kip lhok
Beranda / Liputan Khusus / Indepth / Konflik Singkil, Bak Bara dalam Sekam

Konflik Singkil, Bak Bara dalam Sekam

Senin, 09 September 2019 07:46 WIB

Font: Ukuran: - +


DIALEKSIS.COM | - Singkil sudah mengukir sejarah kelam dalam persoalan keyakinan. Pertikaian antara dua kubu yang berbeda kepercayaan tidak terhindari. Kenyamanan terusik. Bara yang mengeluarkan asap, sampai kini belum terpadamkan.

Bukalah kembali sejarah kelam itu. Gesekan antara muslim dan ummat kristiani di negeri kepulauan ini menjadi cacatan panjang yang belum berujung. Kepulan asap dalam sekam itu, berpeluang kembali menjadi percikan api. Mengulang kisah masa lalu.

Pagi itu, Selasa, (13/10/2015) ratusan aparat keamanan dari kepolisian Polres Aceh Singkil terlihat bersiaga di Simpang Lipat Kajang, Singkil. Jalanan diblokade oleh kawat berduri, dan setiap warga yang melintas diperiksa oleh aparat.

Ada apa? Situasi Aceh Singkil saat itu memang sedang memanas. Berdasarkan informasi yang diperoleh dilapangan, umat muslim Aceh Singkil dengan estimasi massa ribuan orang, akan turun ke jalan menuntut Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil menertibkan pendirian rumah ibadah gereja liar, alias tidak berizin yang semakin marak dan tidak terkontrol.

Informasi akan adanya aksi konvoi umat muslim pada hari itu ternyata benar. Tidak kurang lima ribu orang umat muslim Aceh Singkil turun ke jalan. Berangkat dari Simpang Lipat Kajang, massa bergerak menuju pusat pemerintahan Aceh Singkil, di kawasan Desa Sarok, Kecamatan Singkil untuk menyampaikan tuntutannya.

Namun, setiba di Desa Sukamakmur, Kecamatan Gunung Meriah, tanpa ada komando massa yang melengkapi diri dengan berbagai jenis senjata tajam. Tombak, parang, bambu runcing, klewang, berbelok menuju salah satu gereja (Gereja HKI) Kabupaten Aceh Singkil yang terletak di sana.

Aparat kepolisian yang semula mengira massa menuju ke Kantor Bupati terkecoh. Aparat keamanan yang berjaga disekitar gereja kalah jumlah. Dengan beringas, massa membakar rumah ibadah umat kristiani itu, musnah hingga jadi abu.

Selesai membuat gereja HKI Sukamakmur menjadi puing tak bersisa, kemarahan massa umat muslim Aceh Singkil belum reda. Massa kembali terkonsolidasi menuju Desa Dangguran, Kecamatan Simpang Kanan, dengan tujuan membongkar paksa satu unit gereja yang ada disana.

Namun, apa dinyana. Umat kristiani Desa Dangguran telah menunggu. Mereka telah mendengar salah satu rumah ibadahnya di Desa Sukamakmur, Kecamatan Gunung Meriah telah musnah dibakar massa muslim.

Ketika massa muslim tiba, bentrokan pun tidak terhindarkan. Akibatnya, Samsul, (21th) warga Desa Buluh Sema, Kecamatan Suro, tewas terkena tembakan senapan pemburu babi milik umat kristiani. Korban meninggal dengan luka menganga dibagian kepala dan pelipis kiri. Publik pun gempar, tidak hanya Aceh, nasional pun demikian.

Sejumlah pejabat provinsi kala itu, Gubernur Aceh Dr. Zaini Abdullah, Pangdam Iskandar Muda Mayjen TNI Agus Kriswanto, Kapolda Aceh Irjen Pol Husein Hamidi turun ke lapangan untuk meredakan situasi. Kapolri saat itu, Jenderal Pol Badrodin Haiti pun terlihat mengunjungi lokasi gereja yang dibakar.

Isu pun beredar liar. Beredar kabar sejumlah umat muslim dan kristiani menggelar sweeping massa. Umat muslim mencari Kristen, sementara masyarakat kristen juga mencari umat muslim. Keadaan sangat tidak menentu dan kacau.

Ditengah kesemrautan situasi itu, unsur Forkopimda Singkil bersama para pejabat provinsi menggelar rapat koordinasi untuk menormalkan situasi. Berbilang belasan hari, dicapai kesepakatan bahwa seluruh gereja yang tidak berizin harus ditertibkan. Sejumlah gereja itu pun ditertibkan alias dirobohkan.

Singkil Hari Ini

Hari ini, empat tahun kurang satu bulan peristiwa itu berlalu. Bagaimana proses perdamaian yang terjadi? Apakah pertikaian itu telah selesai? Dihimpun dari berbagai sumber, media ini masih 'mencium aroma' peristiwa itu belum selesai. Situasinya persis seperti permukaan laut yang tenang, namun pusaran air dibawahnya penuh riak dan gelombang.

Anggota Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Aceh Singkil yang mewakili unsur umat kristiani, Pendeta Budiman mengatakan, proses penyelesaian konflik Aceh Singkil yang terjadi tahun 2015 belum sepenuhnya selesai.

Ia mengatakan, ada kesepakatan bahwa sebanyak 11 gereja yang tidak memiliki izin, agar segera diurus proses perizinannya. Menurutnya Pemkab Aceh Singkil tidak memiliki itikad baik dalam menyelesaikan persoalan itu.

"Itu masalahnya ditangan Bupati. Saat Kapolri Badrodin Haiti turun ke Singkil tahun 2015 lalu, kita sudah sepakat 11 gereja yang diberikan izin, yang lain ditertibkan. Katanya saat itu silahkan urus surat keterangan tanah, urus masalah gambar," sebut Budiman.

"Sepertinya bupati sekarang takut dengan salah satu ormas Islam. Padahal dari Kemenag sudah, rekom FKUB Kabupaten juga sudah," ujar Pendeta Budiman saat dikonfirmasi Dialeksis.com, Rabu, (4/9/2019).

Pengurus Gereja Kecamatan Suro ini menjelaskan, terbitnya Qanun No 4 Tahun 2016 tentang Pedoman Pemeliharaan Umat Beragama dan Pendirian Tempat Ibadah telah memberikan penambahan syarat berupa rekom dari mukim.

"Selain gereja yang di Pulau Banyak, seluruh gereja di daratan Singkil belum memperoleh rekom mukim," ujarnya.

Budiman menilai Pemkab Aceh Singkil tidak serius dalam menyelesaikan persoalan sensitif ini. Menurutnya, seperti ada pembiaran terhadap masalah tersebut.

"Bagi kami umat Nasrani melihat, jika kondisi ini dibiarkan berlarut-larut akan menimbulkan masalah lagi kedepannya," jelasnya.

Selain itu, ia menjelaskan berdasarkan penegasan yang disampaikan Bupati Aceh Singkil saat itu, H. Safriadi, bahwa gereja-gereja yang telah ditertibkan (dirobohkan) tahun 2015 lalu, akan mendapat bantuan alias ganti rugi dari pemerintah. Namun, hingga saat ini ganti rugi yang dijanjikan tak kunjung terealisasi.

"Waktu kami rapat bersama bupati saat itu, pak Safriadi mengatakan 'ya udah, gereja yang dirobohkan akan saya ganti rugi'. Mana ganti ruginya? Bagaimana kami mau berdamai, janji untuk ganti rugi saja belum dibayar oleh pemerintah," tegasnya.

Senada dengan Pendeta Budiman, salah seorang tokoh umat muslim Aceh Singkil, Ust Hambali mengungkapkan, upaya penyelesaian konflik yang panjang itu, hingga hari ini belum selesai .

Sehingga masih menggelinding liar bak bom waktu yang siap meledak kapan saja. Menurut Ust Hambali, Pemda Aceh Singkil menggantung persoalan tanpa ada kejelasan.

"Sampai hari ini belum ada ada penyelesaian. Kemarin Pemda Aceh Singkil meminta kita berdamai. Tapi format perdamaianya seperti apa? Artinya, UU telah jelas mengatur bahwa pasca konflik itu ada rehabilitasi dan rekonsiliasi dari pihak yang bertikai. Persoalan ini yang belum ada titik temunya," tegas Ust Hambali.

Ia mengetahui terhadap adanya anggaran perdamaian sebesar Rp 1,5 milyar yang ditempatkan di Badan Kesbangpol Aceh Singkil. Namun, menurut dia dana tersebut belum sepenuhnya tersalurkan.

"Nama-nama sudah kita serahkan. Tapi sampai hari ini kita belum tahu tindak lanjutnya seperti apa. Belum jelas. Singkil hari ini persis seperti api dalam sekam," terangnya.

Ust Hambali menamsilkan konflik Aceh Singkil seperti penyakit 'tumor stadium 4'. Dia menyebutkan pemerintah hanya menghilangkan 'denyut sakit' nya saja, tapi tidak mengangkat 'tumor' nya.

"Tidak ada niat menghilangkan persoalan ini sampai ke akar-akarnya. Ini penting agar kita tidak mewariskan masalah yang tidak terselesaikan kepada generasi yang akan datang," jelasnya.

Ust Hambali menilai, dari sikap umat kristiani sendiri ia memandang tidak ada masalah dan sudah sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.

"Dari 27 unit gereja yang ada, 10 sudah ditertibkan. Nah, sisanya, 17 unit ini yang harus dibicarakan," ujarnya.

Ia menyarankan untuk kembali kepada perjanjian tahun 2001. Jika mengikuti kepada aturan saat ini, Ust Hambali ragu umat kristiani mampu melengkapi syarat pendirian rumah ibadah seperti yang telah diatur oleh regulasi yang ada.

"Tahun 2001 kita kan bersepakat umat kristiani boleh mendirikan 1 gereja dan 4 buah undung-undung (gereja dalam skala kecil-red). 4 buah undung-undung ini kan sudah mewakili. Ini sudah cukup fair, dan sudah kita sampaikan kepada pemerintah daerah," jelasnya.

Ia mengkhawatirkan jika persoalan ini dibiarkan tanpa penyelesaian, akan terjadi 'inkonsistensi' terhadap perjanjian yang telah disepakati.

"Ketika ini dibiarkan, saya khawatir umat kristiani akan menganggap bahwa persoalan ini telah selesai. Mereka akan semena-mena merubah kesepakatan yang telah ada. Contoh yang terjadi di Kecamatan Napagaloh, mereka mau jadikan resort dan dibangun luar biasa besarnya. Ini kan berawal dari pelanggaran-pelanggaran seperti ini," jelasnya.

Untuk itu, tokoh umat muslim yang getol menyuarakan persoalan perizinan rumah ibadah ini berharap Pemkab Aceh Singkil segera mengambil langkah kongkrit menyelesaikan masalah yang sudah 'mengendap' puluhan tahun itu.

"Ini sebenarnya umat muslim dan kristiani sedang menunggu langkah dan kebijakan apa untuk mengatasi masalah ini," terangnya.

Terkait dengan keluhan umat Nasrani yang menyebutkan bahwa proses perizinan rumah ibadah dipersulit Pemkab setempat, Ustad Hambali membantahnya. Wakil Ketua Tim Verifikasi Percepatan Rumah Ibadah Aceh Singkil ini mengungkapkan tidak pernah mempersulit.

"Kita tidak pernah mempersulit perizinan yang diajukan umat nasrani. Kembali ke aturan saja memakai qanun, atau jalan musyawarah. Intinya kita tidak pernah mempersulit," pungkasnya.

Keterangan Bupati

Sementara itu, Bupati Aceh Singkil Dul Mursyid saat dikonfirmasi media ini, membantah keterangan Pendeta Budiman. Anggota FKUB Aceh Singkil perwakilan umat nasrani, menyebutkan, Pemkab Aceh Singkil mempersulit proses perizinan rumah ibadah umat kristiani.

"Lho? Apanya yang dipersulit. Itu syaratnya lengkap atau tidak. Dalam rapat saya sampaikan, umat Nasrani mau pakai aturan yang mana, ," jelas Dul Mursyid kepada Dialeksis.com, Kamis, (5/9/2019).

"Mau mengacu pada SKB 2 menteri boleh, atau mau memakai peraturan Gubernur Aceh silahkan. Jadi ada ketentuan yang mengatur mereka dan syarat-syaratnya. Tapi, tidak ada syarat yang terpenuhi," sebut Sul Mursyid.

Menurutnya, Pemkab Aceh Singkil sangat berkomitmen untuk menyelesaikan persoalan perizinan rumah ibadah umat Nasrani. Bahkan, sebutnya, pihaknya telah membentuk tim rekonsiliasi yang memfasilitasi proses perizinan pendirian rumah ibadah umat Nasrani.

"Kita mendesak tim rekonsoliasi itu bisa membantu memfasilitasi untuk mereka bagaimana mengurusnya. Tapi mereka tidak ada satu rekomendasi pun yang mengatakan bisa atau tidak," jelas bupati.

"Jadi mereka tetap menuntut supaya rumah ibadah yang sudah ditertibkan dan yang belum, supaya dikeluarkan izin. Saya dikonfrontir mereka, agar bupati mengeluarkan kebijakan. Kebijakan apa? Kalau kebijakan yang melanggar aturan gak mungkin dong," terangnya.

Dia juga membantah rumor yang berkembang terhadap ucapan bupati Aceh Singkil sebelumnya (H. Safriadi), bahwa pemerintah akan mengganti rugi terhadap rumah ibadah yang telah ditertibkan. Menurutnya, ada penafsiran yang salah dipahami oleh umat Nasrani.

"Jadi begini lho. Saya masih ingat. Masa itu, pak Oyon (bupati sebelumnya) mengatakan kita membantu pilihan kepada umat nasrani. Karena ini sudah menjadi tuntutan umat muslim, kalau kalian mau tertibkan sendiri, kita bantu kompensasi dana pembongkaran, uang lelahnya lah. Jadi bukan mengganti rugi secara fisik atas bangunan yang ditertibkan," tegasnya.

Untuk mempercepat proses rekonsiliasi atas konflik yang pernah terjadi tahun 2015 lalu, sambungnya, Pemkab Aceh Singkil telah menganggarkan dana sebesar Rp 1,5 milyar sebagai dana perdamaian. Dana itu sendiri, sebutnya, bersumber dari pemerintah pusat.

"Uang itu dulunya sebagai biaya perdamaian yang dibantu pemerintah pusat. Tapi tidak damai.Uang itu ternyata dialihkan untuk biaya rekonsiliasi, yang diperuntukkan bagi masyarakat yang terdampak konflik. Saat ini sudah direalisasikan sebesar Rp 150 juta untuk mereka yang memenuhi syarat seperti meninggal, cacat. Bervariasilah jumlah bantuannya," ujar Dul Mursyid.

Dul Mursyid menghimbau kepada masyarakat Aceh Singkil untuk taat terhadap aturan dan undang-undang yang berlaku.

"Saya berharap kepada umat muslim dan umat kristiani dapat membangun komunikasi yang baik, sehingga dapat hidup rukun dan damai. Segera cari solusi yang terbaik, baik mengacu pada ketentuan pemerintah, SKB 2 menteri, atau peraturan Gubernur Aceh, atau dibangun kesepakatan bersama agar adanya toleransi umat bersama. Tidak harus gontok-gontokan terus," tutupnya.

Historis Konflik Aceh Singkil

'Bara' konflik antara umat muslim dan umat kristiani telah terjadi sejak 39 tahun yang lalu. Pada tahun 1979, terjadi pertikaian antara umat muslim dan umat kristiani Aceh Singkil.

Peristiwa itu berakhir damai dengan kesepakatan umat kristiani tidak melaksanakan ataupun membangun kembali (rehab) gereja sebelum mendapat izin dari Pemerintah Kabupaten tingkat II. Kesepakatan ini terjadi pada tanggal 11 Juli 1979.

Selanjutnya, pada tanggal 13 Oktober 1979, semangat perdamaian kedua belah pihak dipertegas kembali dengan penandatanganan ikrar kerukunan bersama. Ikrar bersama ini ditandatangani 11 Pemuka Agama Islam dan 11 Pemuka Agama Kristen.

Penanda tangani itu disaksikan dan turut ditandatangi oleh Muspida Kabupaten Aceh Selatan (saat itu belum menjadi Aceh Singkil), Kabupaten Dairi-Sumut, Kabupaten Tapteng-Sumut, juga disaksikan oleh unsur Muspika Kecamatan Simpang Kanan.

22 tahun kemudian, tepatnya 11 Oktober 2001, kesepakatan itu kembali diperbaharui oleh umat muslim dan umat kristiani Aceh Singkil. Pembaharuan kesepakatan ini dilakukan setelah sebelumnya pada tahun yang sama terjadi aksi pembakaran salah satu rumah ibadah umat kristiani di Kecamatan Suro.

Aksi ini diduga dipicu oleh kemarahan umat muslim atas sikap umat kristiani yang telah membangun gereja tanpa izin, sehingga hal tersebut dianggap mengingkari isi perjanjian dan ikrar damai tahun 1979.

Untuk mengatasi gejolak konflik bernuansa toleransi antar umat beragama itu, Pemda dan Muspika setempat memfasilitasi kedua belah pihak untuk berdialog. Hasilnya, dicapai kesepakatan Gereja di Aceh Singkil hanya boleh satu unit.

Yaitu Gereja Kuta Kerangan dengan ukuran 12×24 meter dan tidak bertingkat. Undung-undung (rumah ibadah berukuran kecil) hanya boleh 4, yaitu: 1 gereja di Desa Keras Kecamatan Suro, 1 gereja di Desa Napagaluh Kecamatan Danau Paris, dan 1 gereja di Desa Suka Makmur Kecamatan Gunung Meriah, dan 1 gereja lagi di Desa Lae Gecih Kecamatan Simpang Kanan.

Umat kristiani juga bersepakat jika terdapat gereja atau undung-undung selain tersebut diatas, harus dibongkar oleh umat Kristen sendiri. Selanjutnya, pada tanggal 30 April 2012 masyarakat muslim Aceh Singkil kembali menggelar aksi unjuk rasa memprotes maraknya pertumbuhan gereja liar.

Mereka menuntut Pemda setempat agar melakukan penertiban terhadap rumah ibadah non muslim dalam wilayah Aceh Singkil, yang dibangun tanpa izin dan diluar dari hasil kesepakatan antara umat Islam dan umat kristiani tanggal 9 Oktober 2001.

Merespon tuntutan umat muslim Aceh Singkil, Pemkab Aceh Singkil mengeluarkan SK Bupati Nomor 116 tahun 2012 tentang pembentukan Tim Penyelesaian Sengketa Rumah Ibadah. Tim ini mendapat mandat untuk melakukan penertiban dan melakukan penyegelan bangunan rumah ibadah non muslim dan undung-undung yang didirikan tanpa izin dan diluar kesepakatan yang sudah disepakati sebelumnya.

Paska peristiwa aksi protes umat muslim Aceh Singkil pada medio April 2012, pertumbuhan gereja tak berizin tidak berhenti. Terbukti, tahun 2015 di wilayah Sanggaberu Silulusan, Kecamatan Gunung Meriah, sebuah gereja kembali berdiri.

"Inkonsistensi' umat kristiani ini telah mengusik kenyamanan kaum muslim Aceh Singkil. Melihat keadaan yang kian 'panas', Pemkab Aceh Singkil menyurati Camat Gunung Meriah dengan surat Nomor 451.1/848/2015, tentang penghentian pembangunan rumah ibadat umat kristiani di Desa Sanggaberu Silulusan, Kecamatan Gunung Meriah.

Namun, himbauan itu tidak digubris umat kristiani. Pembangunan gereja tetap berjalan. Menyaksikan hal itu, umat muslim Aceh Singkil 'murka'. Pada tanggal 6 Oktober 2015, umat muslim bersama kelompok Pemuda Peduli Islam (PPI) Aceh Singkil menggelar aksi protes di Kantor Bupati.

PPI menuntut Pemkab untuk menutup dan membongkar semua rumah ibadah non muslim yang tidak memiliki izin. Para demonstran memberi ultimatum tegas, jika Pemkab Aceh Singkil tidak mengakomodir tuntutan umat muslim dalam 7 hari kedepan, maka umat muslim yang akan melakukan pembongkaran.

Merespon tuntutan PPI, pada tanggal 12 Oktober 2015 Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil bersama Forkopimda, unsur pimpinan dan Anggota DPRK, FKUB, Instansi Terkait, Para Camat, Para Imeum Mukim, para Kepala Kampung, Pimpinan Pondok Pesantren, Ulama, Tokoh Masyarakat dan Ormas Islam melakukan rapat koordinasi untuk membahas permasalahan tersebut.

Salah satu kesepakatan yang dicapai, pembongkaran dilakukan pada tanggal 19 Oktober 2015. Hasil kesepakatan itu langsung disosialisasikan malam itu juga. Meski awalnya terdapat penolakan, namun akhirnya umat muslim menerimanya.

Akan tetapi, kepercayaan umat muslim kepada Pemkab Aceh Singkil tergerus. Mereka menilai Pemkab tidak tegas terhadap persoalan perizinan rumah ibadah non muslim. Tergerusnya kepercayaan itu membuat fakta dilapangan berubah.

Keesokan harinya, 13 Oktober 2015, ribuan umat muslim turun ke jalan. Bak seperti sedang berjihad , umat muslim baik tua dan muda ada yang dilengkapi dengan berbagai jenis senjata tajam, menyerbu gereja HKI Sukamakmur, Kec. Gunung Meriah. Tanpa bisa dihadang, rumah ibadah umat kristiani itu pun dibakar massa dan musnah menjadi abu.

Sejarah kelam itu bukan hanya sekedar catatan. Pengalaman itu hendaknya dijadikan semua pihak untuk tidak mengulangi persoalan yang serupa. Bila dibiarkan berlarut larut, persoalan tidak dituntaskan, bara api dalam sekam itu akan kembali mengepulkan asap.

Haruskah dibiarkan asap itu kembali menghadirkan api? Bukankah sebaiknya dipadamkan demi kerukunan.Bila sebuah kesepakatan dibuat, namun tidak mampu dijalankan, sama dengan membuka luka lama untuk digores kembali. Semoga bara api dalam sekam di negeri ini mampu dipadamkan. (Im Dalisah)


Keyword:


Editor :
Bahtiar Gayo

riset-JSI
Komentar Anda