Beranda / Kolom / 2 Dekade Tsunami: Sejauh Mana Konsep Mitigasi Bencana?

2 Dekade Tsunami: Sejauh Mana Konsep Mitigasi Bencana?

Kamis, 26 Desember 2024 12:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Firdaus Mirza Nusuary
Firdaus Mirza Nusuary, Dosen Prodi Sosiologi USK, fokus kajian pembangunan sosial, media dan politik. [Foto: dokumen untuk dialeksis.com]

DIALEKSIS.COM | Kolom - Dua dekade telah berlalu sejak bencana dahsyat tsunami melanda Aceh pada 26 Desember 2004. Tragedi ini meninggalkan luka mendalam dan sekaligus menjadi titik balik dalam paradigma mitigasi bencana di Indonesia dan dunia. Namun, sejauh mana kita telah belajar dan beradaptasi dalam menghadapi potensi bencana serupa di masa depan?

Mitigasi bencana tidak hanya berbicara tentang infrastruktur fisik seperti tanggul dan sistem peringatan dini. Lebih dari itu, ini adalah tentang membangun ketahanan sosial melalui edukasi, kebijakan publik, dan penguatan komunitas. Tsunami Aceh menggugah kesadaran akan pentingnya pendekatan holistik yang melibatkan berbagai elemen masyarakat.

Secara struktural, Indonesia telah mengalami kemajuan signifikan. Pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan pengembangan sistem peringatan dini tsunami adalah langkah konkret yang patut diapresiasi. Namun, tantangan terbesar terletak pada implementasi di tingkat lokal. Kesiapsiagaan masyarakat seringkali masih terhambat oleh kurangnya pengetahuan, infrastruktur yang tidak memadai, dan koordinasi antar lembaga yang belum optimal.

Pentingnya memahami dinamika sosial dan budaya dalam upaya mitigasi. Masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana harus dilibatkan secara aktif dalam perencanaan dan pelaksanaan strategi mitigasi. Edukasi bencana harus menjadi bagian integral dari kurikulum pendidikan, dimulai sejak usia dini. Kesadaran dan pengetahuan yang ditanamkan sejak awal akan membentuk budaya siaga bencana yang kuat.

Selain itu, kebijakan publik harus dirancang untuk memperkuat ketahanan sosial. Pembangunan infrastruktur harus mempertimbangkan risiko bencana, sementara tata ruang harus dirancang untuk meminimalkan kerentanan. Di sisi lain, pemerintah harus memastikan bahwa informasi terkait bencana dapat diakses dengan mudah dan cepat oleh seluruh lapisan masyarakat.

Namun, mitigasi bencana bukanlah tanggung jawab pemerintah semata. Sektor swasta, organisasi non-pemerintah, dan komunitas lokal memiliki peran penting dalam membangun ketahanan. Kolaborasi antar sektor ini harus ditingkatkan untuk menciptakan sinergi yang efektif dalam menghadapi ancaman bencana.

Dua dekade setelah tsunami Aceh, kita berada pada titik di mana evaluasi dan refleksi menjadi krusial. Apakah langkah-langkah yang telah diambil cukup efektif? Apakah kita telah membangun masyarakat yang benar-benar tangguh terhadap bencana? Pertanyaan-pertanyaan ini harus terus menjadi pendorong bagi kita untuk tidak berpuas diri, melainkan terus berinovasi dan memperkuat sistem mitigasi bencana.

Pada akhirnya, mitigasi bencana adalah tentang membangun masa depan yang lebih aman dan berkelanjutan. Ini adalah investasi jangka panjang yang membutuhkan komitmen kolektif dari seluruh elemen masyarakat. Dengan pembelajaran dari masa lalu dan persiapan yang matang, kita dapat menghadapi tantangan bencana dengan lebih siap dan tangguh.[**]

Penulis: Firdaus Mirza Nusuary (Dosen Prodi Sosiologi USK, fokus kajian pembangunan sosial, media dan politik)

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI