Beyond Politik Partai Aceh: Membaca yang Tak Terbaca dari Sosok Mualem
Font: Ukuran: - +
Reporter : Aryos Nivada
Penulis: Aryos Nivada Dosen Ilmu Politik FISIP USK dan Pendiri Lingkar Sindikasi Grub
DIALEKSIS.COM | Kolom - Selama ini, saya kerap mendengar penilaian negatif terhadap Partai Aceh. Partai Aceh disebut tempat berkumpulnya ureung bangai dan dipimpin oleh sosok tidak berkelas intelek - Mualem.
Larinya Tu Sop ke pangkuan Bustami dan direstuinya Dek Fad (padahal tidak lulus seleksi yang dibuatnya Partai Aceh) dinilai sebagai puncak bangai dari Partai Aceh yang dipimpin oleh Mualem. Benarkah?
Sepenuhnya salah! Itu bacaan yang mengabaikan beyond politik dari Partai Aceh. Mencermati gerak Partai Aceh itu sama sekali berbeda dengan gerak partai politik di nasional, yang mudah ditebak arah akhirnya sebagaimana yang kerap dibaca oleh Rocky Gerung.
Partai Aceh dan Mualem jika dibaca secara cermat bisa disebut partai yang cepat belajar, dan akhitnya menemukan identitas politiknya.
Hal ini kurang lebih sama dengan Hasan Tiro yang sukses menemukan identitas gerakannya sehingga sukses memetik dukungan rakyat, dan bertumbuhnya para loyalis untuk memperjuangkan ide merdeka.
Partai Aceh di awal kehadirannya memang diuntungkan oleh soliditas para mantan pejuang yang menghasilkan 33 kursi dari 69 kursi di DPR Aceh (46,91 persen) pada Pemilu 2009.
Mesti masih menjadi pemenang di Pemilu selanjutnya, 2014 (29 kursi) dan 2019 (18 kursi), jumlah kursi Partai Aceh turun. Namun, pada Pemilu 2024 kembali naik menjadi 20 kursi di DPR Aceh.
Mengapa bisa terjadi? Jawabannya karena Mualem sukses mereplikasi DNA spirit gerakan Hasan Tiro dengan merestorasi Partai Aceh sebagai partainya ureung Aceh.
Jika di awalnya hanya ada Abdullah Saleh di Partai Aceh sebagai non kombatan, secara perlahan tapi pasti Mualem membuka pintu bagi semua ureung Aceh untuk bergabung.
Masuklah para aktivis seperti Dahlan Jamaluddin dan Kautsar. Masuk juga jurnalis seperti Muhammad Saleh. Dan bergabung juga para akademisi dan politisi senior yang duduk di Dewan Pakar seperti Nurlis E Meuko dan Sulaiman Abda. Terkini ada Armia Fahmi dari unsur kepolisian yang sudah bergabung dengan Partai Aceh.
Jika Hasan Tiro sukses menjadikan kesadaran merdeka menjadi milik rakyat Aceh maka Mualem sukses menjadikan Partai Aceh sebagai rumoh rayeuk politik rakyat Aceh.
Jika pun tidak memungkinkan seluruhnya karena ada partai nasional di Aceh namun Mualem menggantikannya dengan dibentuknya Koalisi Aceh Bermarabat. Dengan begitu Mualem mampu menjaga pengaruh politiknya di dewan dalam rangka mengawal eksekuif.
Pesona politik Mualem semakin bersinar dan nilai pengaruhnya hingga menjangkau nasional. Paska Pileg 2024, hampir seluruh ketua partai nasional masuk dalam pusaran Mualem dengan harapan dipinang sebagai calon wakilnya dalam kompetisi Pilkada 2024 Aceh.
Dengan begitu penilaian bahwa Partai Aceh bangai dan Mualem tidak intelek terbantahkan. Mualem benar bukan politisi yang lahir dari lingkungan kampus. Namun, Mualem sosok pembelajar dari perjalanan kehidupan dibawah asuhan guru Hasan Tiro. Dan sebutan Mualem yang melekat kepadanya dibuktikan dengan kecerdasan politik.
Puncaknya, satu persatu partai nasional yang dipimpin oleh orang pintar atau dikelilingi oleh orang-orang cerdas memberi dukungan politik kepadanya. Partai Gerindra, Partai Gerindra dan PDIP jelas bukan partai sembarangan. Apakah kepada mereka layak disebut partai bangai karena sudah mendukung Mualem untuk menjadi calon gubernur Aceh?
Munculnya Bustami Hamzah sebagai calon gubernur Aceh dan larinya Tu Sop dari Mualem juga bagian dari kecerdasan politik Mualem, termasuk hadirnya nama Dek Fad yang sementara disebut sebagai calon wakilnya.
Orang-orang langsung membaca itu sebagai tanda bangainya Mualem. Padahal, Mualem sedang memetakan gerak aktor politik di Aceh sehingga tidak terulang apa yang pernah dialaminya saat bersama Abu Doto atau apa yang dialami Irwandi dengan Nazar dan Irwandi dengan Nova Iriansyah.
Begitu Mualem membenarkan wakilnya adalah Dek Fad, Tu Sop yang selama ini sangat dekat dengannya lari berserta sebagaian ulama yang selama ini sangat dekat dengannya.
Sebelumnya, orang yang pernah ditolongnya yaitu Bustami Hamzah juga tidak kuat dengan godaan politik. Termasuk Kautsar dan Humam Hamid yang juga sangat dekat dengannya. Semuanya lari dan tidak setia.
Silahkan bayangkan dampak politik yang bakal dialami oleh Mualem dengan tingkat kerapuhan kesetiaan sedemikian rupa. Jelas bahaya akan mencengkram dirinya.
Padahal, dalam politik tujuan yang tidak bisa dihindari adalah mencapai kemenangan politik. Mestinya, jika memang setia, semua pendukung Mualem harusnya punya kesadaran bagaimana mencapai kemenangan, bukan melakukan aksi politik dengannya.
Dengan keluarnya orang-orang rapuh secara politik di Partai Aceh, maka Mualem jadi punya kesempatan untuk menimbang kembali wakil yang tepat. Tepat karena bisa menambah suara. Tepat karena dapat menjadi solididas partai dan koalisi. Dan, tepat untuk menjadi pemenang di Pilkada 2024. Itulah Muzakir Manaf yang memang layak dipanggil Mualem. Dan inilah sejatinya beyond politik Partai Aceh. []