Selasa, 22 Juli 2025
Beranda / Liputan Khusus / Indepth / Skandal Rp18 Juta Panwaslih, APH Kemana?

Skandal Rp18 Juta Panwaslih, APH Kemana?

Senin, 21 Juli 2025 17:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Arn dan Bahtiar Gayo
Ilustrasi. Bukti uang Rp18 juta yang disita hilang. [Foto: net/tribunnews makassar]

DIALEKSIS.COM | Indepth - Demokrasi di negeri paling ujung Pulau Sumatera teriris-iris, kemudian disiram cuka. Perihnya menusuk relung hati masyarakat yang sangat berharap demokrasi dan proses hukum berjalan sesuai tatanan.

Namun mungkinkah? Jawabanya akan ada dalam putusan sidang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Dimana saat ini sedang menggelar persidangan yang “menyayat hati”, sidang permainan Panwaslih Banda Aceh dalam menegakan aturan dalam berdemokrasi.

Bagaimana kisahnya? Dialeksis.com merangkum detil keterangannya, bahkan reaksi berbagai pihak yang menaruh perhatian dalam kasus ini.

Selasa malam, 26 November 2024, jelang sehari sebelum hari pencoblosan Pilkada Banda Aceh, sebuah operasi tangkap tangan berlangsung di ruang VIP Kedai Kopi Dek Gus, Geucu Inem, Banda Aceh.

Tiga orang kedapatan membagi-bagikan uang tunai di lokasi tersebut, diduga untuk politik uang demi memenangkan pasangan calon Wali Kota-Wakil Wali Kota Banda Aceh nomor urut 01, Illiza Sa’aduddin Djamal - Afdhal Khalilullah.

Para pelaku langsung digiring ke kantor Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih) Kota Banda Aceh bersama barang bukti senilai uang tunai Rp18 juta yang belum sempat dibagikan, dua bundel daftar nama penerima uang di Kecamatan Banda Raya dan Jaya Baru, serta dua saksi yang baru saja menerima uang suap.

Kabar tertangkapnya tim sukses Illiza - Afdhal ini sempat viral di media sosial, memperlihatkan bukti uang beredar menjelang pemungutan suara. Di hadapan petugas Sentra Gakkumdu (Penegakan Hukum Terpadu), salah satu terduga pelaku bernama Cut Hera mengakui bahwa ia bagian dari tim sukses Illiza - Afdhal.

Uang yang dibagikannya, menurut pengakuannya, berasal dari seorang koordinator tim kampanye bernama Yusran.

“Uang tersebut berasal dari Yusran, yang mengaku bahwa dia adalah timsesnya pasangan calon nomor urut 01,” ungkap Mukhtar, anggota Gakkumdu dari Polresta Banda Aceh.

Pengakuan ini menegaskan bahwa kasus tersebut memenuhi unsur tindak pidana pemilu praktik politik uang untuk mempengaruhi pemilih. Sesuai prosedur hukum pemilu, Panwaslih seharusnya segera menindaklanjuti temuan itu.

Berdasarkan Perbawaslu No. 9 Tahun 2024, laporan pelanggaran pemilihan harus diproses maksimal dalam 7 hari sejak diketahui. Semestinya Panwaslih Kota Banda Aceh segera memplenokan hasil tangkap tangan dan meneruskan penanganannya ke Gakkumdu untuk proses pidana.

Namun yang terjadi justru sebaliknya. Waktu tujuh hari berlalu tanpa ada tindakan tegas dari Panwaslih. Barulah pada 3 Desember 2024 melewati tenggat seminggu Panwaslih Banda Aceh menggelar rapat pleno.

Hasilnya janggal, mereka menyatakan kasus politik uang tersebut “tidak memenuhi prosedur untuk lanjut ke tahap berikutnya” dengan alasan laporan sudah melewati batas waktu tujuh hari.

Dengan kata lain, kasus dihentikan bukan karena kurang bukti, melainkan murni karena kelalaian Panwaslih sendiri dalam mematuhi batas waktu. Alasan formalistik ini sontak mengundang tanda tanya, bagaimana mungkin pelanggaran serius yang tertangkap basah dibiarkan kedaluwarsa hanya karena prosedur teknis?

Seorang warga pelapor bernama Yulindawati tak tinggal diam. Dialah yang sejak awal memasukkan laporan dugaan politik uang Illiza - Afdhal, lengkap dengan bukti video penyerahan uang Rp200 ribu dan informasi terkait lainnya.

Melihat laporan konkretnya tidak diproses serius oleh Panwaslih, Yulindawati membawa perkara ini ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Ia mendakwa Ketua dan anggota Panwaslih Banda Aceh telah melanggar kode etik penyelenggara pemilu karena tidak profesional menindaklanjuti dugaan pidana politik uang tersebut.

DKPP pun membuka sidang pemeriksaan dugaan pelanggaran etik terhadap lima komisioner Panwaslih Banda Aceh (Perkara No. 50-PKE-DKPP/I/2025). Sidang digelar pada Kamis, 17 Juli 2025 di Kantor KIP Aceh, menghadirkan para teradu: Indra Milwady (Ketua), Efendi, Hidayat, Idayani, dan Ummar.

Dalam sidang DKPP itulah sebuah fakta mencengangkan terkuak. Barang bukti uang tunai Rp18 juta ternyata hilang. Kelima komisioner Panwaslih tak mampu menunjukkan bukti uang yang dulu mereka sita.

Awalnya mereka berdalih dengan jawaban berbelit-belit hingga saling tunjuk mengenai di mana uang disimpan. Akhirnya, di bawah desakan majelis etik DKPP, Ketua Panwaslih Indra Milwady mengakui berdasarkan laporan stafnya, uang itu hilang.

Pernyataan Indra ini sontak menghebohkan ruang sidang. Barang bukti kunci berupa uang tunai yang semestinya menjadi dasar pembuktian kasus pidana politik uang kini raib di tangan lembaga yang seharusnya menjaganya.

Dari berbagai sumber yang berhasil Dialeksis.com rangkum, termasuk informasi dari laman DKPP, uang yang hilang tersebut diketahui berupa dua amplop, dimana satu berisi sekitar Rp17 juta dan satu lagi Rp1 juta.

Suasana persidangan kode etik DKPP di Banda Aceh hari itu panas oleh adu argumen dan saling lempar tanggung jawab. Majelis sidang yang dipimpin Muhammad Tio Aliansyah menggali lebih dalam keterangan setiap komisioner Panwaslih tentang di mana sebenarnya uang Rp18 juta itu berada.

Respons para teradu justru saling bertentangan satu sama lain, bak permainan “lempar amplop panas” di ruang sidang. Ketua majelis DKPP, Muhammad Tio Aliansyah, mengkritik keras ketidakselarasan keterangan para pengawas pemilu tersebut.

Dari rangkaian kesaksian terungkap pula kelalaian prosedur penyimpanan barang bukti di internal Panwaslih. Tidak ada berita acara serah terima yang jelas, tidak ada dokumentasi rantai komando siapa pemegang amplop uang.

Bahkan mekanisme dasar seperti penyegelan barang bukti tampak diabaikan. Majelis DKPP menilai para komisioner tidak profesional, tidak transparan, dan tidak serius menangani laporan masyarakat terkait politik uang.

Langgar Etik dan Hukum Pidana

Kasus hilangnya barang bukti Rp18 juta ini menyingkap persoalan hukum berlapis. Pertama, jelas terjadi pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu. Para komisioner Panwaslih Banda Aceh diduga melanggar sumpah jabatan untuk menjalankan tugas secara independen, jujur, dan profesional. Tidak menindaklanjuti laporan politik uang padahal bukti sudah di tangan merupakan bentuk pengabaian kewajiban etis.

DKPP secara spesifik mengadili mereka karena dianggap melanggar prinsip integritas dan profesionalitas dalam penegakan aturan pemilu. Fakta bahwa mereka menyembunyikan atau tidak terbuka soal hilangnya barang bukti semakin memperberat dugaan pelanggaran etik tersebut. Kedua, tak kalah penting, ada indikasi pelanggaran hukum pidana.

Praktisi hukum Kasibun Daulay dalam keteranganya kepada Dialeksis.com mengingatkan, bahwa hilangnya barang bukti dalam proses penegakan hukum bukanlah masalah sepele atau sekadar kelalaian administrasi biasa.

“Kalau barang bukti bisa hilang begitu saja, ini bukan hanya kelalaian administratif. Ada potensi pidana yang harus ditelusuri,” tegas Kasibun.

Ia menjelaskan, penghilangan barang bukti apalagi dalam kasus dugaan pidana pemilu bisa masuk ranah tindak pidana umum. Pasal 233 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur sanksi bagi perusakan atau penghilangan barang bukti ancaman pidananya bisa berupa penjara atau denda bagi pelaku.

Jika kehilangan uang Rp18 juta ini terjadi karena kesengajaan oknum atau bahkan kolusi, maka dapat dianggap bentuk obstruction of justice (menghalangi proses hukum) yang termasuk delik pidana serius.

Obstruction of justice dalam konteks pemilu berbahaya karena berpotensi menggagalkan penegakan hukum secara keseluruhan.

“Tindakan yang menghalangi proses hukum bukan hanya perbuatan tercela, tapi juga delik pidana,” kata Dr. Zainal Abidin, pakar hukum tata negara dari Universitas Syiah Kuala, dalam penjelasanya kepada Dialeksis.com.

Dari sisi hukum pemilu, Panwaslih Banda Aceh juga dinilai menyalahi aturan karena tidak meneruskan kasus dalam batas waktu yang ditentukan. Alasan mereka menghentikan proses lantaran “melewati tujuh hari” dianggap mengada-ada secara prinsip hukum. Dr. Zainal Abidin menilai dalih tenggat waktu itu tidak bisa dijadikan tameng untuk mengabaikan substansi pelanggaran.

“Teknis administrasi tidak boleh dijadikan tameng untuk menutupi substansi pelanggaran. Jika ada indikasi kuat praktik politik uang, maka pengawas wajib menindaklanjuti, apalagi sudah disertai bukti video dan uang tunai yang diserahkan. Mengabaikan laporan hanya karena alasan waktu adalah bentuk pembiaran,” ujarnya.

Dalam regulasi, Panwaslih sebenarnya punya ruang diskresi: jika laporan lewat dari batas waktu, temuan itu bisa diangkat menjadi temuan Panwaslih sendiri untuk tetap diproses (prinsip pengawasan aktif).

Artinya, alasan “kadaluwarsa” yang dipakai Panwaslih Banda Aceh sejatinya tidak berdasar dan justru menunjukkan niat untuk tidak memproses kasus ini.

“Formalisme hukum tidak boleh mengorbankan keadilan. Jika Panwaslih menolak laporan hanya karena syarat teknis tanpa menyentuh substansi pelanggaran, itu bentuk pengingkaran terhadap fungsi pengawasan,” kritik Kasibun Daulay dengan nada tajam.

Dalam perkara ini, ada dua dugaan tindak pidana yang mengemuka: tindak pidana pemilu berupa politik uang oleh tim sukses paslon, dan tindak pidana umum berupa penghilangan barang bukti oleh oknum yang belum terungkap.

Keduanya memiliki implikasi hukum serius. Hilangnya barang bukti uang otomatis melemahkan pembuktian kasus politik uang bahkan bisa menggugurkan seluruh proses hukum yang seharusnya berjalan.

“Kalau alat bukti hilang, bagaimana Gakkumdu bisa melanjutkan proses? Bagaimana pengadilan bisa menjatuhkan vonis? Inilah kenapa tindakan ini sangat serius dan efek hukumnya sangat besar,” ujar Dr. Zainal Abidin, menjelaskan dampak hilangnya barang bukti bagi penegakan hukum.

Pada akhirnya, kejanggalan demi kejanggalan dalam kasus ini mulai dari penundaan penanganan hingga raibnya barang bukti berpotensi melanggar hukum dari tingkat etik hingga pidana.

Peringatan Akademisi dan Praktisi Hukum

Kasus Panwaslih Banda Aceh ini mengundang reaksi keras para akademisi dan praktisi hukum di Aceh. Mereka memperingatkan bahwa kejadian ini tidak boleh dianggap remeh, karena menyangkut prinsip dasar keadilan pemilu dan kepercayaan publik.

Dr. Zainal Abidin menegaskan bahwa hilangnya barang bukti “bukan perkara sepele” dan sudah masuk kategori dugaan tindak pidana. Menurutnya, Aparat Penegak Hukum (APH) tidak bisa berdiam diri melihat indikasi obstruction of justice dalam penanganan kasus ini.

 “Ketika barang bukti dalam sebuah laporan dugaan tindak pidana pemilu hilang, itu sudah menyentuh ranah hukum pidana. Aparat penegak hukum wajib turun tangan melakukan penyelidikan lebih lanjut,” kata Dr. Zainal tegas.

Ia mendesak agar proses etik di DKPP segera dilengkapi dengan proses hukum oleh kepolisian dan kejaksaan. Tidak cukup diselesaikan secara etik saja.

“APH harus segera memeriksa pihak-pihak yang terlibat, termasuk mengusut di mana dan bagaimana uang barang bukti itu bisa hilang. Ini menyangkut kepercayaan publik terhadap integritas pemilu dan supremasi hukum,” lanjut Zainal.

Pesan Zainal jelas, jangan biarkan kasus ini berlalu begitu saja tanpa pertanggungjawaban pidana. Jika terbukti ada unsur kesengajaan atau kelalaian fatal, siapapun yang terlibat harus dijerat hukum agar menjadi pembelajaran.

Praktisi hukum sekaligus pengacara senior di Aceh, Kasibun Daulay, sependapat. Ia memandang kehilangan barang bukti di tangan pengawas pemilu sebagai sinyal kelemahan sistemik penegakan hukum pemilu yang harus segera dibenahi.

“Transparansi dan profesionalitas adalah prinsip mutlak. Laporan masyarakat, apalagi dengan bukti konkret, tidak boleh diperlakukan dengan sembarangan. Ini menyangkut kepercayaan publik terhadap proses demokrasi,” ujarnya menekankan pentingnya integritas pengawasan.

Kasibun memperingatkan, apabila hal semacam ini dibiarkan, maka akan menjadi preseden buruk. Bukan hanya pelaku politik uang yang bisa lolos, tapi penyelenggara pemilu lain pun bisa tergoda bermain mata karena merasa tak akan dihukum serius.

Ia juga membeberkan dampak luas dari hilangnya barang bukti dapat menunda persidangan, memperlemah posisi hukum pelapor, bahkan membuat kasus dihentikan karena kekurangan alat bukti. Ini tentu melukai rasa keadilan masyarakat. Ujung dari kegagalan ini, menurut Kasibun, adalah hilangnya kepercayaan publik.

“Jika kepercayaan publik hilang karena keteledoran seperti ini, maka kita sedang merusak jantung demokrasi kita sendiri,” ucapnya prihatin.

Tak hanya itu, kalangan pegiat hukum lain turut angkat bicara. Teuku Alfian, advokat yang juga Koordinator Tim Pembela Hukum dan Demokrasi (TPHD) Aceh, bahkan menyebut kejadian ini sebagai cacat integritas penegakan hukum.

“Ini tidak masuk akal siapa pun. Tidak rasional secara apa pun jika barang bukti bisa dinyatakan hilang begitu saja,” kritik Teuku Alfian yang akrab disapa Ampon T.

Selanjutnya ia mengurai empat alasan mengapa kasus ini tak bisa dianggap sekadar kelalaian teknis pertama, tidak ada keadaan force majeure seperti bencana yang bisa dijadikan dalih hilangnya barang bukti.

Kedua, prosedur penyitaan barang bukti di lembaga pengawasan pemilu seharusnya terstruktur dan terdokumentasi dengan baik sesuai aturan yang ada. Ketiga, penindakan melibatkan aparat lintas lembaga (Polri, Bawaslu) sehingga mustahil jika penanganannya tidak tertib dan akuntabel.

Keempat, para teradu adalah orang-orang terpilih yang berpengalaman sebagai penyelenggara pemilu, bukan orang sembarangan sehingga sulit diterima akal sehat jika mereka lalai sebegitu rupa.

Dengan alasan-alasan itu, Teuku Alfian menegaskan hilangnya barang bukti ini bukan kelalaian biasa, melainkan cacat integritas yang mencederai akal sehat publik. Ia bahkan curiga.

“Jangan-jangan ini cara halus melemahkan daya kritis publik. Kita diajak percaya bahwa integritas dan pertanggungjawaban itu absurd, bukan sesuatu yang serius. Ini bahaya,” ujarnya tajam penuh kecurigaan.

Peringatan dari para pakar tersebut senada pada satu hal: jangan anggap remeh kasus ini. Baik Dr. Zainal, Kasibun, maupun Teuku Alfian sama-sama menekankan bahwa diperlukan tindakan tegas dan transparan.

Kasus ini bukan sekadar urusan internal Panwaslih, melainkan sudah menjadi isu publik yang menguji wibawa hukum di Aceh. Bahkan seorang mantan komisioner KIP Banda Aceh yang turut hadir memantau sidang DKPP berkomentar.

“Ini bukan soal teknis semata. Ini menyangkut kredibilitas lembaga. Jika bukti hilang, bagaimana proses hukum bisa berjalan adil?”. Suara-suara tersebut menegaskan bahwa integritas penyelenggara pemilu sedang dipertaruhkan di mata masyarakat luas.

Ancaman Terhadap Integritas Pemilu

Hilangnya barang bukti uang dalam kasus politik uang Pilkada Banda Aceh 2024 bukan sekadar “insiden memalukan” bagi Panwaslih setempat. Ia telah berkembang menjadi ancaman terhadap integritas pemilu secara lebih luas.

Kejadian ini menorehkan preseden buruk: bahwa aparat pengawas yang seharusnya menjadi garda penjaga demokrasi justru lalai menjaga bukti pelanggaran pemilu. Ibarat pepatah, “gajah di pelupuk mata tak tampak” praktik culas di depan mata dibiarkan lewat begitu saja. Publik pun bereaksi keras.

Di media sosial, kasus ini disindir sebagai bentuk “mencuri demokrasi” secara halus, menukil ungkapan warganet Aceh yang geram melihat pengawas pemilu malah kehilangan bukti suap politik.

Kredibilitas Panwaslih Banda Aceh runtuh seketika di hadapan masyarakat. Kritik juga datang dari kalangan masyarakat sipil anti-korupsi.

Ketua Forum Masyarakat Sipil Anti Korupsi Aceh (Formasi-Aceh), Muhammad Yunus, menyatakan hilangnya barang bukti menimbulkan kecurigaan kuat akan adanya intervensi atau kesengajaan dalam proses hukum.

“Jika barang bukti saja bisa hilang, bagaimana mungkin masyarakat percaya proses penegakan hukum berjalan adil? Ini harus segera diusut tuntas,” tegasnya mendesak pengusutan independen.

Formasi Aceh bahkan mendorong Kejaksaan Tinggi Aceh membentuk tim khusus dan meminta Komisi Kejaksaan serta Ombudsman turut mengawasi, agar terang apakah ada penyalahgunaan wewenang di balik raibnya barang bukti tersebut.

Ucapan Muhammad Yunus menggarisbawahi masalah inti; kepercayaan publik. Begitu kepercayaan ini luntur, integritas seluruh proses pemilu ikut hancur. Masyarakat akan apatis, berpikir percuma melapor pelanggaran jika ujungnya bukti bisa “menghilang” dan kasus lenyap.

Selain itu, implikasi politisnya meluas. Teuku Alfian menyoroti bahwa kasus ini menyeret Pemerintah Kota Banda Aceh ke pusaran krisis kepercayaan publik.

Apalagi dikabarkan, salah satu komisioner Panwaslih teradu ternyata memegang posisi strategis di jajaran Pemko Banda Aceh sebelum masa tugasnya di Panwaslih selesai.

Hal ini menimbulkan isu konflik kepentingan, ada dugaan oknum penyelenggara pemilu yang “bermain dua kaki” antara mengawasi pemilu dan menjalin kedekatan dengan kekuasaan lokal. Walikota Banda Aceh pun didesak bersikap transparan.

“Apapun hasil keputusan DKPP nanti, kepala daerah wajib bersikap transparan agar informasi tidak berkembang liar. Jika memang telah terjadi malapraktik, sebaiknya akui, minta maaf, dan lakukan koreksi segera,” ujar Teuku Alfian memberi saran agar Walikota turun tangan menjaga kepercayaan publik.

Lagi-lagi, pesan intinya adalah akuntabilitas dan transparansi dari pemangku kepentingan. Bila dibiarkan tanpa penanganan tuntas, kasus ini dikhawatirkan menjadi bola salju yang menggerus legitimasi lembaga pengawas pemilu di mata publik.

Bayangkan, setiap kali muncul laporan politik uang di masa mendatang, orang akan teringat kasus Rp18 juta yang hilang di Banda Aceh. Trust deficit terhadap penyelenggara pemilu bisa melebar, tidak hanya di Aceh tapi juga secara nasional, karena isu ini turut mencoreng wajah Bawaslu sebagai induk pengawas pemilu.

Dr. Zainal Abidin mengingatkan, Aceh memiliki sejarah panjang dalam perjuangan demokrasi dan perdamaian.

“Kasus ini jangan sampai menjadi titik balik kemunduran. Kita harus menjaga marwah pemilu yang jujur dan adil. Jika pengawasnya tidak bisa menjaga etik dan hukum, maka negara harus turun tangan,” ujarnya dengan nada peringatan.

Pesan tersebut menggambarkan betapa gentingnya situasi jangan sampai kekecewaan publik di Aceh terhadap kasus ini berubah menjadi apati atau ketidakpercayaan terhadap proses demokrasi itu sendiri.

Jalan Keluar dan Rekomendasi

Skandal hilangnya barang bukti ini jelas membutuhkan penanganan serius dan langkah pembenahan agar tak terulang. Sejumlah rekomendasi dan “jalan keluar” mengemuka dari berbagai pihak.

Pertama, proses hukum pidana harus segera dijalankan paralel dengan proses etik. Aparat Penegak Hukum (APH) Polri dan Kejaksaan didesak turun tangan melakukan penyelidikan mendalam atas dugaan tindak pidana penghilangan barang bukti maupun pembiaran laporan politik uang ini.

“Tidak cukup hanya diselesaikan lewat DKPP. APH harus segera memeriksa pihak-pihak yang terlibat, termasuk mengusut di mana dan bagaimana uang barang bukti itu bisa hilang,” kata Dr. Zainal Abidin menyerukan tindakan konkret.

Langkah hukum ini penting untuk memberi efek jera dan memastikan tidak ada konspirasi yang luput dari jerat hukum.

Kedua, perlu evaluasi menyeluruh terhadap kinerja dan integritas Panwaslih Banda Aceh. DPRK (Dewan Perwakilan Rakyat Kota) Banda Aceh disarankan membentuk tim investigasi khusus untuk menelusuri kasus ini hingga tuntas.

Tim tersebut sebaiknya melibatkan para ahli independen dan perwakilan publik, guna memeriksa apakah ada pelanggaran sistemik atau keterlibatan pihak lain di balik lenyapnya barang bukti. Evaluasi ini juga harus mencakup reformasi tata kelola barang bukti di tubuh Panwaslih dan Bawaslu daerah.

Dr. Zainal mengusulkan perbaikan sistem pengelolaan barang bukti di setiap Panwaslih/Bawaslu, termasuk pemasangan CCTV di ruang penyimpanan, pencatatan log yang rapi, dan audit menyeluruh secara periodik.

Standar operasional prosedur (SOP) penyitaan dan penyimpanan barang bukti harus diperketat: setiap barang bukti disegel, didokumentasikan, disimpan di brankas terkunci, dan aksesnya terbatas serta tercatat.

Chain of custody mesti jelas dari tangan petugas lapangan hingga gudang penyimpanan. Ketiga, DKPP sendiri diharapkan menjatuhkan sanksi tegas apabila terbukti para komisioner bersalah secara etik. Sanksi itu bisa berupa peringatan keras, pemberhentian sementara, hingga pemecatan tetap dari jabatan penyelenggara pemilu. Langkah ini diperlukan untuk memulihkan kepercayaan publik bahwa ada akuntabilitas.

“Proses DKPP ini penting bukan hanya untuk memberikan sanksi, tetapi juga sebagai pembelajaran dan peringatan keras bagi semua pihak,” ujar Kasibun Daulay.

Artinya, putusan DKPP nanti harus jadi deterrent (efek jera) agar kejadian serupa tak terulang di tempat lain. Bawaslu RI sebagai lembaga pengawas pemilu nasional pun didorong melakukan supervisi ekstra terhadap jajarannya di daerah, terutama dalam penanganan pelanggaran krusial seperti politik uang.

Keempat, perbaikan internal dan kapasitas SDM pengawas pemilu. Kasibun Daulay menyarankan Panwaslih dan Bawaslu di semua tingkatan segera memperbaiki sistem internal dan meningkatkan profesionalisme pengelolaan barang bukti.

“Penyimpanan barang bukti harus dilakukan secara terstandar dan diaudit secara berkala oleh lembaga independen,” ujarnya menekankan pentingnya standar nasional dalam manajemen barang bukti. Selain itu, pelatihan khusus bagi petugas tentang chain of custody dan penanganan barang bukti perlu ditingkatkan.

Jangan sampai kejadian di Banda Aceh ini akibat kurangnya pengetahuan atau kelalaian personel yang sebenarnya bisa dicegah dengan pelatihan dan SOP ketat. Kelima, transparansi kepada publik. Dalam kasus ini, sudah sepatutnya pimpinan daerah hingga Bawaslu memberikan penjelasan terbuka.

Walikota Banda Aceh, misalnya, diminta turut bersuara karena kasus ini menyeret nama pemerintahannya akibat dugaan konflik kepentingan oknum komisioner. Keterbukaan informasi akan mencegah rumor liar.

Jika ada kesalahan, pejabat terkait sebaiknya mengakui dan meminta maaf secara terbuka, lalu menjelaskan langkah perbaikan yang akan diambil. Budaya transparansi dan akuntabilitas inilah yang perlu ditekankan agar kepercayaan publik bisa perlahan dipulihkan.

Terakhir, pengawasan oleh masyarakat sipil tetap krusial. Publik Aceh diimbau untuk terus kritis dan aktif mengawal proses pemilu yang bersih. Kasibun Daulay menyebut peran serta masyarakat penting sebagai kontrol sosial.

Ketika ada kasus seperti ini, tekanan publik melalui media, LSM, dan jalur hukum akan mendorong institusi terkait bergerak lebih cepat.

Aceh, dengan pengalaman sejarahnya dalam demokrasi, memiliki masyarakat yang melek politik; suara kolektif mereka dapat menjadi penentu agar kasus tidak “masuk angin” di tengah jalan.

Kasus hilangnya barang bukti Rp18 juta di Panwaslih Banda Aceh menjadi alarm bagi semua pihak. Integritas pemilu yang jujur dan adil tidak akan terwujud jika aparat pengawasnya rapuh terhadap godaan atau abai dalam tanggung jawab.

Demi menjaga demokrasi lokal, langkah hukum tegas, reformasi kelembagaan, dan peningkatan integritas personal mutlak diperlukan. Seperti diingatkan Dr. Zainal Abidin, jangan sampai kasus ini menandai kemunduran kualitas demokrasi Aceh.

Justru sebaliknya, jadikan ia pelajaran mahal untuk berbenah. Integritas pemilu adalah harga mati yang harus dijaga karena sekali kepercayaan publik tercuri, sulit rasanya membangunnya kembali.

Hati rakyat Aceh sudah teriris iris dan tersiram cuka, menusuk perih ke rongga dada. Bagaimana hasil persidangan ini? Akankah mampu mengobati luka?. [arn&bg]

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI