DIALEKSIS.COM | Kolom - Dari sudut pandang feminisme radikal, bencana alam bukan sekadar peristiwa ekologis atau kejadian alamiah yang berdiri sendiri, melainkan merupakan ruang sosial-politik yang memperlihatkan bagaimana relasi kuasa patriarkal bekerja secara nyata, terutama dalam kondisi krisis.
Feminisme radikal berpandangan bahwa akar ketimpangan gender terletak pada patriarki sebagai sistem dominasi yang mengatur relasi antara laki-laki dan perempuan dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam kebijakan publik, pengelolaan sumber daya, dan penanggulangan bencana.
Dalam konteks bencana alam di Sumatera seperti banjir, longsor, dan gempa bumi, perempuan tidak hanya mengalami kerugian fisik dan ekonomi, tetapi juga mengalami kerentanan struktural yang sudah ada jauh sebelum bencana terjadi. Patriarki telah menempatkan perempuan pada posisi subordinat melalui pembagian kerja berbasis gender, di mana perempuan dilekatkan pada kerja domestik, pengasuhan, dan perawatan.
Ketika bencana terjadi, beban ini tidak berkurang, justru meningkat secara drastis. Perempuan tetap diharapkan mengurus anak, lansia, dan anggota keluarga yang sakit, bahkan dalam kondisi pengungsian yang serba terbatas. Feminisme radikal melihat kondisi ini sebagai bentuk eksploitasi sistematis terhadap kerja reproduktif perempuan yang tidak pernah diakui sebagai kerja penting dalam sistem kebencanaan.
Situasi di pengungsian menjadi contoh paling nyata bagaimana perempuan diabaikan dalam sistem kebencanaan yang patriarkal. Minimnya fasilitas sanitasi yang layak, ketiadaan ruang aman, serta terbatasnya layanan kesehatan reproduksi menunjukkan bahwa tubuh laki-laki dijadikan standar universal dalam perencanaan bantuan. Feminisme radikal memandang perempuan sebagai arena politik, di mana kontrol, pengabaian, dan normalisasi penderitaan perempuan berlangsung secara sistematis. Perempuan harus menyesuaikan diri dengan kebijakan yang tidak dirancang untuk mereka, termasuk menahan kebutuhan biologis, menghadapi risiko kekerasan seksual, dan kehilangan privasi.
Dalam perspektif feminisme radikal, negara dan lembaga kemanusiaan tidak dapat dilepaskan dari kritik. Negara sering mengklaim bersikap netral dan objektif dalam penanganan bencana, tetapi klaim netralitas ini justru menyembunyikan bias patriarkal. Kebijakan yang dianggap “umum” atau “netral gender” pada dasarnya berangkat dari pengalaman laki-laki sebagai norma. Akibatnya, perempuan hanya diposisikan sebagai penerima bantuan pasif atau kelompok rentan, bukan sebagai subjek politik yang memiliki agensi dan otoritas.Ironisnya, di tengah pengabaian struktural tersebut, perempuan justru menjadi aktor utama dalam menjaga ketahanan sosial pascabencana.
Di berbagai wilayah Sumatera, perempuan berperan mengelola dapur umum, mendistribusikan bantuan secara informal, menjaga solidaritas komunitas, dan merawat korban yang paling rentan. Namun, feminisme radikal mengkritik bahwa peran ini sering dipersepsikan sebagai “kodrat” atau perpanjangan dari tugas domestik, sehingga tidak diakui secara formal dalam sistem kebencanaan. Perempuan diberi tanggung jawab besar, tetapi tidak diberikan kekuasaan dan pengakuan politik.
Feminisme radikal menegaskan bahwa masalah utama bukanlah kurangnya sensitivitas individu, melainkan struktur patriarki yang tertanam dalam institusi penanggulangan bencana. Selama struktur pengambilan keputusan didominasi oleh laki-laki dan nilai maskulin -- seperti efisiensi teknis, militerisme, dan hierarki komando -- maka pengalaman perempuan akan terus dipinggirkan.
Penanganan bencana yang berfokus pada infrastruktur dan stabilitas ekonomi sering mengabaikan dimensi perawatan, keamanan, dan kesejahteraan sehari-hari yang justru menjadi kebutuhan utama perempuan. Oleh karena itu, dari perspektif feminisme radikal, solusi yang ditawarkan harus bersifat transformasional, bukan sekadar teknis atau administratif. Integrasi perspektif gender tidak boleh berhenti pada penyediaan fasilitas ramah perempuan, tetapi harus disertai dengan upaya membongkar relasi kuasa patriarkal. Perempuan harus terlibat secara substansial dalam seluruh tahapan penanggulangan bencana -- mulai dari mitigasi, kesiapsiagaan, respons darurat, hingga pemulihan pascabencana -- dengan posisi yang setara dalam pengambilan keputusan.
Dalam kacamata feminisme radikal, bencana alam di Sumatera bukan sekadar fenomena geologis, melainkan manifestasi nyata dari dominasi patriarki. Sistem ini telah mengakar jauh sebelum bencana datang, di mana struktur sosial menempatkan laki-laki sebagai pemegang kendali utama dan perempuan pada posisi subordinat.
1. Eksploitasi Peran Domestik dan Kerja Reproduktif
Bencana seperti gempa dan banjir di Sumatera justru memperberat beban domestik perempuan. Secara sistematis, masyarakat mengharapkan perempuan untuk tetap menjalankan fungsi pengasuhan dan perawatan dalam kondisi darurat tanpa adanya kompensasi atau pengakuan. Feminisme radikal melihat ini sebagai bentuk eksploitasi kerja reproduktif yang dianggap "kodrat", padahal merupakan fondasi ketahanan komunitas yang sering kali diabaikan oleh otoritas kebencanaan.
2. Perempuan sebagai Standar yang Terabaikan
Kebijakan penanganan bencana sering kali bias karena menggunakan pengalaman laki-laki sebagai standar universal. Hal ini terlihat jelas di kamp pengungsian, seperti:
- Akses Sanitasi: Kurangnya fasilitas yang memperhatikan kesehatan reproduksi.
- Ruang Aman: Minimnya perlindungan terhadap ancaman kekerasan seksual.
- Privasi: Pengabaian terhadap kebutuhan biologis spesifik perempuan yang dianggap sebagai isu sekunder.
3. Marginalisasi Pengetahuan dan Otoritas
Kerentanan perempuan bukan disebabkan oleh kelemahan biologis, melainkan karena eksklusi struktural. Di banyak desa di Sumatera, perempuan tidak diberi kursi dalam pengambilan keputusan mitigasi. Akibatnya pengetahuan lokal perempuan terpinggirkan; bantuan yang diberikan bersifat pasif dan tidak menjawab kebutuhan riil di lapangan,; dan “Perempuan hanya dipandang sebagai "korban" (objek), bukan sebagai "pengambil keputusan" (subjek).
4. Kritik terhadap Institusi dan Negara
Negara dan lembaga kemanusiaan sering kali berlindung di balik diksi "netralitas gender". Namun, feminisme radikal menegaskan bahwa kebijakan yang netral sebenarnya adalah kebijakan yang “maskulin”. Selama sistem komando bencana masih mengutamakan efisiensi teknis-militeristik dan pembangunan infrastruktur fisik, dimensi perawatan dan keamanan sosial yang menjadi domain perempuan akan terus dikorbankan.
Penutup
Dalam perspektif feminisme radikal, bencana alam di Sumatera memperlihatkan secara nyata bagaimana patriarki bekerja dan memperdalam ketimpangan gender. Kerentanan perempuan bukan disebabkan oleh faktor alamiah, melainkan oleh struktur sosial dan kebijakan kebencanaan yang bias maskulin, mengabaikan kerja reproduktif, tubuh, serta pengetahuan perempuan. Selama perempuan diposisikan hanya sebagai korban dan penyokong informal tanpa otoritas politik, ketidakadilan akan terus berulang. Oleh karena itu, penanggulangan bencana yang adil menuntut transformasi radikal dengan membongkar relasi kuasa patriarkal dan menempatkan perempuan sebagai subjek utama dalam seluruh proses kebencanaan. [**]
Penulis: Rianita Ovia (Mahasiswa Prodi Ilmu Politik FISIP UIN Ar-Raniry)