Senin, 08 September 2025
Beranda / Kolom / Aspirasi atau Popularitas? “Mengurai Dinamika Aksi Damai Mahasiswa Aceh"

Aspirasi atau Popularitas? “Mengurai Dinamika Aksi Damai Mahasiswa Aceh"

Sabtu, 06 September 2025 22:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Hamdan Budiman

Hamdan Budiman, Jurnalis Banda Aceh


DIALEKSIS.COM | Kolom - Aksi demonstrasi mahasiswa di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Banda Aceh, Senin (1/9/2025), kembali menegaskan bahwa semangat perjuangan mahasiswa tak pernah redup di bumi Serambi Mekkah. 

Di tengah lautan massa yang membawa bendera Bintang Bulan dan seruan duka anak-anak korban perang, Ketua DPRA Zulfadhli, A. Md, secara spontan melontarkan tambahan poin: “Pisah dari Pusat.” Biar saya teken,

Pernyataan ini sontak menimbulkan sorotan dan perdebatan. Namun, bagi mereka yang hadir langsung dan merasakan atmosfer orasi-orasi mahasiswa, spontanitas itu bukanlah provokasi yang berdiri sendiri, melainkan bagian dari dialektika politik yang lahir dari ruang aspirasi publik. Apalagi, salah seorang orator dari UIN Ar-Raniry menegaskan bahwa kampusnya tidak pernah berhenti memperjuangkan kemerdekaan Aceh”sebuah penanda bahwa isu pemisahan bukan barang baru dalam sejarah narasi perjuangan Aceh.

Dari tujuh poin yang diusung hari itu, mayoritas terkait hal konkret: pengusutan pelanggaran HAM, penegakan keadilan, dan pemenuhan hak-hak korban konflik. Poin “pisah dengan pusat” hanyalah salah satu corak aspirasi politik yang sah-sah saja disampaikan, terlebih dalam ruang demokrasi yang dijamin konstitusi. Ketua DPRA sebagai representasi lembaga legislatif daerah tentu berhak menyuarakan, walau sekadar menanggapi semangat mahasiswa.

Di sinilah letak persoalan tafsir. Para komentator yang tidak hadir di lokasi kerap terjebak pada narasi hitam-putih, seolah spontanitas Zulfadhli adalah blunder politik, atau ajang mencari popularitas. 

Padahal, tanpa menyelami akar aspirasi mahasiswa dan rakyat yang hadir, analisis semacam itu justru mereduksi makna gerakan moral mahasiswa. Aksi 1 September 2025 bukan sekadar seremonial protes, melainkan suara kolektif yang lahir dari luka sejarah Aceh, dari jejak pelanggaran HAM yang belum dituntaskan, dan dari kerinduan atas keadilan yang belum sepenuhnya tegak.

Karena itu, daripada mengalihkan perhatian pada satu kalimat spontan, jauh lebih penting bagi publik dan elit politik untuk menimbang: apa sesungguhnya isi utama aspirasi mahasiswa? Bagaimana pemerintah pusat dan daerah menindaklanjuti tuntutan pengungkapan kebenaran sejarah, pemulihan korban, dan pemenuhan janji-janji perjanjian damai?

Gerakan mahasiswa Aceh telah lama berdiri sebagai garda moral. Seruan “Hidup Mahasiswa!” pada aksi itu bukan slogan kosong, melainkan ajakan untuk terus berjuang menegakkan keadilan hingga “setegak-tegaknya.” 

Sejarah Aceh membuktikan, suara mahasiswa sering menjadi lentera yang menyingkap arah perjalanan bangsa. Maka, ketimbang mengerdilkan aspirasi dengan kecurigaan, lebih bijak bagi para pemangku kebijakan untuk menjadikannya ruang refleksi dan perbaikan. []

Penulis: Hamdan Budiman, Jurnalis Banda Aceh

Keyword:


Editor :
Redaksi

perkim, bpka, Sekwan
riset-JSI
pelantikan padam
sekwan - polda
damai -esdm
bpka