceh dan Sumatera Utara yang telah lama menetap di Malaysia.
Korban yang disasar oleh mereka merupakan gadis-gadis Aceh yang berparas cantik dan memiliki lekuk tubuh yang bagus, serta wajib yang masih berusia belasan tahun, terutama bagi mereka yang masih berpenampilan polos.
Para korban itu dibawa dengan menggunakan kapal laut, melalui Pelabuhan Tanjung Balai Asahan, Sumatera Utara, namun ada juga dengan menggunakan pesawat melalui Bandara Kualanamu, Sumatera Utara dan langsung ke Malaysia.
bahkan ada jalur lain yang sering digunakan, yaitu melalui Bandara Kualanamun, Sumatera Utara, transit di Batam, Kepulauan Riau dan kemudian melanjutkan perjalanan melalui jalur laut ke Johor Bahru, Malaysia.
“Setiba di Malaysia maka gadis-gadis Aceh tersebut sudah ada yang menjemput dan kemudian pergerakannya sangat dibatasi, bahkan tidak dibenarkan untuk menggunakan telepon seluler, serta tidak boleh untuk pergi kemana-mana,” tutur Bukhari.
Tambahnya, berbagai modus dilakukan ketika sudah tiba di Malaysia, maka ada juga gadis-gadis tersebut ditempatkan di sebuah rumah mewah dan kemudian kalau malam sudah dijemput untuk dibawa ke bar. Begitu juga ditempatkan ditempat-tempat lainnya.
“Begitulah kondisinya, jadi kadang gadis-gadis tersebut disewakan rumah mewah dan ditempati disana. Ketika malam sudah ada jemput,” kata Bukhari.
Pengungkapan Kepolisian
Praktik-praktik perdagangan gadis Aceh tersebut, sebelumnya juga telah diungkapkan oleh pihak kepolisian, maka juga tidak sedikit yang sudah diproses hukum, untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya itu.
Pada Jumat, 7 September 2018, Kepolisian Resor Lhokseumawe berhasil mengungkap praktik perdagangan manusia, yang mengiming-iming korban untuk bekerja di salah satu restoran di Negeri Jiran dan mendapatkan gaji yang layak.
Namun kenyataannya malah berbeda, korban malah disekap dan dijadikan sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK), pelakunya berinisial FA, 29 tahun, warga Kota Lhokseumawe, korbannya berinisial NW, 24 tahun dan DY, 29 tahun, juga berasal dari kota yang dikenal dengan julukan “Petro Dolar” itu.
Hal yang sama juga terjadi pada Senin, 13 Januari 2020, dimana Ketua Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA), Safaruddin SH, membuat laporan ke Polda Aceh tentang gadis Aceh yang diduga menjadi korban perdagangan manusia.
Gadis tersebut bernama Syafridawati warga Desa Krueng Lingka, Kecamatan Langkahan, Aceh Utara. Dirinya berangkat ke Malaysia pada tahun 2015 lalu, dengan menggunakan agen tenaga kerja.
Awalnya putri sulungya itu diajak bekerja di Malaysia oleh tetangganya sendiri, namun orang tuanya sempat tidak menginzinkan, namun anaknya yang berusia 27 tahun itu terus dibujuk hingga beberapa kali.
Bahkan diiming-imingi mendapatkan gaji yang bagus, serta sejumlah fasilitas yang memadai dan bahkan apabila seandainya sakit maka langsung diobati, apabila tidak sanggup bekerja lagi maka akan dibawa pulang ke kampung halaman.
Hingga hatinya tergugah dan putrinya memilih berangkat untuk kerja di Malaysia, namun nyatanya setelah berangkat malah Syafridawati tidak pernah memberikan kabar ke kampung halaman.
Bukan hanya sebatas itu saja, pada tahun 2012 silam Polda Aceh juga berhasil mengungkap kasus perdagangan manusia, dimana dengan korban dua gadis belia asal Banda Aceh yang melaporkan sempat dijadikan budak seks di Singapura.
Kala itu pihak kepolisian juga berhasil menangkap dua wanita yang berinisial, MI, 19 tahun dan AY, 19 tahun, mereka berdua merupakan sebagai jaringan mucikari. Kasus tersebut terungkap ketika orang tua korban melaporkan bahwa anak gadisnya telah menghilang dari rumah.
Sasaran para mucikari tersebut adalah gadis Aceh yang lugu dan cantik, apalagi yang putus sekolah dan kondisi keluarga yang sedang bermasalah, serta menawarkan untuk jalan-jalan ke Singapura secara gratis.
Kejahatan Tertua
Kasus penjualan gadis Aceh ke Malaysia untuk bisnis prostitusi merupakan kasus yang telah lama terjadi dan sudah menjadi rahasia umum, namun sayang kasus tersebut tidak bisa mendapatkan proses hukum.
Sekretaris Jenderal Integrity Masriadi Sambo, praktik-praktik penjualan manusia ke Malaysia merupakan salah satu bentuk kejahatan tertua di Provinsi Aceh, karena sudah terjadi sejak lama sekali.
“Ini merupakan bentuk kasus tertua, bukan hal yang baru dan sudah menjadi rahasia umum. Banyak agen-agen tidak resmi itu bergentayangan di Aceh, terutama bagi mereka yang sudah lama tinggal di Malaysia,” kata Masriadi.
Mengapa sampai saat sekarang ini kasus-kasus penjualan manusia tidak bisa diproses hukum, karena agen yang digunakan tidak terdata secara administrasi, sehingga sangat sulit untuk dilacak.
Orang-orang yang ditugaskan untuk mencari mangsa ke Aceh adalah orang Aceh sendiri, namun telah lama tinggal di Malaysia, sehingga sudah dijadikan bisnis agar bisa bertahan hidup.
“Supaya mereka bisa dapat uang banyak dan bisa bertahan hidup, maka dilakukan cara seperti itu, jadi pulang ke Aceh untuk mencari mangsa dan sampai di Malaysia diberikan sejumlah uang tunai,” kata Masriadi Sambo.
Terjangkit AIDS
Yayasan Permata Aceh Peduli (YPAP), pernah menemukan sejumlah kasus gadis Aceh yang pulang dari Malaysia terjangkit virus Acquired Immuno Deficiency Syndrome atau disebut AIDS.
Direktur Yayasan Permatan Aceh Peduli Khaidir, mengatakan pada bulan Januari 2020 pihaknya juga menemukan satu kasus, dimana salah seorang gadis Aceh yang menjadi Sales Promotion Girls (SPG) di Malaysia terjangkit AIDS.
“Pada tahun 2019 kami ada menemukan tiga kasus gadis Aceh yang pulang dari Malaysia terjangkit AIDS, pada awal Januari 2020 baru satu kasus yang kami temukan. Gadis itu bekerja di Malaysia sebagai SPG dan kini telah terjangkit AIDS,” ujar Khaidir.
Khaidir menambahkan, para gadis tersebut saat sekarang ini telah menjalani perawatan medis di rumah sakit dan terus didampingi oleh lembaga yang fokus bekerja pada isu HIV dan AIDS tersebut.
“Terkait dengan kasus ini maka tidak bisa kita vonis secara sembarangan,,” kata Khaidir.****(M. Agam Khalilullah)