kip lhok
Beranda / Liputan Khusus / Indepth / RUU Polri Benarkah Untuk Reformasi Atau Superbody?

RUU Polri Benarkah Untuk Reformasi Atau Superbody?

Kamis, 25 Juli 2024 17:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Bahtiar Gayo

Jaringan Survei Indonesia (JSI) menggelar sebuah pertemuan untuk mendiskusikan dan menganalisa tentang RUU Polri, Selasa (23/7/2024) di salah satu cafe di Banda Aceh. [Foto: dok. JSI]


DIALEKSIS.COM | Indepth - Publik di Bumi Pertiwi saat ini sedang dihangatkan dengan rencana pembahasan RUU Polri. Presiden Joko Widodo sudah menugaskan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Hadi Tjahjanto untuk memimpin penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) tersebut.

Rencana ini mendapat perhatian dari publik di seluruh penjuru nusantara, tidak ketinggalan Aceh. Berbagai pendapat bermunculan, intinya publik menginginkan pelayanan negara yang baik terhadap rakyatnya, mengoptimalkan tugas dan fungsi  Polri, bukan mengandalkan kekuatan untuk sebuah kekuasaan.

Apakah tepat RUU itu untuk dibahas, apakah RUU ini akan memberikan dampak kenyaman dan sangat bermanfaat kepada publik, atau sebagai ajang kekuasan untuk “mengepakan sayap” intitusi negara ini. Publik membahasnya.

Di Aceh misalnya, Jaringan Survei Indonesia (JSI) menggelar sebuah pertemuan untuk mendiskusikan dan menganalisa tentang RUU Polri ini. Kegiatan FGD ini berlangsung disalah satu cafe di Moorden Café, Pango Raya, Ule Kareng, Banda Aceh.

Menurut Ratnalia Indriasari, direktur JSI, pihaknya sengaja mengundang berbagai elemen untuk menjadi sumber dalam FGD ini. Ada Ridwan Hadi, SH, MH (ketua Presedium JaDi Aceh), Sepriady Utama (kepala Komnas HAM Aceh), Dr. Otto Syamsuddin Ishak (Sosiolog dan akademisi USK), Adi Warsidi (wartawan senior), Arman Fauzi (ketua Komisi Informasi Aceh).

Selanjutnya, Hendra Budian (Mantan Anggota DPRA), Putri Nofriza,S.Si. M.Si (Komisioner KPIA), Azharul Husna (Koordinator Kontras Aceh), Aryos Nivada (Dosen Fisip USK), Akbar Anzulai (Ketua Ikatan Mahasiwa Kota Banda Aceh), untuk moderator dipercayakan kepada Tgk. Akmal Abzal, S.Hi.

Dalam pengantarnya JSI sudah menyiapkan sebuah naskah kajian yang cukup panjang tentang rencana undang undang ini. Menurut Ada beberapa aspek utama yang menjadi fokus perhatian dalam peninjauan RUU,meliputi:

Pertama relasi dan tumpang tindih tupoksi lintas institusi, beberapa pasal dalam UU No. 2 Tahun 2002, telah menciptakan tumpang tindih kewenangan antara Kepolisian dengan institusi penegak hukum lainnya, seperti Kejaksaan, KPK, dan Bea Cukai.

Hal ini sering kali menimbulkan konflik kewenangan dan menghambat proses penegakan hukum yang efektif. RUU perlu mengaddress isu ini dengan memperjelas batasan kewenangan dan mekanisme koordinasi antar lembaga.

Kedua, Perlindungan Hak Asasi Manusia Implementasi UU No. 2 Tahun 2002, telah memunculkan berbagai kasus pelanggaran HAM oleh oknum kepolisian, termasuk penggunaan kekerasan berlebihan, penangkapan sewenang-wenang, dan penahanan yang tidak sah.

RUU harus mempertegas komitmen terhadap perlindungan HAM dengan memasukkan klausul-klausul yang lebih eksplisit tentang batasan penggunaan kekuatan dan mekanisme pertanggungjawaban.

Ketiga, perluasan Otoritas Kepolisian Beberapa pasal dalam UU yang ada telah memberikan kewenangan yang terlalu luas kepada Kepolisian, terutama dalam hal penyelidikan dan penyidikan. Hal ini berpotensi disalahgunakan dan dapat mengancam prinsip checks and balances dalam sistem peradilan pidana. RUU perlu mengkaji ulang dan membatasi kewenangan yang berlebihan ini.

Keempat, perilaku menyimpang oknum kepolisian. Maraknya kasus pelanggaran etik dan pidana yang melibatkan oknum kepolisian menunjukkan adanya kelemahan dalam sistem pengawasan internal dan mekanisme penegakan disiplin. RUU harus memasukkan pasal-pasal yang memperkuat sistem pengawasan, baik internal maupun eksternal, serta memperketat sanksi bagi pelanggar.

Kelima, profesionalisme dan akuntabilitas UU yang ada belum secara memadai mengatur standar profesionalisme dan mekanisme akuntabilitas yang kuat bagi anggota kepolisian. RUU perlu memasukkan ketentuan yang lebih tegas mengenai standar rekrutmen, pendidikan, dan pengembangan karir yang berbasis pada merit dan integritas.

Selanjutnya, Independensi Kepolisian Beberapa pasal dalam UU No. 2 Tahun 2002 masih membuka celah bagi intervensi politik terhadap institusi Kepolisian. RUU harus memperkuat jaminan independensi Kepolisian, terutama dalam hal penunjukan pimpinan dan pengambilan keputusan operasional.

Selain itu persoalan transparansi dan partisipasi publik terhadap UU yang ada belum secara optimal mengakomodasi keterlibatan publik dalam pengawasan kinerja Kepolisian. RUU perlu memasukkan mekanisme yang lebih jelas untuk transparansi dan partisipasi masyarakat dalam fungsi-fungsi kepolisian.

Tim penulis JSI yang sudah menyiapkan bahan untuk FGD ini, dalam makalahnya menguraikan tentang kepolisian diberbagai belahan negara, termasuk Pertiwi di dalamnya.

JSI menuliskan, secara umum terdapat tiga sistem kepolisian yang digunakan dalam sistem negara demokratis, yaitu Sistem Kepolisian Terpisah (Fragmented System of Policing), Sistem Kepolisian Terpusat (Centralized System of Policing) dan Sistem Kepolisian Terpadu (Integrated System of Policing).

Ketiga sistem tersebut sangat dipengaruhi dua model besar penerapan hukum di dunia, yaitu model Eropa Kontinental atau civil law.

Sistem kepolisian di Indonesia menggunakan paradigma Centralized System of Policing, yaitu suatu sistem kepolisian yang terpusat/sentralisasi di mana sistem kepolisian berada di bawah kendali atau pengawasan langsung oleh pemerintah pusat.

Sistem ini secara filosofi mengadopsi dari rezim sistem pemerintahan yang totaliter seperti Jerman pada era Nazi. Negara-negara yang menganut sistem kepolisian ini selain Indonesia, antara lain: Perancis, Italia, Finlandia, Israel, Thailand, Taiwan, Irlandia, Denmark dan Swedia.

Kelemahan dari sistem ini, antara lain; cenderung dijauhi/kurang didukung masyarakat karena cenderung lebih memihak kepada penguasa. Hal ini dikarenakan lembaga kepolisian dalam negara dengan sistem kepolisian terpusat muncul dari adanya kepentingan negara akan perlunya suatu lembaga kepolisian, sehingga terjadi kecenderungan dimana lembaga kepolisian akan menjadi alat kekuasaan daripada menjadi pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat.

Berangkat dari sinilah, perancang undang undang, dalam hal ini anggota legislatif di Senayan merasa perlu untuk melakukan reformasi dalam institusi Polri melalui revisi UU Polri.

Akan tetapi Draft Revisi Rancangan Undang-Undang Perubahan Ketiga atas UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (RUU Polri) sebagai usul inisiatif DPR memicu polemik di kalangan elemen masyarakat sipil.

Revisi tersebut dinilai bukan justru mereformasi lembaga Polri ke arah lebih baik, justru berpotensi membuat Polri sebagai lembaga Superbody sekaligus berpotensi mengancam ruang gerak masyarakat sipil. Mulai dari penggalangan intelijen, pembinaan, pengawasan, serta pengamanan di ruang siber, hingga penyadapan.

Dalam paparanya JSI menambahkan, sementara itu disadari bahwa perubahan terhadap UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri) sudah mendesak.

Pertama, UU Polri sudah berusia dua dekade lebih. Kedua, dalam perkembangannya kelembagaan Institusi Polri mengalami degradasi visi dan misi dari filosofi eksistensi Polri itu sendiri. institusi Polri telah menjadi aktor monopoli kekerasan, pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), maladministrasi, penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) hingga praktik-praktik korupsi.

Belum lekang ingatan publik akan kasus Sambo yang menggemparkan rakyat Indonesia. Dimana institusi Polri telah menjadi semacam alat pelanggengan budaya kekerasan, sekaligus melegitimasi superioritas perwira tinggi vis a vis polisi dengan pangkat rendah. Pada akhirnya Polri menjadi semacam lembaga tempat berkumpul “preman sipil” yang dipersenjatai oleh negara.

Padahal sedari awal pasca reformasi, secara filosofi pemisahan TNI dan Polri melalui Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2000, dalam rangka memunculkan konsepsi kepolisian sipil atau polisi berwatak sipil.

Yaitu sistem penyelenggaraan perpolisian yang berpihak kepada masyarakat dengan doktrin utama memerangi kejahatan, memelihara ketertiban masyarakat, serta melindungi warga yang mempunyai konsekuensi bahwa masyarakat menjadi pusat atau titik awal sekaligus titik akhir dari totalitas pengabdiannya.

Pernyataan dan Harapan

Menurut Indri, panggilan akrab direktur JSI ini, pihaknya sengaja membuat komposisi peserta diskusi untuk memastikan adanya diskusi yang komprehensif dan seimbang dari berbagai latarbelakang jabatan maupun keahlian. Dalam diskusi itu terungkap keinginan publik terhadap RUU ini, mari kita simak resume dari FGD ini.

Ridwan Hadi, SH, MH (Ketua Presidium Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDI) Aceh), lebih menekankan tentang persoalan yudikatif atau penegakan hukum. Menurutnya, kalau mau reformasi APH idealnya kolektif pada polisi, jaksa, hakim dan advokat. Jika reformasi kepolisian maka cukup reformasi Kapolri saja.

Menurutnya, ironi ketika peran APH lain saat korban berdamai dengan polisi. Seperti kasus Aceh Utara yang berdamai dengan nominal, atau kasus Vina Cerebon.

Ridwan menjelaskan, adanya tumpah tindih tupoksi antar polisi, BIN dan Bais termasuk juga dengan Polisi Syariah terhadap kasus jarimah. Sementara untuk kasus TPPU idealnya jaksa melakukan penyidikan, namun polisi juga melakukan penyidikan. Demikian juga ada pasal dalam UU, polisi dapat lakukan apapun terhadap pelanggaran siber, jelasnya.

Sementara itu, Sepriady Utama (Kepala Kantor Komnas HAM Aceh) menjelaskan, penting untuk mempertimbangkan sistem kepolisian yang terpisah yang memungkinkan semua instansi penegak hukum untuk menjalankan fungsinya secara mandiri, saling mengawasi dan menempatkan APH dan penyidik lainnya di bawah Jaksa Agung.

Sementara Komnas HAM terus bersuara lantang untuk menghargai hak azasi manusia, namun diantara mereka ada yang peduli, ada juga yang tidak mau tahu. Untuk itu perlu dipertimbangkan kepolisian yang terpisah, untuk saling mengawasi dan mempunyai fungsi penyelidikan mandiri.

Menurutnya, bisa diwacanakan APH berada di bawah Jaksa Agung, agar ada sinkronisasi. Melihat RUU yang akan dibahas ini, seharusnya DPR tidak serta merta mensahkan UU, tanpa menerima masukan dari berbagai pihak. Menurutnya, RUU selayaknya dibahas oleh Pemerintahan baru.

Bagaimana pandangan sosiolog? Menurut Dr. Otto Syamsuddin Ishak (sosiolog dan akademisi USK), dalam diskusi ini menyebutkan rasa mirisnya. Ditengah upaya penegakan hukum oleh aparat penegak hukum ( polisi, jaksa, hakim dan lembaga terkaitnya) ternyata pelanggaran hukum justru nyaris masif dilakukan oleh APH tersebut.

Indikasi UU nomor 2 ini, tajam ke bawah atau para oknum polisi merasa bahwa UU tersebut tidaklah berat sanksinya, sehingga UU sangat urgen untuk direvisi sedini mungkin.

Otto menilai, rezim berjalan saat sekarang ini sedang mempertontonkan ketidaktahuanya urgensi review, baik ditingkat lokal maupun nasional dalam mencegah mencegah kerakusan rezim. Aspek yuridis banyak hal yang terjadi pelanggaran hukum.

Selanjutnya Sosiolog ini lebih menekankan tentang penegakan HAM masa lalu di Aceh. Karena penegakan HAM itu tidak ada kaitan dengan kepolisian. Demikian juga dengan persoalan pelanggaran syariah, tidak jelas posisi polisi dan WH dalam persoalan pelanggaran syariah Islam di Aceh.

Untuk itu menurut Otto, perlu kajian filosofi, sosiologis dan yuridis kaitan dengan Aceh dalam menyusun RUU, perlu melibatkan keterkaitan antar institusi. Masukan orang Aceh dalam pembahasa RUU, karena Aceh memiliki ciri khas sebagai daerah otonom dan syariah.

Sementara itu Adi Warsidi, Wartawan senior dalam FGD itu menyebutkan, dia menolak revisi RUU ini jika memperluas wewenang kepolisian. Dia juga menjelaskan, saban tahun polisi mendapat peringkat paling atas pelanggaran HAM dan diadukan warga.

Menyinggung soal wewenang aturan siber, Adi Warsidi menyebutkan, wewenang mengawasi dan memblokir dengan aturan siber rentan memutuskan peran wartawan dalam menentukan fakta atau hoak.

Dia juga mempertanyakan wewenang penyadapan tanpa perlu izin. Serta persoalan lainya yang disentil Adi Warsidi, seperti masih adanya tumpang tindik dengan lembaga terkait. Wartawan senior ini juga mengungkapkan salah satu kasus di Aceh, yakni kasus keuchik Munirwan Aceh Utara yang berujung tanpa closing.

Sementara itu, Arman Fauzi (Ketua Komisi Informasi Aceh) menyebutkan, hingga saat ini kepolisian belum tercapai kualifikasi sebagai lembaga infomatif publik. Menyinggung soal RUU yang akan dibahas dan disahkan ini, dia meminta untuk tidak terburu-buru mensahkan RUU ini.

Karena menurutnya, RUU ini momentum konsolidasi sipil dalam memberi warna UU kepolisian ke depan, UU mampu memisahkan antara penegakan hukum dengan pelayanan keamanan.

Sementara itu, Putri Nofriza, S.Si, M.Si (Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Aceh) menilai, kewenangan polisi seluas langit dan bumi, namun kontrolnya terbatas. Selain itu dia menambahkan idealnya ada satu sistem digital mereport kasus per kasus telah sampai dimana prosesnya dan bisa online.

Demikian dengan Azharul Husna (Koordinator KontraS Aceh), dia mengkhawatirkan lemahnya pengawasan. Pasca reformasi ideal sudah menjadi polisi sipil, namun kenyataanya dilapangan belum mengambarkan prilaku polisi sipil, oknum oknum di lapangan masih belum menerapkanya.

Menurutnya, perluasan otoritas kepolisian dalam beberapa pasal UU, telah memberikan kewenangan yang terlalu luas kepada Kepolisian, terutama dalam hal penyelidikan dan penyidikan. Hal ini berpotensi disalahgunakan dan dapat mengancam prinsip checks and balances dalam sistem peradilan pidana.

Bagaimana pendapat dosen FISIP USK? Menurut Aryos Nivada, maraknya kasus pelanggaran etik dan pidana yang melibatkan oknum kepolisian menunjukkan adanya kelemahan dalam sistem pengawasan internal dan mekanisme penegakan disiplin.

Seharuslah RUU yang memperketat prilaku atau memagari kelemahan itu, dengan mengedepankan pertegasan norma etik. Kewenangan polisi terlalu luas, padahal esensinya kepolisian adalah pemberi keamanan pada warga.

Untuk itu menurut Aryos, perlu adanya evalusai dan kritik konstruktif terhadap management, kultur dan kekuasaan, agar ke depanya polisi menjadi polisi sipil yang baik.

Akbar Anzulai ((Ketua Ikatan Mahasiswa Kota Banda Aceh (Ikamba)) dalam FGD itu menyebutkan, pendapatnya hampir sama dengan beberapa nara sumber lainya. Dia juga menyebutkan kebebasan berpendapat akan dihilangkan, ketika UU membatasi pendapat via Siber.

Sementara itu, Hendra Budian menyebutkan, Polisi mesti diperbaiki secara institusional. Bahkan jika mau sportif, banyak lembaga mesti diperbaiki. Dia berharap idealnya keberadaan polisi hingga tingkat desa mampu mendorong peningkatan pembangunan desa.

Namun ironinya, sebut Hendra, banyak kades yang ditangkap walau di desa sudah ada polisi yang setiap saat ikut berkecimpung dalam desa sebagai Bhabinkamtibmas.

Hendra juga menyinggung lazimnya setiap pengesahan RUU identik dengan pasal-pasal karet untuk kepentingan tertentu.

Kesimpulan

Diskusi yang hangat ini telah memunculkan beragam perspektif dan masukan tentang RUU Polri. Tentunya semua berharap masukan dan pertimbangan itu menjadi bahan masukan kepada mereka yang akan mengambil kebijakan dalam mengesahkan UU,

Diantara sejumlah gagasan, ide dan kritikan yang bermunculan, ada beberapa poin yang menjadi kesimpulan dalam diskusi yang diselenggarakan JSI ini, antara lain;

Ssoal tumpang tindih kewenangan. Perlunya klarifikasi batasan kewenangan antara Polri dengan institusi penegak hukum lainnya untuk menghindari konflik dan memperlancar proses penegakan hukum.

Soal perlindungan HAM menjadi poin kedua, RUU perlu memperkuat perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) dengan memasukkan klausul yang lebih eksplisit tentang batasan penggunaan kekuatan dan pertanggungjawaban yang lebih jelas.

Selain itu soal otoritas Kepolisian. Perlu dilakukan evaluasi ulang terhadap kewenangan yang terlalu luas yang dapat disalahgunakan, sehingga mengancam prinsip checks and balances dalam sistem peradilan pidana.

Tidak kalah menariknya pengawasan dan disiplin. FGD ini berharap agar memperkuat sistem pengawasan internal dan eksternal, serta memperketat sanksi terhadap pelanggaran etik dan pidana oleh oknum kepolisian.

Demikian dengan persoalan profesionalisme dan akuntabilitas, harus dimasukan ketentuan yang lebih tegas mengenai standar rekrutmen, pendidikan, dan pengembangan karir yang berbasis pada merit dan integritas.

Selain itu juga dipersoalkan masalah independensi. Publik berharap diperkuatnya jaminan independensi Polri, terutama dalam hal penunjukan pimpinan dan pengambilan keputusan operasional, untuk menghindari intervensi politik.

Tidak kalah pentingnya soal transparansi dan partisipasi publik, sebuah harapan agar memasukkan mekanisme yang lebih jelas untuk meningkatkan transparansi dan partisipasi masyarakat dalam fungsi-fungsi kepolisian.

Dengan mempertimbangkan semua masukan tersebut, revisi RUU Polri perlu dilakukan secara komprehensif dan hati-hati. Tujuanya hanya satu untuk memastikan bahwa perubahan yang diusulkan benar-benar mampu meningkatkan efektivitas, profesionalisme, dan akuntabilitas Polri dalam menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum yang adil dan berintegritas.

Kiranya mereka yang mengambil kebijakan dalam mengesahkan RUU menjadi UU, mendengar suara publik, mendengarkan suara rakyat, karena negeri ini milik bersama, milik rakyat, bukan milik mereka yang memegang kekuasan. [bg]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda