Tebang Pilih Penetapan Tipe Dayah, Menuai Banyak Protes
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Perjalanan keberadaan Badan Pembinaan Pendidikan Dayah (BPPD) Aceh berdiri pada tahun 2008. Tugas pokoknya melakukan pembinaan terhadap dayah-dayah yang ada di Aceh.
Badan ini dibentuk berdasarkan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) No. 11 Tahun 2006, Qanun No. 5 Tahun 2007 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas, Lembaga Teknis Daerah dan Lembaga Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, serta Qanun Nomor 5 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Pendidikan di Aceh.
Lembaga ini juga bekerja secara maksimal untuk meningkatkan mutu dan kualitas dayah, baik prasarana, kurikulum dayah, membantu merubah manajemen dayah dan peningkatan kualitas santri serta memberdayakan dayah sesuai dengan letak geografis dayah-dayah di Aceh.
Badan ini memiliki beberapa program prioritas seperti pembentukan dan pengembangan Ma’had ‘Ali, akreditasi dayah, peningkatan profesionalisme manajemen dayah; dan peningkatan kompetensi guru.
Dalam perjalanannya Badan ini kemudian berubah menjadi Dinas Pendidikan Dayah Aceh yang ditetapkan dalam Struktur Organisasi Tata Kerja (SOTK) Pemerintah Aceh yang baru, berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah.
Tepatnya 5 Mei 2018 lalu, Gubernur Aceh Irwandi Yusuf melantik Usamah S.Ag, M.M menggantikan Bustami Usman sebagai nahkoda di Dinas Pendidikan Dayah. Usamah dilantik bersama 50 pejabat eselon lainnya di Gedung Serbaguna Kantor Gubernur Aceh.
Pada tahun 2018, Dinas Pendidikan Dayah melakukan program pendataan dan perangkingan dayah yang ada di Aceh dengan menurunkan tim survei ke dayah-dayah di Aceh. Hasil pendataan sementara yang kemudian diumumkan melalui harian lokal Aceh pada 9 November 2018.
Dalam pengumuman itu disebutkan ada 1495 dayah di Aceh yang dilakukan pemutakhiran dengan cara pengisian kuesioner, verifikasi faktual, uji kesahihan hasil survei lapangan melalui rapat pleno petugas survei, rapat pra Rakor Dinas Dayah Kabupaten dan Kanwil Kementerian Agama Aceh sebagai media konfirmasi kemudian diumumkan melalui media cetak untuk pimpinan dayah menyampaikan komplain terhadap data sementara dan selanjutnya dilakukan konfirmasi ulang.
Adapun komponen utama dan tambahan dalam survei pemutakhiran data dayah di antaranya Kyai yang pernah mengaji, santri yang bermukim di pesantren, asrama pesantren, masjid dan pengajian kitab kuning.
Data sementara tipe dayah di Aceh hasil pemutakhiran data dayah Se-Aceh 2018 diberikan kesempatan untuk memberikan masukan.
Hasil dan mekanisme survei yang dilakukan tim pemutakhiran data dayah Aceh itu kemudian dikomplain sejumlah pimpinan dayah di Aceh, seperti Ustadz Masrul Aidi Dayah Babul Magfirah Cot Keueung yang menilai perangkingan dayah di Aceh memang ada semacam "penganak tirian" terhadap dayah-dayah non salafi yaitu dayah modern dan terpadu dimana barometernya secara kasat mata sangat terlihat tidak adil.
"Yang pertama kita kan fasilitasi berdasarkan jumlah murid dan ternyata sekarang jumlah murid diabaikan. Contohnya di Sabang, ada pesantren Al-Mujaddid itu jumlah muridnya 300 lebih masuk tipe C entah non tipe, tapi ada satu pesantren tradisional di sana muridnya yang menetap sekitar 25 orang tapi malah mendapat tipe B artinya lebih fokus. Jadi Mereka tidak melihat jumlah murid, seolah-olah faktor keberadaan murid dianggap tidak penting," katanya.
Kemudian yang kedua, kata Ustadz Masrul, barometer yang mereka uji terkait barometer terkait materi pengajaran (kurikulum) hanya mengakomodir pesantren tradisional dengan kekhususan spesifikasi Aceh, seperti adanya kitab Inatut Thalibin, Mahalli dan Bajuri.
"Seharusnya itu disebutkan umum saja misalnya, kurikulum harus ada materi fiqih, aqidah tafsir terserah kebijakan pesantren mau mengambil yang mana ataupun diarahkan kemana. Jadi jangan diatur harus kitab yang mana karena kalau di pesantren terpadu yang hal-hal seperti itu tidak berjalan efektif," katanya.
Selanjutnya kata Ustadz Masrul, standar pimpinan pesantren yang mengharuskan lulusan pesantren-pesantren di Aceh, sehingga pimpinan dayah lulusan luar Aceh atau luar negeri akan menurunkan tipe pesantren.
"Misalnya ada lulusan Mesir yang menjadi pimpinan pesantren akan menurunkan grade. Jadi indikatornya tidak mengedepankan prinsip kualitas, dan itu agak sedikit mengganggu. Makanya dari dulunya, pesantren kita itu Babun Najah yang di Ule Kareng itu dari tipe A turun ke tipe B padahal pimpinannya waktu itu orang tua saya sendiri, Abu Madinah. Padahal jumlah murid mencapai 800 orang, tapi bisa turun grade," katanya.
Dirinya menegaskan kembali, Dia menilai, perangkingan seperti itu akan membuat perlakuan ketidakadilan dayah-dayah di Aceh terutama dalam hal alokasi anggaran yang diperuntukan untuk dayah tersebut.
"Itu akan otomatis terjadi. Dan yang sangat itu yang non tipe. Kalau saya dengar bocoran dari kawan-kawan, untuk dayah yang ada tipe itu akumulasi anggarannya sekitar Rp 200 miliar sedangkan yang non tipe hanya Rp 20 miliar untuk semua yang non tipe. Kalau ada yang katakan bahwa perangkingan itu tidak berpengaruh pada anggaran itu aneh." Pungkasnya.
Hal Senada namun tak sama disampaikan Pimpinan Dayah Ashabul Yamin, Tengku Yacob. Dia merasa sedih dengan cara perangkingan yang dilakukan. Sepengetahuannya, jumlah santri menentukan tipe dayah.
"Contohnya tim survei datangnya malam saat pengajian dan melihat jumlah santrinya banyak sehingga tipenya bagus padahal tidak semua santri di dayah itu menetap. Kemudian ada lagi tim survei yang datangnya saat selesai pengajian sehingga santrinya sedikit karena tidak menetap di dayah sehingga tipenya tidak bagus bahkan tidak ada tipe." Ucap Tengku Yacob.
"Seperti dayah saya, kalau dilihat dari jumlah santri yang menetap memang sedikit, tapi fasilitasnya lengkap termasuk ada masjid tetapi malah tidak ada tipe. Dayah salafi beda dengan pesantren terpadu yang muridnya banyak yang menetap. Contoh lainnya itu dayah Abu Ishak Lamkawe yang dulunya dapat tipe tetapi setelah survei malah tipenya turun," katanya.
Dikatakan Tengku Yacob, seharusnya tim survei jangan memihak karena lembaganya itu bukan lembaga politik, tapi lembaga yang mengurus dayah-dayah di Aceh .
"Kalau survei yang telah dilakukan saat ini mengarah seolah-olah ada tujuan tertentu dan tidak ada kejelasan apa yang dinilainya. Tapi hal itu sudah saya sampaikan kepada Pak Usamah, dan dia menyambut baik serta akan dilakukan survei ulang," kata dia.
Dia menyebutkan para tengku-tengku dayah Aceh sangat ingin berunjuk rasa ke Banda Aceh untuk memprotes hasil survei ini, namun Tengku Yacob melarangnya karena hal itu tidak baik dilakukan dan Kepala Dinas Pendidikan Dayah juga sudah mengatakan survei akan diulang.
"Sebaiknya Usamah selaku Kepala harus sangat hati-hati dalam menentukan grade dayah-dayah di Aceh, karena apapun cerita yang salah tim survei sasarannya pak Usamah. Kabar ketidakadilan ini juga sudah sampai ke Wagub," katanya.
Menurutnya, ketidakadilan dalam menentukan tipe dayah akan menimbulkan gesekan-gesekan atau kesenjangan antara Abu-Abu pimpinan dayah di Aceh.
Sementara Pimpinan Dayah Abu Lam U, Dr Saifuddin mengatakan sebenarnya terkait perangkingan dayah di Aceh pihaknya sudah mendatangi Dinas Pendidikan Dayah dan sudah ditanggapi dengan baik.
"Mungkin dimana ada pengukuran disitu pasti ada kekurangan-kekurangan, kita dari dayah terpadu sudah bertemu dengan Kepala Dinas dan beliau menanggapinya dengan baik terkait masalah perangkingan itu," katanya.
Kata dia, memang kuesioner yang dibawa saat survei memang tidak cocok untuk dayah terpadu sehingga dayah bernegosiasi dengan kepala dinas dan sudah mendapat kesimpulan bersama.
"Bukan hanya dayah Abu Lam U yang datang saat pertemuan, tapi dayah lain juga sudah datang dan sudah ada kesepakatan untuk dayah terpadu harus dipikirkan kuesioner yang tepat tapi bukan pada tahun ini. Hasilnya nanti akan dipertimbangkan. Kepala Dinas bilang Insya allah keputusan yang diambil nantinya tidak merugikan semua pihak," katanya.
Dr Saifuddin optimis Kepala Dinas Pendidikan Dayah Aceh akan bijak menyikapi persoalan yang muncul saat ini.
"Kadisnya akan bijak, kalau disikapi dengan bijak saya kita tidak gejolak, orang dayah tidak perlu bersikap yang memicu konflik," tuturnya.
"Permasalahan yang ada kalau disikapi tidak akan menimbulkan kesenjangan atau gejolak apa pun, karena kita orang dayah tidak perlu bersikap yang memicu konflik. Semua akan terselesaikan dengan baik," katanya.
Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan Dayah Aceh, Usamah saat dikonfirmasi media ini melalui pesan whatsapp mengatakan soal survei type dayah itu dilakukan setiap tahun, termasuk tahun ini.
"Insya Allah tidak akan terjadi gesekan dan kecemburuan, karena disamping sudah dilakukan tiap tahun, survei ini juga kita laksanakan dengan penuh kearifan dan kebijaksanaan," katanya.
Terselip harapan para Abu-Abu yang seirama mengatakan untuk menetapan standarisasi tipe dayah tidak menimbulkan perpecahan serta dapat merugikan pihak-pihak tertentu, seyogyanya pemuktahiran tipe dayah itu tidak tebang pilih,..semoga.