Melepas Jerat Otsus
Font: Ukuran: - +
Dana Otsus Aceh akan berahir 2027. Bagaimana nasib Aceh tanpa dana Otonomi Khusus (Otsus)? Dialeksis.com menurunkan tim (Makmur Emnur/Ikbal Fanika/Pondek) mencoba menguak "peruntungan" Aceh dengan Otsus. Inilah laporannya.(Red)
Perekonomian Aceh tak kunjung membaik meskipun mendapat suntikan dana otonomi khusus (Otsus) sejak 2008 dari Pemerintah Pusat. Saat ini sudah memasuki episode ke-12 dari total dua puluh tahun "jatah jajan" hingga 2027.
Pusat memberikan dana Otsus demi memulihkan kondisi Aceh yang terpuruk usai konflik bersenjata tiga dekade. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA), buah dari kesepakatan damai MoU Helsinki 2015.
Lembaga Kajian Institute for Development of Acehnese Society (IDeAS) mencatat, selama 20 tahun jangka waktu berlakunya dana Otsus, Aceh diperkirakan akan menerima suntikan dana Rp 163 triliun.
Sejauh ini, selama sebelas tahun dari 2008-2018, Bumi Iskandar Muda telah mendapat sekitar Rp 66,5 triliun dari Pusat.
Namun herannya, menurut ekonom, dengan ‘jajan’ sebanyak itu selama satu dekade terakhir, Aceh malah belum bisa produktif.
"Kita tidak bisa mengatakan dana Otsus itu bagus atau tidak, tapi kita harus analisa berdasarkan angka-angkanya," ujar pengamat ekonomi Aceh, Rustam Effendi, dalam wawancara khusus dengan Dialeksis.
"Jika memang bagus,kenapa pertumbuhan ekonomi Aceh masih lelet?," tanya Rustam.
Dalam dua tahun terakhir misalnya. Pertumbuhan ekonomi Aceh tahun 2017 hanya 4,18 persen. Sedikit meningkat di tahun berikutnya, 4,61 persen.
Namun masih di bawah target pertumbuhan ekonomi dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA).
Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut, pada 2018, pertumbuhan ekonomi Aceh 4,61 persen itu menempati peringkat ketujuh dari 10 provinsi di Sumatera. Sementara target nasional dipatok 5,2 persen.
Ekonomi Aceh secara umum masih sangat tergantung pada Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA). Perekonomian Aceh, pertumbuhan tahunan selama 2013-2017, rata-rata sebesar 2,18 persen. Hanya 0,55 persen diantaranya merupakan kontribusi dari belanja pemerintah.
Jika Otsus berdampak bagus, pertumbuhan ekonomi Aceh pada 2018 misalnya, mampu mencapai target nasional sebesar 5,2 persen.
Rustam lalu bilang, "Sekarang kita lihat angka kemiskinan".
Dua tahun terakhir, Aceh mendapat rapor merah. Per September 2018, daerah dengan populasi 5 juta jiwa ini bertengger di urutan pertama provinsi termiskin se-Sumatera. Masih belum beranjak dari posisi yang sama per September 2017.
Jumlah penduduk miskin di Aceh per September 2018 mencapai 831 ribu orang atau 15,6 persen. BPS menggarisbawahi, jika dibandingkan dengan periode yang sama per September 2017, penduduk miskin bertambah 2 ribu orang atau 15,92 persen.
Aceh belum mampu perkecilkan angka kemiskinan. Angka 15,6 dinilai pakar ekonomi Unsyiah itu, "masih sangat belum efektif, masih jauh dibawah angka nasional".
Target nasional pada 2018 sebesar 9,5 - 10 persen. Selisih dengan capaian Aceh hampir sebesar 6 angka.
Ada juga indikasi lain dari belum efektifnya kucuran Otsus ke Aceh. Ketersediaan lapangan kerja masih sangat minim. Jumlah pengangguran pun menggunung.
Catatan BPS, angka pengangguran terbuka di Aceh tahun 2018 mencapai 154 ribu orang. Bertambah 4 ribu orang bila dibandingkan setahun sebelumnya.
"Ini kan, sepertinya tidak usah saya komen pun," ujar Rustam, "dengan angka-angka ini, dampak pengelolaan dana Otsus itu belum signifikan dalam menyelesaikan persoalan di Aceh."
Rustam Effendi, pakar ekonomi Aceh. [Foto: Dok. Dialeksis.com]Itu hal miris. Padahal injeksi dana otsus naik setiap tahun, hampir 7 persen. Hitung-hitungannya, bila jajannya dilebihkan hampir 7 persen setiap tahun, semestinya perubahan dalam masyarakat itu pun lebih baik 7 persen.
Seandainya indeks kesejahteraan (Indeks Pembangunan Manusia/IPM_red) setiap penduduk Aceh bertambah tujuh persen saban tahunnya, tentu masyarakat Aceh sudah merasakan kehidupan yang menyenangkan setiap harinya.
Dimana salahnya? "Saya pikir yang salahnya itu ada pada politik budgeting-nya," Rustam menganalisa kepada Dialeksis.com, dalam wawancara 29 Mei 2019 lalu.
Eksekutif di Aceh, termasuk kalangan SKPA (Satuan Perangkat Kerja Aceh), dalam mengalokasikan anggaran, tidak sungguh-sungguh melihat persoalan yang ada di lapangan. Sehingga isu-isu yang ada di masyarakat tidak tertuntaskan.
Usulan pemerintah yang di-Musrenbang-kan setiap tahunnya, ketika dibawa ke legislatif, parlemen memiliki waktu terbatas untuk membahasnya--setidaknya untuk menelaah apakah penganggaran sudah sesuai kebutuhan riil masyarakat.
Ketika dana otsus kian gemuk, sementara pola alokasi anggaran tak mengacu kepada kebutuhan nyata masyarakat, perencana/perancang pun tidak mengacu kepada persoalan kebutuhan di lapangan.
"Kuncinya ya Bappeda."
Sebagai leading sektor, Bappeda Aceh bisa mendesain arah pembangunan Aceh. Bersama sejumlah dinas terkait lainnya dari unsur SKPA, Bappeda menjadi lokomotif pembangunan Tanah Rencong.
Terkait hal itu, Dialeksis sempat mengkonfirmasi Kepala Bappeda Aceh, Azhari Hasan. Pada Senin (24/06/2019), Azhari sudah dimintai keterangan melalui pesan WhatsApp, sekaligus meminta ketemuan untuk wawancara.
Tiga kali sambungan telepon juga tidak direspon. Keesokannya, Dialeksis kembali mengirim pesan WA untuk memperoleh keterangan. Namun sampai Selasa malam, pesan WA hanya mendapat dua centang biru.
Jika Otsus Diperpanjang
Dana Otonomi Khusus Aceh diatur dalam beberapa perundang-undangan.
Di antaranya Qanun Nomor 2 Tahun 2008, Qanun Nomor 2 Tahun 2013 dan Qanun Nomor 10 Tahun 2016.
Qanun Nomor 10 mulai berlaku pada tahun anggaran 2018 yang kembali ke pola semula, yaitu pengelolaan dikembalikan ke Pemerintah Provinsi. Semua kegiatan yang akan didanai harus berdasarkan usulan dalam Musrenbang.
Besarnya alokasi dana otsus sesuai UU No 11 Tahun 2006 yaitu 2 persen dari Dana Alokasi Umum (DAU) nasional selama 15 tahun sepanjang 2006 hingga 2021 dan 1 persen sepanjang tahun 2022 - 2027.
Penggunaan dana Otsus ditujukan untuk membangun infrastruktur, pemberdayaan ekonomi, pengentasan kemiskinan, pendidikan, sosial, kesehatan, dan keistimewaan Aceh.
Rupanya, Pemerintah Aceh terkesiap dengan kondisi Aceh saat ini yang masih banyak kekurangan, meskipun alokasi dana Otsus didongkrak setiap tahunnya.
Pemerintah Aceh pun meminta bantuan senator Aceh di Senayan, melobi pusat agar jatah dana Otsus diperpanjang.
Permintaan ini setidaknya tergambarkan dalam pertemuan Pemerintah Aceh dengan delegasi Komisi 4 DPD RI di ruang Setda Aceh, 12 Desember 2018.
Asisten III Bidang Administrasi Umum, Kamaruddin Andalah dalam pertemuan itu mengutarakan, Otsus perlu diperpanjang untuk melanjutkan pembangunan Aceh. Sebab masih banyak daerah yang belum tersentuh pembangunan merata karena letak geografisnya terpencil dan terluar.
Dana Otsus sangat diperlukan untuk membangun infrastruktur. Membuka akses ke pulau-pulau terluar dan daerah terpencil di Aceh.
Gayung bersambut. Sekitar seminggu kemudian, dalam Sidang Paripurna DPD RI di Gedung Nusantara V Senayan Jakarta, disetujui usulan perpanjangan dana Otsus Aceh. Pengesahan ini berdasarkan laporan Pimpinan Komite I DPD RI yang juga senator asal Aceh, Fachrul Razi.
Kata dia, pemberian Otsus untuk Aceh (juga Provinsi Papua dan Papua Barat) menjadi "politik jalan tengah" guna meredam gejolak politik dan upaya mempercepat pencapaian kesejahteraan.
Namun dia menyarankan Pemerintah Aceh segera menyusun exit strategy paska Otsus Aceh berakhir 2027.
Usai Sidang Paripurna DPR RI itu, terbuka lebar harapan Aceh mendapatkan dan Otsus Jilid 2. Namun, sampai kapan Aceh harus bergantung pada bantuan pusat?
Rustam Effendi melihat, pemerintah Aceh memang menginginkan dana Otsus diperpanjang.
"Kita mendoakan Otsus tetap diperpanjang. Arti kata, kalau uangnya ada, segala kelemahan kita bisa perbaiki," ujarnya.
Pemerintah akan senang, jika setiap tahunnya dengan bantuan Otsus itu, Aceh bisa memenuhi kebutuhan belanja daerah.
Dengan alokasi 2 persen dari DAU pusat, Aceh dapat sekitar Rp 8 triliun. Namun per tahun 2023 - 2027, Aceh hanya menerima 1 persen atau setara Rp 4 triliun.
Artinya, harus ada sumber income lain hampir 50 persennya. Asumsi Rustam, jika Aceh menerima otsus Rp 4 T, ditambah PAD maksimal Rp 3 T, plus dana perimbangan sebesar Rp 1 T, maka totalnya dapat Rp 8 T.
Tapi semakin tahun, kebutuhan belanja semakin membengkak, seiring bertambahnya populasi dan faktor lainnya. Mungkin Aceh butuh Rp 10 T per 2023 nanti, dari mana sumbernya?
Satu dekade lebih sudah menerima otsus, tapi belum ada satupun solusi atau exit strategy yang sudah disiapkan Aceh.
"Coba lihat, apa sumber pendapatan yang sudah kita siapkan? Belum ada kan," ucap Rustam. "Kalaupun diperpanjang, kita ragu Aceh akan dapat 2 persen dari plafon DAU. Paling ditambah satu persen," imbuhnya.
Pun seandainya diperpanjang, Pemerintah Aceh tak boleh terlena. Melainkan harus jeli mencermati sumber pendapatan daerah ke depan.
MaTA: Potensi Korup
Tak masalah dana Otsus Aceh diperpanjang, menurut Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA). "Bahkan perlu, kalau kita lihat konteks situasi dan kondisi Aceh hari ini," kata Koordinator MaTA, Alfian, dalam wawancara dengan Dialeksis beberapa waktu lalu.
Namun, sebelum melangkah ke proses itu, Aceh harus berbenah terutama di sektor birokrasi pemerintahan. Sebab hari ini, dana Otsus jadi ajang bancakan para elit politik. Harus dievaluasi dulu sebelum diperpanjang.
Alfian, Koordinator MaTA. [Foto: Serambi Indonesia]Alumni Fakultas Ekonomi Universitas Abulyatama Aceh itu menegaskan, "Bila tidak dievaluasi maka perpanjangan dana Otsus hanya memperbesar perut elit dan rakyat Aceh tetap tidak kunjung sejahtera."
MaTA melihat, saat ini ada tiga hal krusial yang harus dibenahi pemerintah terkait penggunaan dana Otsus.
Pertama, perencanaan. Realisasi otsus selama ini tidak berorientasi pada kebutuhan riil rakyat Aceh, melainkan lebih kepada keinginan elit kekuasaan yang ada di Aceh saat ini.
"Sehingga banyak produk dana Otsus yang terbengkalai dan tidak bermanfaat karena memang itu bukan kebutuhan riil rakyat Aceh," tuturnya.
Kedua, urai Alfian, dana Otsus jarang dibahas di tingkat kab/kota. Dana Otsus itu hak kendalinya ada di bupati. Sinkronisasi antara kab/kota dan provinsi tidak jalan.
Bappeda Aceh, yang mestinya mendesain pembangunan Aceh, hari ini bukannya membuat perencanaan tapi justru merekap surat. Harusnya Bappeda Aceh membangun master plan untuk mendeteksi penggunaan dana Otsus di kab/kota.
Dengan tegas, Koordinator MaTA berujar, "Dana Otsus sejauh ini menjadi ajang korup. Potensinya sangat besar."
Karena itu, MaTA sejak 2013 merekomendasikan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) untuk mengaudit dan investigasi penggunaan dana Otsus di Aceh.
Terakhir, kata Alfian, penegakan hukum pengelolaan dana Otsus masih lemah. Abai dan tak serius. Bahkan, pemerintah pusat tampaknya sengaja membiarkan dana Otsus salah kelola.
"Pusat tahu dana Otsus Aceh salah kelola, tapi abai terhadap penegakan hukum. Hari ini justru kita lihat instansi vertikal juga turut menikmati kucuran dana otsus melalui infrastruktur. Jadi konflik kepentingan," simpulnya.
Sementara itu, Direktur Jaringan Survei Inisiatif (JSI) Ratnalia Indriasari mengemukakan, pengelolaan dana otsus Aceh masih lemah dalam perencanaan, monitoring, dan SDM birokrasi.
Dia menyarankan perlu adanya pembenahan manajemen pengelolaan dana otsus. Selain itu, Pemerintah pusat dan pemerintah Provinsi Aceh wajib membentuk task force yang terdiri dari stakeholder terkait penggunaan dana otsus.
"Tujuannya untuk bersama sama-mengawasi dan mengevaluasi jalannya implementasi dana otsus agar tepat sasaran, tepat manfaat, dan tepat guna," kata Ratna, Rabu (27/6/2019).
Pemerintah Tidak Sembarangan
Pemerintah Aceh punya pandangan sendiri. Kepala Biro Administrasi Pembangunan Setda Aceh, Sunawardi Desky, menegaskan, pemerintah tidak sembarangan dalam merencanakan dan menggunakan anggaran otsus.
Kata dia kepada Dialeksis, Selasa (25/6/2019), pembangunan Aceh didesain secara bersinergi.
Dia menyebut, ada proses RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang) 2005-2025, kemudian ada yang jangka lima tahunan, RPJMA (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh) 2017-2022, dan RKPA (Rencana Kerja Pemerintah Aceh) yang sifatnya tahunan.
"Di RKPA itu sudah ada setiap tahun kegiatan-kegiatan yang menjadi priotas pembangunan. Belum lagi kita masuk arahnya visi dan misi pak gubernur dan wakil gubernur terpilih yang diadopsi ke RPJM, itulah yang slogannya Aceh hebat itu ya, dengan beberapa prioritas-prioritas yang memang harus ditindak lanjuti oleh SKPA," kata mantan Sekretaris Bappeda Aceh Tenggara itu.
Semua pihak dilibatkan dalam mendesain pembangunan Aceh. Rancangannya ada yang berdasarkan visi dan misi gubernur, ada pula program prioritas yang harus disinergikan dengan tugas dan fungsinya masing-masing SKPA, dengan Bappeda sebagai leading sectornya.
Pun dengan penggunaan dana Otsus, kata Sunawardi, pemerintah Aceh tentu tak asal-asalan. Ada undang-undang yang mengaturnya.
Dana Otsus Aceh dimasukkan dalam APBA (Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh) setiap tahunnya. APBA sendiri mengalami fluktuasi.
"Berfluktuasi menurut saya begini," Sunawardi memaparkan, "Otsus ini kan di dalamnya ada DOKA, Dana Otsus Aceh Alokasi Kab/Kota. DOKA inilah yang mengalami fluktuasi karena diwujudkan dalam qanun. Qanun ini lah yang mengatur dan ini berubah-ubah."
Dia menyebut salah satu perubahan misalnya pada Qanun Aceh No. 1 Tahun 2014 tentang perubahan atas Qanun Aceh No. 1 tentang pengelolaan keuangan Aceh. Lalu dimana fluktuasinya?
"Yang pertama, fluktuasinya itu ada beberapa regulasi. Di qanun ini, dana otsus Aceh 100 persen dikelola oleh provinsi, kemudian ada regulasi dimana uangnya ditransfer ke kabupaten/kota. Jadi balik lagi dikelola oleh provinsi walaupun kegiatannya itu ada di kabupaten/kota."
Perubahan terakhir, sebutnya, Qanun Aceh No. 1 Tahun 2018. Regulasi baru ini, 40 % DOKA ditransfer ke kab/kota, sedangkan 60 % dikelola oleh provinsi, setelah dikurangi kegiatan-kegiatan bersama.
"Kegiatan bersama itu contohnya JKA, itu kan dinikmati oleh provinsi dinikmati kabupaten/kota juga. Beasiswa untuk anak yatim, perumahan, itu banyak dinikmati kabupaten/kota. Ini dipotong. Setelah baru kembali ke satu persen"
Adapun 60 persen yang dikelola oleh provinsi berada pada seluruh SKPA. Kegiatannya juga banyak di kab/kota, tapi kewenangannya di provinsi.
"Yang dibolehkan dalam qanun itu, boleh diintervensi kewenangan kab/kota tetapi untuk memfungsionalkan kewenangan provinsi," sebutnya.
Karena itu, dia tak terima kalau dikatakan penganggaran dalam pembangunan Aceh tidak menyentuh kebutuhan riil masyarakat.
"Pemerintah ada, kan untuk masyarakat. Tidak pernah ada kebijakan pemerintah itu untuk memperkaya diri. Karena kita ada aturan mainnya semua, bingkainya ada semua. Ya sangat naif lah kalau tidak untuk rakyat," ungkapnya.
Hanya saja, tantangan pemerintah, tambahnya, ada aturan-aturan dalam penggunaan dana Otsus itu.
Sekarang misalnya, jelas Sunawardi, DOKA setelah ditransfer 40 persen ke daerah tingkat dua, kab/kota berhak merencanakannya dan menggunakannya untuk prioritas di daerahnya tapi dalam bingkai Pergub tindak lanjut dari qanun itu.
"Tidak ada ayat satupun dalam qanun itu yang tidak untuk kepentingan rakyat. Boleh menggunakan anggaran itu sesuka-suka kan tidak, ada bingkai aturannya semua."
Soal angka kemiskinan, menurut dia, kita tak hanya melihat Aceh tapi harus melihatnya secara keseluruhan. Secara nasional, ekonominya juga terpuruk. Hal ini juga disebabkan nilai tukar rupiah yang melemah atau dampak dari industri ekspor-impor.
"Sekarang kita berpikir bagaimana, apakah ini spesifik Aceh? Kan enggak. Ini spesifik nasional. Ini kasus nasional kita, nah ketika menurun itu disana juga menurun, juga ada angka penurunan-penurunan seperti itu."
Pengangguran terbuka di Aceh yang melonjak naik, kata dia, salah satunya disebabkan Aceh tak memiliki industri besar.
Ada banyak investor yang hendak bangun industri besar di Aceh, tapi banyak terkendala dengan persoalan-persoalan di lapangan.
Masih ada sisa delapan tahun bagi Aceh memaksimalkan dana Otsus. Diperpanjang atau tidak, Pemerintah harus segera menghasilkan ‘exit strategy’ untuk mendapatkan sumber pendapatan baru.
Solusi terbaik, kata pengamat ekonomi Aceh Rustam Effendi, Aceh harus memperbanyak Badan Usaha Milik Daerah. Misalnya menyebut Bank Aceh, PT Pembangunan Aceh (PEMA) yang baru dibentuk, dan BPMA (Badan Pengelolaan Migas Aceh) yang sudah menggeliat.***