kip lhok
Beranda / Liputan Khusus / Indepth / UU Anti Terorisme Agenda Siapa? (bagian 3)

UU Anti Terorisme Agenda Siapa? (bagian 3)

Sabtu, 26 Mei 2018 16:01 WIB

Font: Ukuran: - +

:


Pengesahan UU AT sudah terjadi namun kegelisahan dan rasa khawatir masih menyeruak di permukaan, mulai soal pakaian wanita bercadar, pendakwah dan sikap politik yang berbeda dengan pemerintah, bahkan soal kealpaan menyertakan militer dalam UU Anti Terorisme yang di picu dari Mako Brimob berlanjut aksi teror Surabaya lalu penyerangan Mapolda Riau.

Soleman B. Ponto menyebut Kasus amuk teroris di Surabaya dan Mapolda Riau beberapa waktu lalu merupakan cara dari jaringan teroris ingin unjuk diri kepada POLRI dan masyarakat Indonesia, bahwa mereka masih ada.

Soleman B. PontoSoleman B. Ponto
Kepada dialeksis.com Sabtu 26 Mei 2018 Laksamana Muda TNI (Purn) Soleman B. Ponto, S.T., MH., mengatakan bahwa sejumlah aksi terorisme yang muncul setelah peristiwa berdarah di Mako Brimob, Depok yang menewaskan lima orang polisi dan satu teroris, merupakan ajang unjuk diri bahwa mereka masih eksis, walau sudah 141 (sumber resmi menyebutkan 155-ed) teman mereka ditahan di Mako Brimob.

Ketika ditanya apakah aksi-aksi tersebut ada kaitannya dengan isu politik, mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (Kabais) TNI tersebut mengatakan, tidak ada sangkut pautnya dengan dinamika politik yang sedang berlangsung di Indonesia saat ini.

Ia pun mengaku tidak tahu siapa aktor yang membangkitkan gelora peralawanan gerakan teroris saat ini. "Sejak pensiun, saya tidak lagi mengikuti perkembangan teroris ini. Jadi saya tidak tahu aktor di balik pengeboman tersebut,"ujarnya kepada dialeksis.com.

UU Anti-Terorisme Mengancam HAM

Saat ditanya apakah percepatan penyelesaian RUU Anti –Terorisme, merupakan sebuah keharusan yang akan berdampak positif, mantan perwira tinggi Angkatan Laut Indonesia tersebut mengatakan percepatan pembahasan RUU Anti -Terorisme bukan suatu keharusan. Secara dampak juga tidak akan positif.

Kalau tujuannya untuk menghilangkan aksi teror, maka bukan Undang-undang yang menjadi solusinya. Aksi teror tidak bisa dihilangkan oleh UU, karena hanya bisa menghukum teroris yang telah melakukan pengeboman. Sedangkan calon teroris yang belum melaksanakan misinya, tidak terjangkau oleh UU," katanya.

Dalam kesempatan itu, Soleman B. Ponto juga mengatakan, Pasal-pasal dalam RUU Anti-Terorisme masih sangat umum, bila niatnya untuk mencegah terjadinya teror. Sehingga pasal tersebut  justru membuat pemerintah sebagai teroris bagi rakyatnya. Atau Pemerintah dakat dijatuhkan oleh rakyatnya dengan menggunakan pasal tersebut.

"Dalam RUU Anti-Terorisme keberadaan HAM sangat terancam. Kolaborasi pasal 28, 43C dan 43D secara nyata melanggar HAM," katanya ketus.

Untuk itu, dia menyarankan, dalam rangka melawan berbagai aktivitas dan jaringan teroris yang beroperasi di Indonesia, Pemerintah sebaiknya tetap menggunakan UU NOmor 15 Tahun 2003 serta secara aktif melaksanakan kegiatan intelijen dan operasi intelijen.

"kembali ke UU Nomor 15 Tahun 2003 serta perkuat operasi intelijen, adalah jalan keluar dari kemelut ini," imbuhnya

UU Anti-Terorisme Abaikan Peran Penting TNI

Sementara itu Dosen Antropologi Universitas Malikussaleh yang juga Pengamat Terrorisme Asia Tenggara, Al Chaidar mengatakan bahwa sejumlah aksi teroris yang terjadi pasca kerusuhan di Rutan Mako Brimob Depok, merupakan hasil dari gerakan yang dirancang oleh pelaku teror dari pelaku lama yaitu Aman Abdurachman anggota Jamaah Ansharu daulah (JAT) yang memiliki irisan dengan aktor-aktor lama seperti dengan Rois dari Darul Islam Banten. Juga dengan tokoh tokoh lainnya yang berhubungan dengan Negara Islam Indonesia (NII).

Apa yang terjadi di Indoensia saat ini, kata Al Chaidar merupakan bentuk kekecewaan politik umat Islam karena RI bukan negara Islam. Kaum radikal kecewa dengan sistem politik demokrasi liberal. Mereka ingin memperjuangkan Daulah Khilafah di Indonesia. Masuknya ideologi transnasional Wahabi Takfiri membuka peluang untuk melancarkan aksi kekerasan dalam bentuk teror.

"Jadi adanya kekecewaan yang demikian membuat mereka membentuk gerakan tersebut. Masuknya ideology Wahabi Takfiri menambah energy perjuangan mereka berupa diperbolehkannya aksis kekerasan dalam bentuk teror," kata Al Chaidar kepada dialeksi.com pada kemarin

saat ditanya apakah sejumlah aksi yang dilakukan pada Mei 2018 dan telah merenggut belasan nyawa, ada kaitannya dengan isu politik yang sedang berkembang? Al Chaidar dengan tegas menjawab tidak tidak ada. Mungkin perlu analis dari Ilmu Komunikasi dan Ilmu Politik untuk mencari hubungan dengan pengalihan isu. Saya hanyalah Antropolog yang belum bisa menemukan adanya kausalitas tersebut," katanya.

Dia juga mengatakan UU Anti- Terorisme sangat diperlukan oleh polisi untuk menindak segala bentuk aksi teror di Indonesia. Akan tetapi, UU tersebut sangat mengerdilkan peran TNI dan bertentangan dengan UU no 34 tahun 2004 tentang TNI yang menyebutkan fungsi TNI untuk menangani Terorisme selain perang dan bencana.

"UU tersebut juga bertentangan secara teoritik dengan realitas di mana ada dua jenis teroris: (1) terorisme tamkin atau teritorial; (2) terorisme tanzhim, non-teritorial," katanya.

Ia menjelaskan, Terorisme Tamkin hanya bisa ditangani oleh militer dan pelaku yang tertangkap akan diadili di pengadilan militer atau pengadilan humaniter. Teroris Tanzhim bisa ditangani oleh polisi dan jika ditangkap diadili di pengadilan sipil atau pengadilan negeri.

Ketika ditanya apakah pasal-pasal dalam RUU Anti-Terorisme ytelah megandung substansi terhadap tindakan dan pla dari terorisme? Ia kembali menjawab, belum. Pasal-pasal dalam RUU tersebut banyak yang tidak perlu seperti memasukkan soal deradikalisasi BNPT. Deradikalisasi adalah program gagal yang gak perlu dipertahankan pemerintah. BNPT juga sebaiknya dibubarkan saja. Hanya menghamburkan anggaran saja.

Pun demikian, ia mengatakan Indonesia sangat membutuhkan UU Anti-Terorisme UU Anti Teror nomor 15 tahun 2003 sudah usang dan kurang memberikan payung hukum bagi polisi. Untuk itu harus segera direvisi, namun bukan seperti revisi sekarang ini. DPR tidak mau membahas ini secara publik.

"Terorisme hanya bisa diatasi dengan dua cara: (1) regimentasi, yaitu pengetatan hukum dan represi; (2) akomodasi, yaitu menerima keinginan mereka untuk menerapkan hukum Islam dalam sistem Negara Islam," terangnya.

Di ujung wawancara Al Chaidar mengatakan, langkah kongkrit Pemerintah mengatasi maraknya kasus terorisme dalam RUU tersebut, batasannya masih sumir. Harusnya ada kejelasan tentang perlindungan HAM.

"UU ini disusun dengan terburu-buru dan DPR juga malas berpikir untuk membuat legislasi yang berdasarkan teori ilmu pengetahuan. Maklum sajalah, DPR kan terdiri dari orang-orang partai yang mungkin tidak suka dengan ilmu pengetahuan," imbuhnya.(Ar)


Keyword:


Editor :
Jaka Rasyid

riset-JSI
Komentar Anda