Korupsi Wastafel, Aktor Utama dan Penerima Keuntungan Harus Diseret!
Font: Ukuran: - +
Reporter : Bahtiar Gayo
Tempat cuci tangan (wastafel) yang dibangun menggunakan dana penanganan Covid-19 oleh Pemprov Aceh di SMAN 1 Krueng Barona Jaya, Aceh Besar, Provinsi Aceh, diduga ada praktik korupsi. [Foto: kompas/zulkarnaini]
DIALEKSIS.COM | Indepth - Apakah penerima keuntungan dari kasus sebuah korupsi bisa bebas berkeliaran, sementara pihak lain yang bertugas dilapangan justru harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Adilkah?
Publik di Aceh kini menaruh perhatian besar pada persidangan kasus korupsi wastafel yang menelan biaya mencapai Rp43 miliar lebih. Kerugiaan negara diperkirakan mencapai Rp7 miliar. Ada tiga tersangka yang duduk di kursi pesakitan.
Apakah hanya tiga tersangka ini yang harus membersihkan tangannya. Banyak pihak meminta agar polisi tidak ragu dalam menyeret pihak-pihak yang menjadi otak di balik pengadaan wastafel. Aktor utama dan penerima keuntungan dibiarkan bebas.
Bagaimana “keras”nya kritikan publik yang menaruh perhatian dalam persoalan wastafel, Dialeksis.com, mengumpulkan kepingan yang terserak ini merangkumnya menjadi sebuah tulisan mendalam.
"Ini bukan sekadar kasus korupsi biasa. Ada indikasi keterlibatan lingkaran kekuasaan yang harus diusut tuntas," ujar Fachrul Razi, anggota DPD Aceh.
"Kasus ini menunjukkan betapa peliknya praktik korupsi di lingkungan pemerintahan. Yang seharusnya menjadi proyek untuk kebersihan malah justru mengotori tangan para pelakunya," ujar Kasibun.
Bagaimana hingar bingarnya kasus yang sudah menyeret tiga tersangka di meja hijau ini, inilah kepingan yang terserak, berhasil dirangkum Dialeksis.com.
Fakta di Persidangan
Dalam sebuah persidangan kasus dugaan korupsi wastafel, Jaksa Penuntut Umum pada Kejari Banda Aceh menyebutkan ada tujuh perusahaan konsultan yang digunakan pada proyek tersebut, di bawah Dinas Pendidikan (Disdik) Aceh tahun anggaran 2020.
Ada yang aneh, para direktur ini tidak terikat kontrak dengan pengadaan tersebut. Tujuh perusahaan konsultan ini, yakni CV. Zen Engineering, CV. Planet Desain, CV. Rangka Design Consultan, CV. Konsultasi Beinjhon, CV. Diameter Design Consultan, CV. Catro Engineering dan CV. Konsultan Teknik Indoline.
Menurut Jaksa penuntut, Ferry dkk, saat sidang pembacaan dakwaan kasus korupsi wastafel di Pengadilan Negeri (PN) Tipikor Banda Aceh, Jumat, 20 September 2024, fakta itu diungkapkannya.
Ferry menjelaskan, perusahaan konsultan perencana tersebut hanya dipinjam nama perusahaannya saja atau hanya digunakan secara proforma. Setelah dicek ulang Direktur dari ke-7 perusahaan tersebut tidak melakukan kontrak kerja dengan Disdik Aceh.
Proyek ini adalah pembuatan tempat cuci tangan dan sanitasi pada SLBN, SMAN dan SMKN di wilayah Aceh tahun 2020 yang bersumber dari dana APBA (Refocusing Covid-19).
Seluruh dokumen perencanaan tentang proyek ini disiapkan terdakwa Zulfahmi bersama tim teknis yang menjadi saksi, yakni saksi Roni Yulianto, Adnan dan Rendra Satria Putra.
Pada Juli 2020, terdakwa Zulfahmi selaku PPTK Bidang Sarana dan Prasarana (Sarpras) Disdik Aceh mempersiapkan Rencana Umum Pengadaan (RUP) 390 paket pengadaan dan menyerahkan dokumen kelengkapannya kepada Terdakwa Rachmad Fitri.
Selanjutnya terdakwa Rachmad Fitri memerintahkan secara lisan kepada saksi Zulfahmi dan tim teknis untuk menyiapkan dokumen pelaksanaan dan meminta terdakwa Muchlis untuk melakukan proses seleksi pengelola 390 paket pekerjaan.
Jaksa merincikan, dari total 390 paket tersebut, paling banyak dikelola oleh Syifak Muhammad Yus yaitu 159 paket, kemudian Muhammad alias Cek Mad 67 paket, T Narsyad 38 paket, Ridha Mafdhul 20 paket, sementara 25 orang lainnya mengelola 10 paket ke bawah.
H. Fachrul Razi, M.I.P., M.Si, MH, Ketua Komite I DPD RI. [Foto: for dialeksis.com]Siapa Pengelola Paket Ini?
H. Fachrul Razi, M.I.P., M.Si, MH, Ketua Komite I DPD RI, menyoroti perkembangan ini dengan kritis, menurutnya, Ini bukan sekadar kasus korupsi biasa. "Ada indikasi keterlibatan lingkaran kekuasaan yang harus diusut tuntas," ujar Razi kepada Dialeksis, Minggu (22/9/2024).
Menanggapi fakta persidangan yang mengungkap keterlibatan sejumlah nama, termasuk Syifak Muhammad Yus yang mendapat 159 paket pekerjaan, Razi menekankan pentingnya investigasi yang lebih luas.
"Bagaimana mungkin seorang 'anak bau kencur' bisa mendapat proyek sebanyak itu? Ini jelas menunjukkan adanya permainan di balik layar," tegasnya.
Politisi nasional ini juga mencermati ada indikasi kekerabatan dan hubungan keluarga berperan memuluskan berjalannya proyek wastafel tersebut.
"Kita tidak bisa menutup mata. Hubungan kekerabatan ini patut diselidiki lebih jauh, siapa relasi keluarga Syifak," tambahnya.
Razi mendesak aparat penegak hukum untuk memperluas cakupan penyidikan. Jangan hanya terpaku pada tiga tersangka yang sudah ditetapkan. Semua pihak yang namanya muncul dalam persidangan harus diperiksa secara menyeluruh.
Razi juga juga mengungkapkan temuan Tim Ahli Konstruksi dari Politeknik Negeri Lhokseumawe yang mengungkap adanya ketidaksesuaian dalam pelaksanaan proyek. "Ini bukan hanya masalah administratif, tapi indikasi kuat adanya mark-up dan penggelapan anggaran," jelasnya.
Anggota DPD RI ini juga menyinggung dugaan keterlibatan lingkaran kekuasaan Nova Iriansyah dan Bustami Hamzah.
"Kita perlu mengusut tuntas apakah ada aliran dana ke pihak-pihak tertentu, termasuk untuk kepentingan politik," tandasnya.
Razi menegaskan bahwa kasus ini bisa menjadi momentum untuk membersihkan praktik korupsi di Aceh. "Jangan sampai proyek yang seharusnya untuk kebersihan malah mencemari integritas pejabat publik," sebutnya.
Sementara itu, Kasibun Daulay, S.H., seorang pengacara ternama di Aceh, juga menyoroti perkembangan terbaru hasil persidangan kasus korupsi wastafel di Aceh ini.
"Kasus ini menunjukkan betapa peliknya praktik korupsi di lingkungan pemerintahan. Yang seharusnya menjadi proyek untuk kebersihan malah justru mengotori tangan para pelakunya," ujar Kasibun kepada Dialeksis.com, Minggu (22/9/2024).
Kasibun curiga soal Syifak Muhammad Yus yang mendapat 159 paket pekerjaan dari total 390 paket. "Ini sangat mencurigakan. Bagaimana mungkin seorang individu bisa mendominasi proyek sebesar itu?" tanyanya.
Apalagi, jelasnya, ada indikasi keterlibatan relasi keluarga yang sangat berpengaruh sehingga bisa terjadi seperti itu. Menurutnya penetapan tiga tersangka dinilai tidak adil.
"Apabila dasar dugaan korupsi adalah kekurangan volume atau ketidaksesuaian spesifikasi, seharusnya bukan hanya tiga orang yang dijadikan tersangka," kata Kasibun.
Ia merujuk pada Rachmat Fitri (mantan Kadisdik Aceh), Muchlis (Pejabat Pengadaan), dan Zulfahmi (PPTK) yang kini menjadi terdakwa. Seharusnya aparat penegak hukum fair dalam melakukan penyidikan dan menetapkan tersangka. Para rekanan juga seharusnya ditetapkan sebagai tersangka," jelasnya.
"Menjadi sangat janggal jika nantinya majelis hakim menyatakan ada kerugian negara sebesar Rp7,2 miliar, tapi hanya pihak dinas yang dituntut mengembalikannya. Padahal pelaksana kegiatan adalah kontraktor, dan merekalah yang mengelola anggaran negara tersebut,” kata Kasibun.
Apalagi temuan Tim Ahli Konstruksi dari Politeknik Negeri Lhokseumawe yang mengungkap adanya ketidaksesuaian dalam pelaksanaan proyek.
"Adanya item pekerjaan yang tidak dikerjakan atau tidak sesuai kontrak jelas merugikan negara. Ini bukan sekadar kelalaian, tapi kesengajaan untuk mengambil keuntungan pribadi," tegasnya.
"Penunjukan langsung (PL) untuk proyek sebesar ini sangat rawan penyimpangan. Seharusnya ada mekanisme yang lebih ketat untuk mencegah manipulasi," katanya.
"Jangan hanya 'kelas teri' yang dijadikan tersangka, sementara 'hiu-hiu besar' masih bebas berenang," tegasnya.
Kasibun Daulay, Praktisi Hukum dan Advokat Ternama. [Foto: dialeksis.com]Harus Semuanya Diseret
"Jika melihat seluruh proses dugaan korupsi ini, tidak ada alasan bagi kepolisian untuk tidak menjerat mereka yang merancang dan terlibat dalam proyek tersebut, termasuk pihak rekanan," ujar Koordinator Gerakan Antikorupsi Aceh (GeRAK), Askhalani kepada Dialeksis.com, Minggu (22/9/2024).
Menurut Askhalani, skandal wastafel ini merupakan tindak pidana serius karena dilakukan di tengah situasi darurat akibat pandemi Covid-19. Pengadaan wastafel itu sendiri merupakan bagian dari refocusing APBA, yang dirancang oleh Tim Anggaran Pemerintah Aceh untuk penanganan pandemi.
"Saat masyarakat sedang menghadapi kesulitan ekonomi akibat pembatasan aktivitas, sejumlah orang yang memiliki kuasa justru merancang untuk menggerogoti uang negara. Ini merupakan kejahatan yang sangat keji," tegasnya.
Askhalani meminta polisi untuk tidak ragu dalam menyeret pihak-pihak yang menjadi otak di balik pengadaan wastafel ini.
"Jangan sampai fokus penyelidikan hanya pada tiga tersangka, sementara aktor utama dan penerima keuntungan dari proyek ini masih bebas," pungkasnya.
KPK Harus Ambil Alih
Selain itu, kritikan pedas juga disampaikan Komite Advokasi Daerah (KAD) Antikorupsi Aceh, Aryos Nivada. Dia mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengambil alih penanganan kasus dugaan korupsi pengadaan Waste to Energy Facility (Wastafel) di Aceh.
"Ada dugaan keterlibatan pejabat tinggi sebagai dalang utama yang masih dilindungi," ujar Aryos kepada awak media, Minggu, 22 September 2024.
Aryos mengkritik penerapan pasal yang digunakan penyidik. Menurutnya, Pasal 3 UU Tipikor yang hanya berfokus pada kerugian negara tidak cukup.
"Pasal 2 tentang memperkaya diri sendiri atau orang lain dan Pasal 12 tentang gratifikasi harus diterapkan," tegasnya.
KAD Antikorupsi Aceh meyakini supervisi KPK akan membuka tabir kasus ini secara lebih komprehensif. Aryos menilai pola dan modus eksekusi melibatkan pihak berpengaruh perlu didalami dan ditetapkan secara ketetapan hukum jika faktanya nyata terlibat.
"Ada indikasi mark-up besar-besaran. Kualitas dan efektivitas teknologi yang digunakan juga dipertanyakan, bahkan indikasi kuat keterlibatan kekerabatan dan keluarga dapat ditelusuri sekaligus ditetapkan dimata hukum," kata Aryos.
KAD Antikorupsi Aceh mendorong KPK membentuk tim khusus beranggotakan penyidik senior dan forensik keuangan. Mereka juga meminta perlindungan bagi para whistleblower yang berani membocorkan informasi.
KAD Antikorupsi Aceh dibentuk berdasarkan Keputusan Gubernur Aceh nomor 180/1054/2021 yang ditandatangani pada 12 April 2021, sebagai tindak lanjut dari gagasan KPK dan KADIN untuk melibatkan lembaga swasta dalam penanggulangan korupsi.
Apakah kasus korupsi pengadaan wastafel ini hanya tiga orang yang akan duduk di kursi pesakitan, sementara lainya seperti dikatakan para nara sumber Dialeksis.com, penikmat keuntungan dan aktor utama bebas berkeliaran?
Sikap penyidik untuk mengungkapkan dan menyeret aktor utama dalam kasus ini sangat dinantikan publik, seriuskah aparat penegak hukum dalam mengungkapkan kasus ini agar tidak ada yang terzalimi dalam menegakan keadilan?. [bg]