15 Tahun Damai Aceh : Asoekaya Jeut Keu Boh Labu!
Font: Ukuran: - +
Oleh: Otto Syamsuddin Ishak
Mengapa ada 4 Desember 1976? Spekulasi para pengamat politik asing- pun bermunculan tentang Aceh.
Robinson, misalnya, salah seorang pengamat politik dan penulis buku tentang Aceh, dia merasa menemukan korelasi antara eksploitasi gas Arun dan kekecewaan pengusaha Aceh, khususnya mereka yang kalah lelang kontrak proyek karena tak memiliki beking dengan pejabat sekitar Monas.
Terutama Hasan Di Tiro, kata Robinson, dengan menggunakan perusahaan AS kalah lelang kontrak pipa gas untuk Mobil Oil pada 1974. Kontraktor AS kalah lelang proyek di Mobil Oil, yang adalah perusahaan raksasa dari AS juga. Lalu, apa pasal Hasan Di Tiro marah, lalu mendeklarasikan Aceh Merdeka (AM) 2 tahun kemudian?
Memang dimasa itu mulai beredar rumusan kekecewaan terhadap situasi di sekitar Arun. Pepatah Aceh mencuat kepermukaan. “Buya krueng teudong-dong, buya tamoeng meuraseuki.” Dalam bahasa yang lain bahwa "Aceh, Sumatra, telah menghasilkan pendapatan lebih dari 15 miliar dolar AS setiap tahunnya untuk neokolonialis Jawa, yang mereka gunakan seluruhnya untuk kepentingan Jawa dan orang Jawa”.
Akan tetapi, dari sisi lain, apakah cukup waktu 2 tahun (1974-1976) setelah sebuah kekecewaan muncul, Hasan Di Tiro dapat membidani sebuah gerakan politik (bersenjata) yang berusia 3 dasawarsa (1976-2005).
Mari kita merujuk buku karya Hasan Di Tiro yang berjudul: “Manifesto Masa-Depan Politik Kepulauan Kita.” Dalam kata pengantarnya menjelaskan manifesto politik itu ditulis pada 3 Desember 1964, di New York, bukan di Aceh.
Berarti sekitar 10 tahun sebelum kekecewaannya terhadap lelang pipa Arun. Lalu buku itu dicetak di Medan pada 1965 oleh Penerbit Sumatera Berdaulat.
Kata Hasan Di Tiro: “Manifesto ini bukanlah satu panggilan untuk “memetjah-belah”. Djauh dari itu, kita hanja menuntut apa jang menurut hukum, adat dan sedjarah, adalah hak kita: pengembalian hak memerintah diri-sendiri kepada semua bangsa-bangsa Kepulauan Kita”.
Sebagai sebuah manifesto, maka Hasan Di Tiro telah menyatakan kepada publik sikap politiknya. Lalu, apa kaitannya manifesto tersebut bagi kita yang hidup pasca 15 tahun MoU Helsinki?
Diakhir kata pengantarnya (1964) itu, Hasan Di Tiro mengatakan: “….kerdjasama antara bangsa-bangsa Kepulauan Kita dalam suasana hormat-menghormati, dan pengakuan terhadap masing-masing sebagai Tuan dirumahnja sendiri”.
Pertanyaannya sekarang: selama 15 tahun perdamaian, aweuk ka bak jaroe, sudahkah kita hidup di dalam “suasana hormat-menghormati” atau aweuk justru untuk memukul kepala orang lain? Sudahkah kita merasakan “sebagai tuan dirumahnja sendiri” atau anda menjadi tuan, kami menjadi hamba?
Hal itu semua terjelaskan oleh pidato Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Dahlan Jamaluddin, yang berasal dari Partai Aceh, yang merupakan transformasi dari GAM pasca MoU Helsinki ketika membuka Sidang Paripurna.
Kata Dahlan Jamaluddin, Aceh bermasalah dalam kaitannya dengan, pertama, adanya disparitas antar daerah kabupaten/kota. Kedua, angka pengangguran dan kemiskinan masih tinggi. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) masih rendah.
Lalu, Dahlan mengatakan pada Gubernur Nova agar APBA 2021 yang bernilai Rp 16,9 triliun digunakan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan kesenjangan dan kemiskinan di Aceh.
Seriuskah? Bagaimana anatomi anggaran itu? Bagaimana strategi pengentasan kesenjangan antar daerah dan kemiskinan itu?
Tentunya, anatomi APBA 2021 harus dikonstruksikan dengan baik, dan strateginya harus dirumuskan dengan cerdas. Ambilah hikmah dari penganggaran 15 tahun yang telah berlalu, yang mana aweuk menjadi alat politik memukul lawan? Sehingga asoekaya yang bernilai Rp 81,6 triliun (2008-2020) menjadi boh labu! Anda menjadi tuan, kami tetap hamba!
2021 adalah momentum untuk mentransformasi politek pembangunan Ija Broek menjadi politek pembangunan Asoekaya (kesejahteraan).*
• Penulis adalah Ketua Pusat Studi Perdamaian dan Resolusi Konflik (PRPRK) Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.