DIALEKSIS.COM | Kolom - Seperti dikatakan Benedict Anderson, bangsa adalah imagined community. Pancasila adalah benang yang mengikat imajinasi itu. Tantangannya sekarang adalah menjauhkan Pancasila dari mitos masa lalu dan mendekatkannya pada solusi masa kini.
Tanggal 1 Juni, diperingati sebagai Hari Lahir Pancasila, sering kali tenggelam dalam bayang-bayang peringatan Kesaktian Pancasila (1 Oktober). Padahal, momen ini justru lebih krusial karena menjadi refleksi atas proses kelahiran ideologi bangsa yang inklusif dan moderat. Pancasila lahir dari dialektika panjang antara nilai-nilai lokal, agama, dan pemikiran modern -- sebuah sintesis yang kini diuji oleh arus radikalisme dan polarisasi di ruang digital.
1 Juni dan Ancaman Amnesia Sejarah
Menurut Peter L. Berger, realitas sosial dibentuk melalui proses social construction yang terus berubah. Sayangnya, narasi tentang Pancasila sebagai common platform Indonesia semakin tergerus oleh dua hal:
1. Generasi muda yang terputus dari sejarah, sehingga Pancasila dianggap sebagai produk Orde Baru yang otoriter.
2. Kelompok radikal yang mempolitisasi agama, menggantikan Pancasila dengan ideologi transnasional.
Pancasila vs. Radikalisme Digital: Pertarungan Wacana
Manuel Castells dalam The Power of Identity (1997) menyebut bahwa di era digital, identitas menjadi medan pertempuran ideologi. Media sosial kini menjadi arena dimana:
- Kelompok radikal menyebar narasi anti-Pancasila secara sistematis, memanfaatkan algoritma yang membentuk echo chamber.
- Nasionalisme semu (clicktivism) seperti hashtag #IndonesiaTanpaPancasila viral tanpa pemahaman mendalam.
Di sisi lain, Pancasila justru kurang "seksi" di dunia digital karena dianggap terlalu normatif. Padahal, nilai-nilai seperti gotong royong (Sila ke-5) atau musyawarah (Sila ke-4) bisa menjadi senjata melawan hoax dan ujaran kebencian jika dikemas secara kreatif.
Reaktualisasi Pancasila: Dari Kognisi ke Aksi
Max Weber mengingatkan bahwa nilai-nilai hanya bertahan jika diinternalisasi dalam tindakan sehari-hari. Untuk itu, Pancasila harus dibumikan melalui:
1. Pendidikan kritis, bukan hafalan teks.
Contoh: Diskusi tentang bagaimana Sila ke-2 ("Kemanusiaan yang Adil dan Beradab") relevan dengan isu HAM atau diskriminasi terhadap minoritas.
2. Gerakan budaya pop yang mengangkat Pancasila sebagai nilai hidup, bukan sekadar simbol.
Misal: Karya musik, film pendek, atau meme yang mempopulerkan toleransi (Sila ke-1) dalam bahasa anak muda.
3. Regulasi platform digital yang memprioritaskan konten persatuan dan memblokir radikalisme.
Di usia ke-79 ini, Pancasila harus dibuktikan bukan hanya "sakti" melawan pemberontakan fisik seperti G30S, tetapi juga "sakti" melawan radikalisme digital, ketimpangan, dan intoleransi. Selamat Hari Lahir Pancasila -- tidak cukup diperingati, tetapi harus diperjuangkan. [**]
Penulis: Firdaus Mirza [Dosen Sosiologi USK]