DIALEKSIS.COM | Indepth - Penyelidikan kasus dugaan korupsi proyek pembangunan jalan desa di Kecamatan Baktiya, Aceh Utara, memasuki babak baru. Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Aceh resmi memanggil Kelompok Kerja (Pokja) Pemilihan di Biro Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) Setda Aceh guna dimintai keterangan.
Panggilan itu tertuang dalam surat resmi nomor B/235/VII/RES.3.5/2025 tertanggal 8 Juli 2025, ditandatangani oleh Kombes Pol Zulhir Destrian selaku Direktur Reskrimsus Aceh.
Surat tersebut menjelaskan bahwa Subdit III Tipikor Polda Aceh sedang mengusut proyek pembangunan lanjutan di tiga desa (Gampong Geulumpang Samlakoe, Matang Cut, dan Pucok Alue) di Baktiya, dengan pagu anggaran Rp728 juta.
Proyek yang dibiayai Dana Otonomi Khusus (Otsus) Aceh 2023, dikelola oleh Dinas Perkim Aceh. Penyidik menilai terdapat indikasi penyalahgunaan wewenang dan tindak pidana korupsi (Pasal 2 ayat 1 dan/atau Pasal 3 UU Tipikor) dalam pengerjaan proyek ini.
Sebagai bagian dari proses penyelidikan, penyidik memanggil Ali Kausar, anggota Pokja Pemilihan yang bertanggung jawab dalam pemilihan penyedia jasa proyek tersebut, untuk diperiksa pada Kamis, 10 Juli 2025.
Polda Aceh menyatakan bahwa langkah pemanggilan ini adalah bagian dari komitmen mereka mengungkap penyimpangan penggunaan dana publik khususnya dana Otsus yang seharusnya dipakai untuk percepatan pembangunan di daerah tertinggal.
Dari data yang berhasil Dialeksis.com rangkum, berikut kronologi penyelidikan. 8 Juli 2025: Polda Aceh menerbitkan surat pemanggilan resmi (nomor B/235/VII/RES.3.5/2025) kepada Pokja Pemilihan Biro PBJ Setda Aceh
Surat ini menguraikan bahwa Subdit III Tipikor mengusut dugaan korupsi proyek pembangunan jalan lanjutan di tiga gampong di Baktiya senilai Rp728 juta.
Pada 10 Juli 2025, Penyidik Ditreskrimsus memanggil Ali Kausar (anggota Pokja Pemilihan PBJ Aceh) untuk diperiksa sebagai saksi/pihak terkait. Ali dipanggil untuk memberikan klarifikasi mengenai proses pengadaan proyek jalan tersebut. Namun yang mau diminta keteranganya tidak hadir.
Proyek Otsus 2023 ini dikelola Dinas Perkim Aceh. Penyidik menduga terdapat unsur penyalahgunaan wewenang dan korupsi dalam proyek ini (melanggar Pasal 2(1)/3 UU No.31/1999 jo. No.20/2001).
Untuk kasus ini, penyidik Polda Aceh menyatakan keseriusanya sebagai bentuk penegakan hukum atas dana publik. Dana Otsus harus diawasi untuk percepatan pembangunan, bukan sebaliknya disalahgunakan oleh oknum.
Tanggapan DPR Aceh
Langkah penyidik Polda Aceh memicu reaksi dari Ketua DPR Aceh, Zulfadhli. Politisi Partai Aceh ini mengaku terkejut mengetahui dari media, adanya panggilan tersebut. Ia berencana melayangkan surat resmi ke Dirreskrimsus Polda Aceh dan Kepala Biro PBJ Aceh pada Senin, 14 Juli 2025, untuk meminta penjelasan.
Selain itu, Ketua DPR Aceh juga akan melayangkan surat serupa kepada pimpinan Biro PBJ dan Pokja terkait, untuk mendapat gambaran lengkap peristiwa ini. Menurut Zulfadhli, pihaknya ingin memastikan apakah proses tersebut adalah penegakan hukum murni atau sekadar “modus barter proyek” yang berkedok hukum.
“Kami ingin mengklarifikasi persoalan ini agar terang benderang, Apakah ini betul - betul penegakan hukum, atau modus baru ‘barter proyek’ yang berkedok hukum,” sebutnya.
Lebih lanjut, Zulfadhli menilai panggilan terhadap Pokja tersebut berpotensi mengganggu proses pembangunan Aceh. “Pemerintahan Mualem sedang serius membangun Aceh. Semua pihak seharusnya mendukung, bukan menghambat,” ujarnya.
Ia pun mengangkat keluhan dari masyarakat bahwa ada oknum di Polda Aceh yang kerap mengintervensi proyek. Menurut laporan yang diterima DPR, beberapa Pokja dipanggil dengan maksud akhirnya minta “jatah proyek” kepada penyelenggara pembangunan.
Zulfadhli mempertanyakan mengapa Polda tidak menindaklanjuti proyek-proyek besar lainnya, misalnya proyek skema Multi Years Contract (MYC) senilai triliunan rupiah, yang dianggap penuh masalah. “Kalau serius, tangani yang besar, jangan yang kecil-kecil terus,” katanya.
Ia bahkan menegaskan bahwa DPR Aceh akan memanggil semua pihak terkait dan jika perlu mengangkat kasus ini hingga ke Mabes Polri. Selain itu, Zulfadhli mengingatkan agar seluruh aparat penegak hukum saling menghormati tugas masing-masing.
Ia menekankan semangat Asta Cita Presiden Prabowo yang memprioritaskan pembangunan Aceh sebagai bagian NKRI, sehingga pendekatan hukum yang serampangan dan terkesan tendensius harus dihindari.
Kecaman Aktivis dan Publik
Sikap Ketua DPRA ini langsung mendapatkan kritik dari tokoh masyarakat dan aktivis Aceh. Aktivis perempuan Yulindawati menyayangkan pernyataan Zulfadhli yang terkesan mengintervensi proses hukum yang sedang berjalan.
Menurutnya, DPR Aceh sebagai lembaga legislatif semestinya menjadi garda terdepan dalam mendukung penegakan hukum, bukan menghalangi.
Ia menegaskan bahwa pemanggilan aparatur pemerintah oleh penegak hukum adalah mekanisme yang sah dan wajar, terutama ketika menyangkut penggunaan dana publik. “Kalau semuanya bersih, kenapa takut dipanggil?” tegas Yulindawati.
Aktivis tersebut juga menyoroti sikap selektif DPR Aceh dalam menyikapi isu - isu korupsi. Ia mencontohkan berbagai kasus sebelumnya dari skandal Batalyon Baru, permasalahan tambang Blang Padang, hingga dugaan penjualan pulau yang sempat terjadi tanpa reaksi keras dari Ketua DPRA.
Namun begitu panggilan penyidik menyasar Pokja internal DPR, timbul keributan. Kondisi ini, menurutnya, menimbulkan pertanyaan besar di masyarakat.
Yulindawati menduga bahwa ada kepentingan tertentu di balik reaksi berlebihan Zulfadhli. “Kalau polisi kerja, jangan diganggu. Jangan sampai publik curiga Ketua DPRA menyimpan sesuatu yang tidak ingin terungkap,” ujarnya.
Masyarakat sipil luas umumnya menaruh harapan bahwa Polda Aceh akan bekerja profesional. Sementara itu, kelompok pemantau pengadaan, Transparansi Tender Indonesia (TTI), menilai kasus panggilan Pokja ini dapat menjadi momentum penting.
Koordinator TTI, Nasruddin Bahar, mendesak Polda Aceh serius menuntaskan dugaan korupsi di sektor pengadaan barang dan jasa. Ia menekankan bahwa pemanggilan anggota PBJ Aceh “harus menjadi titik balik bagi Polda Aceh agar menuntaskan dugaan korupsi tersebut”.
Dengan kata lain, LSM seperti TTI berharap Polda memanfaatkan momen ini untuk membuktikan keseriusan pemberantasan korupsi dan menjawab keraguan publik terhadap komitmen penegakan hukum.
Publik memberikan tanggapan yang intinya; Mendukung proses hukum. Dimana banyak pihak menegaskan bahwa penegakan hukum harus didukung sepenuhnya. Pemanggilan aparatur pemerintahan untuk diperiksa merupakan bagian normal mekanisme akuntabilitas, bukan gangguan pembangunan.
Pertanyaan keterbukaan jika tidak ada yang disembunyikan, seharusnya diterima dengan lapang dada. Masyarakat mendesak agar DPR Aceh transparan membuktikan tidak ada konflik kepentingan atau motivasi tersembunyi.
Aktivis dan LSM mengkritisi penegakan hukum yang terkesan selektif. Mereka menyoroti bahwa kasus - kasus besar (seperti proyek multiyears triliunan) tampak belum tersentuh, sementara kasus kecil diawasi ketat. Hal ini memunculkan tuduhan adanya hierarki nilai dalam penegakan hukum.
Desakan penyelesaian dari respon berbagai kalangan di sosial media menuntut agar kasus ini diselesaikan tuntas. Mereka ingin melihat hasil konkret dari penyelidikan, sebagai bentuk pembuktian komitmen Polda Aceh terhadap pemberantasan korupsi.
Kasus Baktiya ini menjadi cermin kompleksitas hubungan antar lembaga di Aceh. Di satu pihak, Polda Aceh berupaya menegakkan hukum terhadap dugaan penyimpangan dana publik. Di pihak lain, sebagian pejabat politik dan masyarakat mempertanyakan cara pendekatan yang dipilih.
Para aktivis dan pengamat menekankan bahwa fungsi legislatif sejatinya adalah mengawal kebijakan publik, bukan hanya menjadi “centeng kekuasaan” bagi eksekutif.
Yulindawati melalui tulisannya dalam kolom Dialeksis menyatakan bahwa ketika parlemen lemah dalam melakukan pengawasan independen, demokrasi kehilangan esensinya. Menurutnya, wakil rakyat bukanlah “makelar anggaran” yang mengejar proyek, melainkan harus memastikan kebijakan negara berpihak pada kepentingan rakyat.
Dalam konteks kasus ini, sikap defensif yang menyuarakan tuduhan “kriminalisasi” atau “pembunuhan pembangunan” justru mencederai prinsip checks and balances.
Yulindawati berpendapat bahwa kegamangan legislatif (yakni memilih memusuhi penegak hukum saat proyek tersorot) menunjukkan bahwa mereka cenderung menjadi pelindung kekuasaan, bukan pelayan publik.
Selanjutnya media Dialeksis, melalui tajuk “Arogansi Kekuasaan”, mengkritik keras pernyataan Ketua DPRA ini. Redaksi menilai bahwa tuduhan tanpa bukti konkret dan ancaman “sampai Mabes Polri” justru mencerminkan ketidakdewasaan demokrasi.
Tajuk tersebut menegaskan bahwa menyamakan pembangunan dengan kebal hukum adalah logika berbahaya; sebaliknya, pembangunan berkelanjutan justru harus ditopang oleh akuntabilitas dan pemberantasan korupsi.
Sikap konfrontatif seperti ini hanya akan mengubur masalah lebih dalam, menimbulkan ketidakpercayaan publik, dan pada akhirnya menghambat pembangunan Aceh yang sesungguhnya bersih dan berkeadilan.
Dalam perspektif analitis, ketegangan seperti ini menggambarkan bahaya jika koordinasi antar lembaga dipolitisasi. Legislatif seharusnya mengawasi dengan objektif, sedangkan penegak hukum harus bekerja profesional tanpa tekanan politik.
Jika saling tuduh terjadi terus-menerus, publik yang dirugikan. Sebagaimana teori sosial kontrak menekankan, legitimasi kekuasaan muncul dari rakyat; ketika lembaga publik lebih mementingkan agenda politik daripada etika dan hukum, legitimasi itu terancam.
Harapan dan Langkah Selanjutnya
Kasus ini menarik perhatian Fauza Andriyadi, peneliti Jaringan Survei Inisiatif. Menurutnya kasus ini bukan hanya soal proyek jalan di Baktiya, melainkan ujian bagi tata kelola pemerintahan Aceh. Banyak pihak berharap agar proses penyelidikan berlangsung transparan dan adil.
Masyarakat mengharapkan kejelasan apakah temuan-temuan akan diungkap apa adanya, tanpa intervensi politik. Lembaga swadaya dan akademisi turut menaruh harapan agar Penegak Hukum terus menunjukkan keberanian, tidak takut pada tekanan politik, sebutnya.
Transparansi menjadi kunci. Momentum panggilan ini sebaiknya dijadikan titik balik untuk membuktikan keseriusan pemberantasan korupsi di Aceh. Tidak sampai disitu saja publik menuntut agar kasus - kasus baik besar maupun kecil ditangani secara setara, jelasnya.
“Kalaupun ada masalah pada proyek kasus seharusnya itu segera ditindaklanjuti. Sebaliknya, jika semua proses penyidikan dilakukan sesuai prosedur, DPR dan semua pihak bisa yakin bahwa penegakan hukum berjalan sehat,” sebutnya.
Akhirnya, waktu yang akan menjawab apakah konflik lembaga ini mereda atau memunculkan dinamika baru. Yang jelas, masyarakat Aceh menanti penjelasan dari Polda Aceh mengenai tudingan Ketua DPRA, maupun klarifikasi DPR Aceh soal pernyataannya sendiri.
Terpenting, baik legislatif maupun penegak hukum di Aceh diharapkan dapat menempatkan etika dan kepentingan publik di atas kepentingan politik, agar roda pembangunan Aceh tetap berjalan di jalur keadilan dan akuntabilitas.