Ketika Gesekan Bupati dan Wakil Bupati Jadi Pembahasan
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM - Wate ie laoet saboeh pakat, teuka uedarat ka laeen keunira. Petuah dalam bahasa Aceh ini sering penulis dengar ketika sebuah perjuangan membuahkan hasil, namun berujung pada perpecahan. Saat di laut semuanya satu tekad, satu bahasa, sampai di darat kepentingan yang dibela.
Ketika keinginan yang dibela, tarik menarik kepentingan itu tidak mampu dihindari. Perpecahan tercipta. Bukan lagi rahasia umum, di Aceh Tengah sudah terjadi gesekan antara Bupati Shabela Abubakar dengan wakilnya Firdaus.
Catatan Dialeksis.com, perbedaan pandangan itu sudah terlihat awal awal mereka memimpin negeri Gayo Lut, dua tahun yang lalu. Ada tarik menarik kepentingan. Wakil Bupati Firdaus "tidak mau" kalah dengan sejumlah kebijakan bupati.
Ketika kebijakan bupati yang dianggap Firdaus berseberangan dengan harapanya, dia akan memberikan "perlawanan". Ada saja trik mereka yang mampu dicium publik. Hingga kini perbedaan pandangan itu bagaikan duri di dalam daging.
Beberapa catatan yang berhasil Dialeksis kumpulkan. Teranyar, persoalan RSU Datu Beru, wakil bupati menginginkan kepala RSU BLUD itu diganti, apalagi muncul beberapa persoalan di sana. Seperti jatuhnya plapon di ruangan pasien dan adanya kritikan soal layanan.
Wakil Bupati Firdaus menuding terang terangan kinerja kepala RSU Datu Beru. Bahkan dia meminta agar kepala RSU ini diperiksa penyidik dan dicopot dari jabatanya. Ada apa, bukankah seharusnya pemimpin itu "membela" bawahanya?
Namun Bupati Aceh Tengah Shabela Abubakar tetap mempertahankanya. Shabela berpendapat, sosok Hardi Yanis untuk saat ini merupakan pejabat yang tepat memimpin RSU. Menurut bupati, kepala RSU ini berani tahan badan, berkorban dan berjuang dalam melayani masyarakat.
Untuk menggerakan RSU, kepala BLUD mengupayakan berbagai cara mengatasi masalah, terutama menyangkut keuangan. Bahkan dia nekat mengambil kredit bank ketika klaim pengganti BPJS tertunda pembayaranya sampai 4 atau 5 bulan.
Belum lagi berbagai kebijakanya untuk memajukan RSU dalam melayani masyarakat, ada kalanya dia berkorban secara pribadi. Bahkan saat dia menempuh pendidikan, kepala RSU menggunakan dana pribadi, demi melayani pasien di Gayo untuk mendapatkan pelayanan cuci darah, jelas bupati.
Soal pendidikan kepala RSU ini dikritik wakil bupati. Firdaus meminta Hardi menanggalkan jabatanya, karena mengikuti pendidikan, sesuai dengan ederan Menkes. Perpecahan antara bupati dan wakil bupati tidak terelakan. Beredar kabar, wakil bupati juga sudah menyiapkan orangnya untuk menduduki jabatan kepala RSU.
Demikian dengan penempatan orangnya di roda pemerintahan, wakil bupati sering berbenturan dengan bupati. Sekda Karimansyah yang menjadi sasaran. Namun Karimansyah menyimpan persoalan itu di dalam dadanya, dia tak mau mengumbarnya ke publik.
"Saya hanya menjalankan tugas sesuai aturan. Soal kebijakan tanyakan kepada pak bupati," sebut Karimansyah singkat, ketika dialeksis menanyakan persoalan gesekan kepentingan antara bupati dan wakil bupati.
Lain lagi dengan persolan mobil dinas. Publik disana pernah diributkan dengan pembahasan soal pengadaan mobil dinas bupati dan wakil, setahun yang lalu. Sejumlah pemerhati sosial, LSM dan mahasiswa mengkritik pengadaan mobil dinas yang menghabiskan biaya daerah mencapai Rp2,5 miliar.
Anggaran pengadaan mobil dinas itu awalnya Rp2 miliar, namun wakil bupati Firdaus tidak terima, kalau mobil dinasnya "kalah pamor" dengan mobil dinas bupati. Ahirnya anggaran harus ditambah Rp 500 juta lagi.
Firdaus ketika itu sempat berucap, apa bedanya wakil dengan bupati, mengapa soal mobil dinas dibedakan. Semula wakil bupati akan dibeli mobil dinas baru Toyota Fortuner, sementara untuk bupati mobil jenis Toyota Land Cruiser.
Namun sang wakil menolaknya. Ahirnya wakil dibelikan mobil dinas Toyota Harrier. Kedua mobil dinas itu kini sudah dipergunakan untuk dua pemimpin di Gayo ini. Riuhnya publik yang selama ini menyoroti soal mobil dinas, gaungnya hilang.
Partai dan wakil rakyat
Tidak hanya sampai disitu gesekan itu terjadi, soal wakil rakyat juga ada perbedaan pandangan keduanya. Wakil Bupati Aceh Tengah sudah memegang kendali PDIP, dimana dia berhasil mengambil alih pucuk pimpinan DPC PDIP Aceh Tengah.
PDIP dan PAN adalah partai pengusung pasangan Shafda (Shabela- Firdaus) ketika dilangsungkan Pilkada dua tahun lalu. Di dalamnya juga ada partai PKPI, PBB, PPP. Partai pengusung ini juga mulai kurang harmonis. PAN seperti "tersingkirkan" dan kini menjadi oposisi di dewan.
Firdaus yang sudah menjadi ketua DPC PDIP Aceh Tengah lebih dekat dengan Samsuddin, ketua sementara DPRK. Bahkan Firduas menginginkan agar Samsuddin menjadi ketua defenitif DPRK di negeri Gayo Lut ini.
Ketua DPC PDIP sebelumnya dikendalikan Arwin Mega. Namun Firdaus seperti meninggalkan Arwin Mega. Sosok Arwin Mega yang merupakan kader PDIP tulen, sudah malang melintang dalam partai banteng dalam lingkaran bulat itu.
Ketika diusulkan nama ketua DPRK defenitif ( PDIP di sana mendapat 5 kursi dan berhak menjabat ketua dewan), DPP PDIP justru mempercayakan Arwin Mega sebagai ketua DPRK. Mega selain mendapatkan kepercayaan sebagai ketua dewan, dalam kongres PDIP Aceh, dia masuk dalam jabatan ketua.
Sementara Samsuddin yang menjabat sebagai ketua DPRK sementara Aceh Tengah, dipercayakan sebagai ketua Fraksi PDIP yang di dalamnya bergabung anggota dewan dari Hanura.
Arwin Mega terlihat dekat ke bupati Shabela. Gesekan antara Arwin Mega dengan Firdaus, wakil bupati, juga diketahui publik. Apalagi ketika Mega merasa ditinggalkan ketika partai banteng ini menyusun kompisisi orang orangnya di parlemen Aceh Tengah.
Geseken interen itu mampu didinginkan oleh DPD PDIP Aceh yang turun ke Aceh Tengah, sembari menyerahkan SK tentang keputusan DPP PDIP yang mempercayakan Arwin Mega sebagai ketua DPRK. Pertemuan interen itu berlangsung di kediaman wakil bupati Aceh Tengah, Firdaus.
Baik Firdaus, Arwin Mega dan Samsuddin kepada Dialeksis.com mengakui tidak ada gesekan di tubuh PDIP Aceh Tengah. " Tidak ada masalah diinteren partai, biasa dinamika. Semuanya di tubuh PDIP tetap kompak," sebut Firdaus.
Soal gesekan antara bupati dan wakil bupati yang sudah menjadi rahasia umum ini, ketika Dialeksis.com menanyakan kepada Bupati Aceh Tengah Shabela Abubakar, dia melepaskan senyum dan enggan memberikan keterangan lebih jauh.
"Duuuhhhh. Kamu nanya macam macam aja. Biasa dalam hidup ada dinamika. Ada hal yang paling penting yang harus dikerjakan untuk membangun negeri ini. Saya akan lakukan berbagai upaya bagaimana mensejahterakan rakyat. Biarlah rakyat yang menilai apa yang kita lakukan," sebut Shabela.
Sementara itu, Firdaus Wakil Bupati Aceh Tengah menjawab Dialeksis.com, Kamis (3/10/2019) secara terpisah, juga berdiplomasi dalam memberikan jawaban. Firdaus justru menggunakan falsafah Gayo ketika ditanya.
"Kuren urum senuk biasa we muterkuk, seseger mera we murantuk, oya nge resam asal enti kuren ne mubelah (Bahasa Gayo). Periuk dan sendok biasalah terantuk. Asalkan jangan periuknya yang terbelah," sebut Firdaus.
Firdaus menggunakan falsafah menjawab Dialeksis.com, yang intinya biasa ada selentingan, ada perbedaan. Periuk dan sendok sudah pasti berantuk, namun jangan karena terantuk lantas periuknya yang pecah.
Gesekan dua pemimpin di Gayo ini juga dirasakan oleh pejabat intansi pemerintah di lingkup Pemda setempat. Kalangan pejabat di sana sempat "bingung", karena ada kalanya beda komando dalam menggerakan organisasi.
"Waduh susah juga kita, adakalanya bingung dibuatnya. Karena perbedaan perintah dari bupati dan wakil. Tidak kita laksanakan bagaimana? Namun kami pada prinsipnya, harus loyal pada pimpinan," sebut salah seorang kadis yang enggan jati dirinya disiarkan.
Pemimpin itu ibarat air yang mengalir dari hulu. Bila di hulunya jernih, sampai ke muara akan terlihat jernih. Namun bila di hulunya keruh, sampai ke muara akan semakin legam.
Gesekan karena perbedaan pandangan antara Shabela dengan wakilnya Firdaus, bukan lagi sebatas rahasia. Publik di sana sudah mengetahuinya. Apalagi yang akan tercatat dalam sejarah akibat perbedaan ini? Waktu dan proses alam yang akan menjawabnya. (Bahtiar Gayo)