Seluk Beluk Teroris di Aceh
Font: Ukuran: - +
Reporter : Baga
Ilustrasi teroris. Foto: iStockphoto
DIALEKSIS.COM | Dialektika - Dua tahun silam, tepatnya 13 November 2019 di Polrestabes Medan, ada serangan bom bunuh diri. Rabbial Muslim Nasution meledakan dirinya setelah pemicu bom ditubuhnya beraksi. Aksi teroris meramaikan pembahasan di negeri ini.
Menurut pihak kepolisian, aksi itu didalangi Salman Alfarazih yang merupakan ketua JAD (Jamaah Ansharut Daulah) Belawan. Salman sempat melarikan diri dan di sebuah rumah di Desa Brandang, Tanjung Gunteng, Ranto Peureulak, Aceh Timur. Ketua JAD Belawan ini ahirnya ditangkap pada 26 November 2019.
Kini di minggu ketiga Juli 2022, penangkapan teroris kembali menjadi pembahasan hangat. Penangkapanya berlangsung di Bumi Aceh. Ada 13 orang yang diamankan pihak Densus 88 Antiteror.
Menurut Kepala Biro Penerangan (Karopenmas) Polri, brigjen Ahmad Ramadhan, 13 orang yang ditangkap itu merupakan pendukung Jemaah Islamiyah (JI) dan Jamaah Ansharut Daulah (JAD).11 diantaranya diduga terafiliasi dengan kelompok jaringan terorisme JI, sementara dua tersangka lainnya berasal dari kelompok JAD.
Mereka ditangkap di tempat terpisah di beberapa wilayah Aceh. Ada yang ditangkap di Aceh Besar dan Tamiang. Walu pihak penyidik belum memberikan keterangan resmi kronologi penangkapan itu, namun dari 13 yang ditangkap itu semuanya berlokasi di Aceh di tempat terpisah.
Di Bireun misalnya, seperti yang ditayangkan Dialeksis.com sebelumnya, Pihak Datasemen (Densus) 88 Kepolisian Repubik Indonesia (Polri) melakukan pengeledahan rumah terduga terorisme, MA (37) di Gampong Pante Gajah, Kecamatan Peusangan, Kabupaten Bireuen, Sabtu (23/7/2022).
Di Tamiang diperkirakan ada 8 orang ditangkap tim Datasemen Khusus (Densus) 88 Antiiteror karena diduga terlibat jaringan terorisme.
Mereka ditangkap di sejumlah desa di Kecamatan Rantau, Kejuruan Muda dan Kecamatan Karang Baru Kabupaten Aceh Tamiang, Jumat (27/7/2022).
Kedelapan terduga teroris itu kemudian dibawa tim Densus 88 Antiteror ke Polres Aceh Tamiang untuk dilakukan pengembangan dan pemeriksaan lebih lanjut.
Kapolres Aceh Tamiang AKBP Imam Asfali yang dikonfirmasi Dialeksis.com via seluler membenarkan ada 8 warga Aceh Tamiang yang diamankan petugas Densus 88 Mabes Polri.
"Benar, namun untuk identitas maupun inisial para terduga teroris tersebut saya belum mengetahuinya," kata Kapolres.
Lima lainya menurut informasi yang berhasil Dialeksis.com dapatkan, ditangkap di walayah Blang Bintang, Aceh Besar.
"Densus 88 Antiteror Polri melakukan penegakan hukum sebagai upaya pencegahan tindak pidana terorisme terhadap 2 kelompok terorisme, JI 11 orang dan JAD 2 orang," kara Karo Penmas Divhumas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan kepada wartawan, Jumat (22/7/2022).
Dari 13 terduga teroris ini, 11 diantaranya merupakan tersangka teroris merupakan jaringan JI, yaitu berinisial ES, RU, DN, JU, SY, MF, RS, FE, SU, AKJ, dan MH. Sementara, dua tersangka teroris lainnya berasal dari jaringan JAD, yakni berinisial RI dan MA.
Menurut Ramadhan,para tersangka teroris tersebut memiliki beragam peran. Mereka diduga memiliki faktor kedekatan dengan kelompok yang melakukan pengeboman di Mapolrestabes Medan 2019 lalu.
Mereka masih satu jaringan dengan Bom Mapolresta Medan. Namun para terduga teroris ini tidak terlibat langsung dalam serangan di Mapolrestabes Medan pada November dua tahun silam.
"Mereka hanya satu pemahaman saja dengan kelompok yang ditangkap karena bom Mapolresta Medan. Tidak terlibat langsung, mereka punya ideologi yang sama. Karena afiliasi mereka ke ISIS," ungkap Kombes.Pol. Winardy, Kabid Humas Polda Aceh dalam keteranganya kepada media.
Polisi masih mendalami rencana yang bakal digencarkan oleh kelompok tersebut.Mereka bakal terbang dan hijrah ke Afghanistan untuk bergabung dengan kelompok ISIS. Masih dilakukan pendalaman pemeriksaan namun secara umum mereka akan melakukan teror di wilayah Aceh," Winardy.
"Paspor-paspor milik terduga teroris juga ditemukan untuk melaksanakan Hijrah ke Khurasan, Afghanistan," ujar Winardy.
Densus 88 mengamankan sejumlah barang bukti seperti bahan pembuat bom berisi 1 Kg pupuk Kalium Nitrat, 250 gram bubuk arang aktif, 1 botol berisi 2 ribu peluru gotri silver dengan kaliber 6 mm, beberapa potongan besi yang diduga sebagai alat pembuat bom, dan dokumen-dokumen teror lainnya, serta beberapa buku kajian ISIS dan Tauhid serta compact disk dan flash disk.
Pihak Densus 88 juga mengamankan beberapa alat yang digunakan selama proses latihan idad atau latihan persiapan aksi teror seperti samsak tinju, besi, busur panah, dan beberapa barbel.
Teroris mengikuti perkembangan jaman, jumlah mereka juga dari hari ke hari mengalami penambahan. Ketika Kapolri RI dijabat Jenderal Drs. Badrodin Haiti, pernah dikeluarkan surat tentang jumlah teroris yang berasal dari berbagai belahan dunia, termasuk dari Indonesia.
Jumlahnya mengejutkan, mencapai 380 orang dari berbagai kelompok dan organisasi. Dalam suratnya tertanggal 31 Mei 2016 dengan nomor surat DTTOT/P-2a/V/931/V/2016 Kapolri menuliskan jumlah orang yang terduga sebagai teroris.
Dalam suratnya Kapolri menyebutkan dasar pengeluaran suratnya, Undang-Undang nomor 9 tahun 2013 tentang pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Teroris, serta penetapan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat nomor; 432/Pen,Pid/2016 PN.Jkt Pst tanggal 17 Maret 2016, tentang Penetapan Perpanjangan Pencantuman Individu dan organisasi sebagai terduga teroris dan organisasi teroris.
Bagaimana pandangan Pengamat Terorisme?
Dialeksis.com sudah menayangkan pandangan pengamat terorisme. Al Chaidar, sang pengamat ini menyebutkan penangkapan beberapa orang yang diduga teroris tergabung dalam JAD dan JI. Lebih banyak yang ditangkap dari JI daripada JAD.
Menurutnya, ini merupakan situasi pasca perang, ketika masuk dalam situasi damai memang banyak yang tidak mau move on atau berpindah ke politik yang damai atau ada yang merasa tidak puas dengan perdamaian tersebut.
“Situasi ini hampir sama dengan Aceh di tahun 1913, jadi ada gangguan mentalitas yang serius yang dimana kita akui hal tersebut memang ada. Bahkan kita ketahui bersama terkait MoU Helsinki juga banyak tidak setuju,” sebutnya.
Menurutnya, hal tersebut juga tidak lepas dari harapan besar dimana ketika Aceh sudah berdamai yang tertuang dalam MoU Helsinki, Aceh akan merdeka, sejahtera dan sebagainya.
Al Chaidar menyebutkan, sebelumnya di tahun silam (beberapa tahun kebelakang_Red), kelompok Al-Qaeda juga datang ke Aceh karena melihat adanya potensi kombatan atau petempur.
“Hal tersebut juga sama, ketika kelompok-kelompok terorisme melihat wilayah timur tengah dan berharap orang-orang Yaman dapat ddirekrut, dan Aceh juga ditargetkan oleh banyak pihak kelompok-kelompok terorisme, seperti JAD, ISIS,” sebutnya.
Lanjutnya lagi, ketertarikan itu tak lepas dari sejarah konflik yang ada di Aceh yang sangat mendalam. Hal itu dianggap oleh mereka (kelompok terorisme), bahwa orang-orang Aceh itu siap tempur.
Menurutnya pengarang sejumlah buku ini, hal tersebut dikaitkan bahwa Aceh merupakan wilayah otonom dan berlaku hukum Syariat Islam. Hal itu dapat berpengaruh juga, tapi sangat kecil sekali kemungkinannya.
Namun hal itu dianggap oleh kelompok-kelompok teroris sebagai daerah yang Kaffah memberlakukan hukum syariat Islam dan sangat kecil sekali pengaruhnya.
“Justru pemberlakuan syariat islam itu membuat gerakan-gerakan terorisme tidak signifikan, karena Aceh sendiri sudah setengah merdeka, jadi tidak bisa dikaitkan sebagai daerah Darul Harbi atau daerahkawasan perang,” jelasnya.
Al Chaidar menyarankan kepada masyarakat Aceh agar lebih memahami dan memperdalam ilmu agama, demi terhindar dari ajakan dan ajaran negatif tersebut.
“Kelompok-kelompok terorisme ini harus dipahami oleh orang-orang Aceh, bahwa selama ini banyak orang yang direkrut adalah orang-orang yang tidak begitu punya pemahaman yang memadai terkait agama. Sehingga mudah sekali dipengaruhi oleh kelompok-kelompok terorisme,”pungkasnya.
Bagaimana modus operandi, jaringan, dan apa yang akan dilakukan oleh para terduga teroris yang ditangkap di Aceh dalam pekan ini? Semuanya membutuhkan jawaban, namun pihak kepolisian yang lebih berwenang dalam hal ini belum memberikan keterangan lebih jauh.
Bila nanti kasus dugaan teroris ini berlanjut sampai ke Pengadilan, di sana akan terang benderang terbuka. Mengapa mereka yang ditangkap itu memilih Aceh sebagai tempat mereka mengembangkan diri.
Apa saja yang akan mereka lakukan, siapa saja kelompok mereka dan dari organisasi mana saja. Lantas bagaimana sikap masyarakat menyikapi kenyataan ini? Semuanya membutuhkan waktu untuk jawabanya. * Bahtiar Gayo