Kamis, 25 September 2025
Beranda / Liputan Khusus / Indepth / Program Makan Bergizi Gratis Diterpa Masalah: Ribuan Keracunan hingga Standar Gizi Dipertanyakan

Program Makan Bergizi Gratis Diterpa Masalah: Ribuan Keracunan hingga Standar Gizi Dipertanyakan

Kamis, 25 September 2025 11:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Arn

Seorang petugas memperlihatkan menu uji coba Makan Bergizi Gratis. Foto: Antara/Rio Feisal 


DIALEKSIS.COM | Jakarta - Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digadang sebagai proyek unggulan pemerintah untuk meningkatkan kualitas gizi anak bangsa kini menghadapi sorotan tajam. 

Sejak diluncurkan pada awal 2025, pelaksanaannya di berbagai daerah diwarnai persoalan serius: kasus keracunan massal, menu yang jauh dari standar gizi, hingga pelayanan yang tidak konsisten. Pertanyaan pun mengemuka: apakah program ini layak dilanjutkan atau perlu dihentikan sementara untuk evaluasi total?

Sejak Januari hingga pertengahan September 2025, pemerintah mencatat lebih dari 5.000 siswa menjadi korban keracunan di berbagai daerah. Data Kementerian Kesehatan, Badan Gizi Nasional (BGN), dan BPOM menunjukkan variasi angka, namun seluruhnya di atas 5 ribu kasus. Jawa Barat tercatat sebagai provinsi dengan jumlah kasus terbanyak.

Puncaknya terjadi di Bandung Barat. Pada 22 September 2025, ratusan siswa di Kecamatan Cipongkor dilarikan ke puskesmas dan rumah sakit setelah menyantap menu MBG. Total 364 anak dari PAUD hingga SMA – mengalami gejala mual, pusing, hingga sebagian kejang. Bupati Bandung Barat, Riden R. Iskandar, langsung menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB) dan menutup dapur MBG setempat untuk penyelidikan.

Di luar catatan resmi, Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) melaporkan lebih dari 6.400 kasus sepanjang Januari - September. Koordinator JPPI, Ubaid Matraji, bahkan menyebut kemungkinan angka lebih besar karena banyak kasus tidak dilaporkan. Ia menyindir, “Emang B itu bukan bergizi, melainkan beracun.â€

Kepala Staf Presiden, M. Qodari, menyebut faktor utama keracunan berkaitan dengan higienitas makanan: suhu penyimpanan yang tidak terjaga, kontaminasi silang, hingga kelalaian petugas dapur. Sebagian kecil dipicu alergi siswa. 

“Masalahnya ada pada implementasi di lapangan, bukan konsep programnya,†tegas Qodari.

Selain keracunan, menu MBG banyak dikritik. Meski dirancang terdiri dari nasi, lauk-pauk, sayur, dan buah, implementasinya sering kali jauh dari seimbang. Beberapa siswa mengaku hanya menerima susu encer tanpa makanan pendamping, atau menu yang monoton dari hari ke hari.

Di Palembang, seorang murid kelas 4 SD mengeluh lauk ikan yang disajikan terlalu kecil dan rasanya aneh. Di Semarang, siswi SMP bernama Sabrina mengatakan porsi sayur terlalu sedikit. “Ayamnya enak, tapi porsinya kurang. Harusnya wortel ditambah,†ujarnya. Sebaliknya, di Medan, siswa lain menilai porsinya banyak dan cukup enak. Perbedaan pengalaman ini menunjukkan ketidakkonsistenan kualitas antarwilayah.

Kasus lain terjadi di Tangerang Selatan. Menjelang libur pertengahan tahun, siswa justru menerima paket bahan mentah beras, ikan asin, telur puyuh, hingga makanan ringan dalam kemasan untuk jatah lima hari. Orang tua menilai kebijakan ini keliru karena jelas tidak sesuai konsep makanan bergizi siap santap.

“Seharusnya anak-anak tetap dibiasakan makan lauk dan sayur, bukan camilan,†ujar Merina, salah satu wali murid.

Lebih parah, sebuah SMP di Sumbawa Barat kedapatan menyajikan menu MBG tercemar belatung. Foto makanan berbelatung yang beredar memicu kecaman publik. Penyedia katering mengaku lalai dalam pengolahan, sementara sekolah diduga sempat diminta menyembunyikan insiden tersebut agar tidak viral.

Kendala juga muncul sejak awal peluncuran. Sumatera Barat misalnya, gagal memulai MBG pada 6 Januari karena dapur umum belum siap. Gubernur Mahyeldi mengakui perlengkapan masak tidak memadai, sehingga pelaksanaan diundur. Baru sebagian kecil daerah seperti Pariaman yang sempat uji coba.

Distribusi makanan juga tidak seragam. Ada sekolah yang harus menunggu hingga tiga jam karena jumlah wadah terbatas. Siswa mengaku makanan dibagikan estafet dari kelas ke kelas. Banyak pula sekolah yang melarang murid memotret atau mengunggah menu ke media sosial, diduga untuk menutupi kekurangan.

Data Kementerian Kesehatan menambah keprihatinan. Dari 8.583 dapur MBG atau Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG), hanya 34 dapur (0,4%) yang memiliki Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS). Mayoritas dapur bahkan belum memiliki SOP keamanan pangan. Fakta ini menunjukkan ketidaksiapan infrastruktur dan lemahnya pengawasan mutu.

Gelombang kasus membuat Koalisi Kawal MBG mendesak Presiden Prabowo untuk moratorium program. Mereka menilai keselamatan siswa lebih penting ketimbang mempertahankan program yang belum matang. 

“Butuh berapa anak lagi keracunan sampai pemerintah menghentikan sementara?†tulis koalisi dalam pernyataan resminya.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga menyuarakan keprihatinan. Setiap kasus keracunan, menurut KPAI, adalah alarm bahaya yang tidak boleh diabaikan. Sejumlah pakar gizi pun mendukung evaluasi total.

Namun, sebagian pihak menolak opsi penghentian. Dr. Ahsanul Khalik, Ketua Satgas MBG NTB, menyebut moratorium justru merugikan jutaan anak yang sudah mulai terbantu. 

“Apakah kesalahan di beberapa titik harus menutup semua dapur di seluruh negeri? Saya percaya jawabannya tidak,†katanya. Menurutnya, langkah lebih tepat adalah membenahi sambil berjalan.

Sikap serupa datang dari Ketua DPR RI Puan Maharani. Ia menegaskan program MBG tidak boleh berhenti, tapi harus diawasi ketat. DPR berjanji mengawal evaluasi menyeluruh, dari dapur produksi hingga distribusi di sekolah. Opsi menyerahkan pengelolaan ke sekolah juga mulai dipertimbangkan agar kontrol lebih dekat dan cepat.

Pemerintah pusat kini fokus pada perbaikan. BGN bersama BPOM menerbitkan standar keamanan pangan baru. Kementerian Kesehatan mempercepat sertifikasi higienitas dapur. Beberapa kontraktor yang lalai diputus kontraknya. Ombudsman RI ikut mengawasi agar tidak terjadi maladministrasi.

Upaya lain meliputi pelibatan UMKM pangan lokal sebagai pemasok bahan segar dan perekrutan ahli gizi di dapur percontohan. Standar porsi juga diperbaiki: menambah protein hewani dan sayuran dalam menu harian. BSN bahkan menetapkan standar nampan khusus stainless steel agar penyajian lebih higienis.

Langkah-langkah ini diharapkan mampu menekan kasus keracunan dan memperbaiki kualitas gizi. 

“PR terbesar adalah memastikan aturan dijalankan di lapangan,†tegas Qodari.

Program MBG adalah proyek strategis Presiden Prabowo dan Wakil Presiden Gibran. Targetnya menjangkau 15-16 juta penerima manfaat: siswa sekolah, balita, ibu hamil hingga menyusui. Dengan visi besar melahirkan Generasi Emas 2045, skala program ini luar biasa. Namun, kegagalan implementasi berisiko meruntuhkan kepercayaan publik.

Pilihan pemerintah kini seperti buah simalakama. Menghentikan sementara bisa meredakan kekhawatiran, tapi anak-anak miskin kehilangan sumber nutrisi harian. Melanjutkan tanpa perbaikan hanya akan menambah korban. Untuk saat ini, pemerintah memilih opsi kedua: tetap berjalan dengan evaluasi berlapis.

Nasib MBG akan ditentukan dalam beberapa bulan ke depan. Jika perbaikan berhasil, program ini bisa tetap menjadi andalan mengatasi gizi buruk nasional. Namun jika masalah berulang, desakan moratorium bisa kian tak terbendung. Publik menuntut transparansi, pengawasan ketat, dan tanggung jawab nyata.

Program yang seharusnya membawa harapan jangan sampai berubah menjadi ancaman. Generasi muda Indonesia layak mendapatkan makanan yang aman, sehat, dan bergizi bukan sekadar janji politik.[arn]

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
bpka - maulid