Penyidik Dugaan Korupsi Beasiswa Setengah Hati, Ini Buktinya
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM - Dua tahun sudah "digali", namun statusnya belum naik. Kemampuan penyidik Tipikor Polda Aceh sedang diuji. Publik menanti apakah tim penyidik Dirreskrimsus Polda Aceh memiliki kemampuan untuk mengungkapkan kasus yang sudah dua tahun "terpendam".
Dugaan korupsi, penggelapan dana beasiswa yang bersumber dari aspirasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh, sudah didalami penyidik sejak tahun 2018. Sampai dengan Januari 2020, kasus itu belum ada kepastian, kapan akan dinaikan ke sidik (Penyidikan).
Sudah 100 saksi diperiksa. Tetapi jumlah itu belum cukup. Menurut penyidik, pihaknya harus memeriksa 800 saksi, agar kasus itu bisa ditingkatkan dari Lidik (penyelidikan) ke Sidik. Berapa tahun lagi kasus itu akan tuntas? Dua tahun berjalan, baru 100 saksi yang diminta keteranganya.
Keseriusan penyidik dalam mengungkap kasus ini dinanti publik. Pihak penyidik belum berani memasang target, kapan kasus itu akan tuntas.
Kapolda Aceh menyebutkan, kasus itu akan ditindak lanjuti. Tidak boleh ditutup tutupi, pihaknya harus professional dalam tugasnya. Kasus ini harus ada kepastian hukum, sebut Kapolda Aceh, Rio S Djambak.
Melihat jumlah saksi yang akan diminta keteranganya, menggambarkan kasus ini melibatkan banyak pihak. Baik mereka selaku pemanfaat beasiswa, pengelola dana, penghubung, dan tentunya mereka yang menyalurkan aspirasi juga akan diminta keteranganya.
Publik sudah lama meramaikan persoalan beasiswa ini. Aspirasi DPRA pada tahun 2017 dengan total bantuan yang telah disalurkan mencapai Rp 19,6 miliar kepada 803 mahasiswa penerima. Apakah semua mendapatkan bantuan yang disalurkan ini?
Inilah sumber "petaka" itu. Tidak semua beasiswa disalurkan kepada yang berhak menerima. Ada yang tersangkut di tengah jalan, bahkan ada juga yang memang tidak kebagian. Namun, berbilang juga yang mendapatkanya secara utuh.
Awalnya mereka yang akan menerima beasiswa ini jumlahnya mencapai 938 orang. Dari jumlah ini 852 merupakan usulan anggota dewan. Namun setelah dilakukan verifikasi oleh LPSDM, jumlah mahasiswa yang layak menerima beasiswa hanya 803 orang.
Mereka dari berbagai jenjang pendidikan, mulai dari D3,D4, S1, S2, dam S3, serta dokter spesialis, tersebar di lembaga penyelenggaran pendidikan (LPP) baik dalam maupun luar negeri. Anggaranya mencapai Rp 22,317,060,600. Dari nilai anggaran ini, yang terealisasi hanya Rp 19,854,000,000.
Apakah tepat sasaran dan sampai kepada yang berhak menerimanya? Bagaikan menyimpan durian, aromanya akan tercium. Ada yang menerima secara utuh, ada yang dipotong, namun ada juga yang tidak disalurkan.
Hasil verifikasi yang dilakukan Inspektorat Aceh, membuka tabir permainan ini. Dari 803 penerima beasiswa, pihak Inspektorat berhasil melakukan konfirmasi kepada 172 mahasiswa. Nilai anggaran yang sudah disalurkan hanya Rp 5.209.000.00. Sementara Rp 1.147.500.000 , belum diterima mahasiswa.
Inspektorat membuat persentase penyaluran beasiswa atas usulan dewan anggaran 2017. Dari 172 penerima yang berhasil mereka konfirmasi, sebanyak 64% tidak menerima penuh uang tersebut. Ada yang sangkut. 33% menerima penuh, dan 3% tidak menerima sama sekali.
Dana yang belum tersalurkan itu berada ditangan penghubung/ coordinator. Indikasi fiktif dalam penyaluran ini terkuak. Dari 172 yang dikonfirmasi pihak inspektorat ada indikasi 3 persen fiktif. Bagaimana dengan penerima yang tertera dalam daftar, namun tidak berhasil atau tidak dikonfirmasi?
Menurut Inspektorat Aceh, selain bantuan pendidikan tidak sepenuhnya diterima, soal rekrutmen penerima bantuan beasiswa ini juga tanpa kerjasama dengan rektorat dan lembaga penyelenggara pendidikan.
Mahasiswa menerima bantuan pendidikan ada yang tidak sepenuhnya menggunakan bantuan itu untuk mendukung penyelesaian study. Penerima bantuan ini ada yang tidak memenuhi kualifikasi, serta bantuan itu tidak sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan.
Namun walau "melanggar" aturan sesuai dengan hasil temuan Inspektorat, para penerima bantuan mendapatkanya, karena peranan penghubung. Sangat besar peranan penghubung dalam penyaluran dana beasiswa.
Siapa mereka? Apakah utusan dari mereka yang mengusulkan aspirasi ini? Publik mengetahui siapa mereka dan bukan lagi rahasia umum, bila penghubung mendapat bagian dari penyaluran beasiswa ini.
Beragam modus operandi yang dilakukan penghubung dengan penerima beasiswa. Ada dalam bentuk buku rekening dan ATM penerima dikuasai oleh penghubung. Ada versi penghubung meminta uang secara tunai kepada penerima.
Ada juga melalui transper yang dilakukan mahasiswa kepada penghubung. Namun ada juga yang nekat, penghubung membuat rekening atas nama mahasiswa tanpa sepengetahuan mahasiswa yang bersangkutan. Pemotongan yang dilakukan bervariatif dari Rp 7 juta sampai Rp 28 juta.
Pihak Inspektorat mengalami hambatan untuk menggali lebih dalam kasus ini. Rentang kendali dan sebaran mahasiswa di seluruh Indonesia dan luar negeri, salah satu kendalanya. Selain itu media komunikasi berupa nomor kontak, sudah tidak aktif lagi.
Ada juga mahasiswa yang tidak mengindahkan perintah Rektor, komunikasi mahasiswa dengan rektorat terputus. Selain itu komunikasi dengan penghubung juga sulit terbangun. Bahkan ada beban pshikologis dari mahasiswa, mereka mendapat tekanan dari pihak tertentu untuk tidak menjelaskan secara detil keadaan yang sebenarnya.
Hasil temuan itu, ahirnya membuat Inspektorat Aceh mengeluarkan rekomendasi, meminta kepada penyalur untuk mengembalikan uang tersebut ke kas daerah. Pihak Inspektorat menyerahkan persoalan itu kepada penegak hukum untuk penyelesaian selanjutnya.
Spontan hasil konfirmasi Inspektorat Aceh itu menjadi berita hangat dan ramai dibahas publik. Beragam statemen bermunculan. Pihak penyidik juga tidak tinggal diam "melacak" penyaluran dana beasiswa ini. Namun upaya yang dilakukan penyidik sejak Maret 2018 sampai saat ini belum membuahkan hasil.
Harus Tuntas
Seriuskah penyidik menyelesaikan kasus ini? Apakah mereka mampu menuntaskanya hingga ada kepastian hukum? Publik menanti jawaban dari penyidik atas kinerja mereka.
Nasrul Rizal, peneliti Jaringan Survei Inisiatif, pihkanya meminta polisi jangan setengah hati dan terkesan tidak serius menuntaskan kasus penyimpangan dana beasiswa yang seharusnya bisa cepat terselesaikan, jelas Nasrul menjawab Dialeksis.
"Kendala bukti, sangat mudah bagi aparat penegak hukum menelusuri lebih jauh dengan fakta akurat. Masa urusan teroris cepat terungkap, urusan korupsi terkesan lambat," sebut Nasrul.
Alfian dari MaTA menilai, kasus beasiswa sangat lambat dalam penanganannya. Kasus itu sudah dilacak sejak Maret 2018 dan sampai ahir Desember 2019 tidak ada perkembanganya yang berarti. Sementara saksi sudah diperiksa mencapai 100 orang.
"Kasus ini menjadi perhatian publik yang sangat serius di Aceh. Sementara kepastian hukum tidak berjalan. Padahal rakyat Aceh menunggu perkembangannya," sebut Alfian.
Menurut Alfian, kasus ini sarat konflik kepentingan. Karena pihak yang diduga terlibat adalah para politisi. Sehingga " negosiasi berjalan", kesannya Polda Aceh sengaja mengantung terhadap pengusutan kasus ini.
"Seharusnya kasus tersebut menjadi skala prioritas, mengingat dana pendidikan ini sangat berpotensi terjadi tindak pidana korupsi. Namun kenyataanya, melihat laporan ahir tahun Polda Aceh, penanganan terhadap kasus korupsi malah menurun, bila dibandingkan dengan tahun tahun sebelumnya," jelasnya.
MaTA sangat khawatir dengan kondisi tersebut, ditengah prilaku koruptif masih sangat masif terjadi dan ini sangat berdampak terhadap perkembangan pembangunan Aceh ke depan.
"Kalau polisi serius, kasus ini dapat dituntaskan tiga bulan ke depan, mengingat waktu pengusutan kasus ini sudah cukup lama. Sepatutnya pihak penyidik menargetkan waktu penyelesaianya," sebut Alfian.
Kalau penyidik Polda Aceh mengalami hambatan dalam mengungkapkan kasus ini, pihak Polda Aceh dapat meminta supervisi kepada KPK. Mengingat ketua KPK saat ini dari polisi aktif, secara koordinasi lebih mudah dilakukan, demikian penjelasan Alfian MaTA.
Aspirasi siapa?
Soal bantuan ini sudah membuat ada pihak yang iri dan kecewa. Ada yang seharusnya berhak mendapatkan beasiswa, namun mereka tidak kebagian. Karena tidak mampunya mahasiswa ini berkontak langsung dengan penghubung.
Aspirasi siapakah? Dari data yang berhasil Dialeksis rangkum, tercatat 24 anggota DPRA sebagai pengusul bantuan beasiswa ini. Diantara 24 nama itu;
Iskandar Usman Al Farlaky mengusulkan senilai Rp 7,930 miliar untuk 341 penerima beasiswa. Dedi Safrizal, Rp 4,965 miliar (221 penerima). Rusli senilai Rp 1,045 miliar untuk 42 penerima. M Saleh, Rp 1,470 miliar untuk 54 mahasiswa.
Adam Mukhlis Rp 180 juta untuk 8 penerima. Tgk Saifuddin Rp 500 juta untuk 19 orang. Asib Amin Rp 109 juta untuk 8 orang. T Hardarsyah Rp 222 juta untuk 10 orang. Zulfadhli Rp 100 juta untuk 4 orang. Siti Nahziah Rp 120 juta untuk 9 mahasiswa, Muhibbussubri Rp 135 juta untuk 21 penerima.
Ada nama Jamidin Hamdani Rp 500 juta untuk 16 penerima, Hendriyono Rp 204,7 juta untuk 25 orang. Yahdi Hasan Rp 534,4 juta untuk 18 orang. Zulfikar Lidan Rp 90 juta untuk 3 orang, Amiruddin Rp 58 juta untuk 2 orang. Ummi Kalsum Rp 220 juta untuk 9 mahasiswa. Jamaluddin T Muku Rp 490 juta untuk 14 orang, Muhibbussabri Rp 440 juta untuk 13 mahasiswa.
Sulaiman Abda Rp 375 juta untuk 6 mahasiswa. Muharuddin Rp 50 juta untuk 2 orang, Asrizal H Asnawi Rp 80 juta untuk 2 mahasiswa. Azhari Rp 130 juta untuk 4 orang, Musannif Rp 30 juta untuk 1 orang. Sementara nilai dari non aspirator, nilanya mencapai Rp 2,317 miliar untuk 86 mahasiswa.
Namun setelah dilakukan verifikasi oleh LPSDM, mahasiswa yang layak menerima beasiswa hanya 803, bukan seperti usulan awal yang mencapai 838 penerima bantuan beasiswa. Anggaranya mencapai Rp 22,317,060,600. Dari nilai itu yang tersalurkan, Rp 19,854,000.000.
Walau aspirasi dan penyaluran itu di tahun 2017, namun sampai dengan tahun 2020 persoalan beasiswa ini masih meninggalkan masalah. Ada balutan hukum didalamnya yang harus dituntaskan.
Pihak penyidik Polda Aceh sudah menanganinya sejak Maret 2018. Hasilnya belum ada perkembangan yang berarti. Statusnya masih sama seperti awal penanganan kasus. Baru tahap penyelidikan (Lidik), belum masuk ke tahap penyidikan (Sidik).
Saksi sudah diminta keteranganya, menurut Kapolda Aceh, Irjen Pol. Rio Saptianda Djambak, dalam keterangan Persnya diahir tahun 2019. Pihaknya akan menindak lanjuti kasus dugaan korupsi beasiswa ini.
"Tidak boleh ditutup tutupi, polisi professional dalam tugasnya. Kasus ini harus ada kepastian hukum," sebut Kapolda Aceh, Rio S Djambak. Namun Kapolda dalam keterangan Persnya tidak menargetkan kapan kasus itu dapat diselesaikan pihaknya.
Publik kini menanti kinerja polisi dalam mengungkap kasus ini, agar ada kepastian hukum. Kemampuan dan kemauan polisi kini diuji. Profesionalkah mereka dalam mengungkap kasus ini. Waktu yang akan menjawabnya, sampai kapan kasus ini dapat diselesaikan? (Bahtiar Gayo)