Sabtu, 08 November 2025
Beranda / Kolom / Biaya Hidup Melonjak dan Krisis Pekerjaan di Indonesia: Tinjauan Filsafat Ilmu

Biaya Hidup Melonjak dan Krisis Pekerjaan di Indonesia: Tinjauan Filsafat Ilmu

Jum`at, 07 November 2025 08:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Teuku Alvinnur

Teuku Alvinnur, mahasiswa magister di Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh. [Foto: HO/dokumen untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Kolom - Dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat Indonesia hidup dalam ketegangan ekonomi yang semakin terasa nyata. Kenaikan harga bahan pokok, keterbatasan lapangan kerja, dan ketidakpastian ekonomi menjadi topik utama di warung kopi, ruang keluarga, hingga sidang parlemen. 

Fenomena ini bukan sekadar problem ekonomi ia merupakan potret krisis kemanusiaan dan krisis ilmu pengetahuan dalam memahami kesejahteraan manusia.

Kita sering mendengar istilah “pertumbuhan ekonomi Indonesia meningkat,” tetapi di sisi lain, masyarakat di lapisan bawah justru merasa hidupnya semakin berat. Maka, perlu refleksi yang lebih dalam: apakah ilmu ekonomi yang kita anut masih berpihak pada manusia, atau justru terjebak dalam logika pasar semata?

Melalui pendekatan filsafat ilmu, kita dapat menelusuri akar masalah ini secara lebih mendalam melihat hakikat realitasnya (ontologi), cara kita mengetahuinya (epistemologi), dan nilai yang seharusnya menuntun solusi (aksiologi).

Kajian Ontologis: Hakikat Krisis dan Realitas Manusia

Kajian ontologis berfokus pada pertanyaan: apa yang sebenarnya ada? Apa hakikat dari krisis ekonomi yang tengah melanda masyarakat Indonesia?

Secara ontologis, krisis biaya hidup dan sulitnya pekerjaan bukan hanya fenomena angka atau grafik ekonomi, melainkan fenomena kemanusiaan. Di balik data inflasi dan statistik pengangguran, terdapat manusia-manusia nyata yang berjuang mempertahankan martabat hidupnya para ibu rumah tangga yang mengatur uang belanja yang tak cukup, para pemuda yang kehilangan semangat mencari kerja, dan para pekerja yang upahnya tak sebanding dengan harga beras yang terus naik.

Realitas seperti ini menegaskan bahwa ilmu ekonomi tidak boleh dipahami hanya sebagai sistem mekanis yang tunduk pada hukum pasar. Secara ontologis, ilmu ekonomi adalah ilmu tentang manusia dan kesejahteraannya, bukan sekadar tentang angka, modal, dan laba.

Sayangnya, paradigma pembangunan yang dominan di Indonesia cenderung positivistik dan materialistik. Manusia ditempatkan sebagai objek produksi, bukan subjek kehidupan. Orientasi pembangunan hanya diukur dari pertumbuhan ekonomi, bukan dari pertumbuhan nilai dan kebahagiaan manusia.

Padahal, menurut pandangan filsafat ilmu, realitas sosial-ekonomi memiliki dimensi materi dan makna. Kenaikan harga beras bukan hanya peristiwa pasar, melainkan cerminan hilangnya keseimbangan antara sistem ekonomi dan moralitas publik. Maka, memahami krisis ekonomi harus berangkat dari pemahaman bahwa realitas manusia bersifat multidimensional: ekonomi, sosial, etis, dan spiritual.

Dengan kata lain, ontologi kesejahteraan tidak bisa dilepaskan dari hakikat kemanusiaan itu sendiri.

Kajian Epistemologis: Krisis Pengetahuan dan Kebenaran Sosial

Dimensi epistemologi bertanya: bagaimana kita mengetahui bahwa krisis ini benar-benar terjadi? Apa sumber pengetahuan yang kita gunakan untuk memahami realitas sosial ini?

Sering kali, kita terjebak pada klaim pengetahuan yang datang dari institusi resmi. Pemerintah merilis data bahwa inflasi terkendali dan angka pengangguran menurun. Namun di lapangan, masyarakat mengeluh bahwa harga-harga tetap tinggi, gaji tak mencukupi, dan lapangan pekerjaan semakin sulit.

Inilah yang disebut oleh filsafat ilmu sebagai krisis epistemologis: ketika kebenaran yang diakui secara resmi tidak lagi sejalan dengan pengalaman empiris masyarakat. Dalam epistemologi klasik, kebenaran seharusnya memiliki kesesuaian antara fakta dan pengalaman, antara konsep dan realitas. Namun dalam situasi kita, ada jarak antara “pengetahuan pemerintah” dan “pengetahuan rakyat”.

Epistemologi filsafat ilmu mengajak kita untuk menggugat sumber kebenaran tunggal. Kebenaran tidak hanya datang dari data statistik atau laporan resmi, tetapi juga dari kesaksian pengalaman hidup masyarakat. Dalam konteks ini, epistemologi sosial menegaskan pentingnya pengetahuan partisipatif, di mana realitas sosial dipahami dari suara orang-orang yang mengalaminya.

Selain itu, epistemologi juga mengajarkan pentingnya kejujuran ilmiah dan keterbukaan. Ilmu ekonomi yang hanya menjadi alat justifikasi kebijakan tanpa keberpihakan pada rakyat kecil, kehilangan fungsi utamanya sebagai ilmu yang memanusiakan. Filsafat ilmu menolak reduksi kebenaran hanya pada yang “terukur” secara matematis, sebab kebenaran sosial juga memiliki dimensi moral dan kemanusiaan yang tak bisa diukur dengan angka.

Oleh karena itu, krisis ekonomi Indonesia bukan hanya krisis sumber daya, melainkan krisis pengetahuan ketika pengetahuan kehilangan kedalaman moral dan kepekaan sosialnya.

Kajian Aksiologis: Nilai, Keadilan, dan Tujuan Ilmu

Dimensi aksiologi menanyakan: untuk apa ilmu itu digunakan? Apa nilai yang seharusnya mendasari penerapan ilmu ekonomi dan kebijakan publik?

Dalam perspektif aksiologi, ilmu tidak pernah bebas nilai (value-free). Setiap kebijakan publik membawa orientasi moral tertentu baik disadari maupun tidak. Maka pertanyaannya: nilai apa yang menjadi dasar sistem ekonomi kita? Apakah nilai keadilan sosial, atau nilai efisiensi pasar?

Dalam kenyataannya, arah pembangunan di Indonesia cenderung dikuasai oleh rasionalitas instrumental, yaitu rasionalitas yang hanya mengejar efisiensi dan keuntungan. Ilmu ekonomi modern beroperasi dengan logika pasar bebas yang sering kali menyingkirkan nilai-nilai kemanusiaan. Akibatnya, banyak kebijakan ekonomi yang “rasional” di atas kertas, tetapi “tidak manusiawi” di lapangan.

Aksiologi filsafat ilmu menuntut agar ilmu diarahkan untuk kemaslahatan dan keadilan sosial. Ilmu ekonomi harus kembali berakar pada nilai moral: kesejahteraan manusia, solidaritas sosial, dan keberlanjutan hidup.

Maka, solusi terhadap krisis biaya hidup dan pekerjaan tidak cukup dengan kebijakan teknis, tetapi harus menyentuh nilai dasar kehidupan bersama, antara lain:

1. Menegakkan prinsip keadilan distributif dalam kebijakan harga dan upah.

2. Memperkuat pendidikan dan pelatihan kerja sebagai investasi kemanusiaan, bukan sekadar kebutuhan industri.

3. Menumbuhkan etika kebersamaan dan tanggung jawab sosial di kalangan pemilik modal dan pejabat publik.

4. Menghidupkan ekonomi lokal dan kearifan masyarakat agar kemandirian ekonomi tidak tergantung pada struktur kapitalistik global.

Aksiologi mengingatkan kita bahwa ilmu dan kebijakan tanpa nilai hanyalah mesin tanpa arah. Seperti kata Max Scheler, manusia bukan hanya makhluk yang berpikir (homo sapiens), tetapi juga makhluk yang bernilai (ens axiologicum). Maka, kebijakan ekonomi yang sejati adalah yang menghormati martabat manusia sebagai pusat dari segala aktivitas ekonomi.

Krisis Ilmu dalam Masyarakat Modern

Jika ditelusuri lebih jauh, krisis biaya hidup dan pekerjaan ini sesungguhnya mencerminkan krisis filsafat ilmu itu sendiri.

Ilmu modern yang berkembang sejak abad ke-17 membangun dunia atas dasar rasionalitas dan efisiensi. Namun di abad ke-21, kita menyadari bahwa rasionalitas yang tidak diimbangi moralitas justru melahirkan penderitaan baru. Kemajuan teknologi, sistem ekonomi digital, dan globalisasi pasar ternyata tidak otomatis membuat manusia bahagia.

Dalam perspektif filsafat ilmu, ini disebut sebagai “dehumanisasi ilmu” ketika ilmu kehilangan orientasi etisnya dan hanya berfungsi untuk kepentingan kekuasaan ekonomi. Manusia menjadi instrumen dari sistem, bukan subjek yang menentukan arah pengetahuan.

Sebagai bangsa yang memiliki warisan moral dan spiritual yang kuat, Indonesia seharusnya membangun paradigma ilmu yang integratif, bukan dualistik. Ilmu harus menggabungkan unsur rasional dan etis, empiris dan spiritual, teknis dan moral. Dalam konteks ekonomi, ini berarti mengembalikan manusia ke posisi sentral bukan sekadar sebagai konsumen atau tenaga kerja, melainkan sebagai makhluk bermartabat yang berhak atas kesejahteraan yang adil.

Rekonstruksi Ilmu dan Jalan Filsafat untuk Indonesia

Apa yang bisa dilakukan untuk keluar dari krisis epistemik dan aksiologis ini?

Pertama, kita perlu reorientasi epistemologi ilmu ekonomi dan sosial di Indonesia. Ilmu tidak boleh hanya meniru paradigma Barat yang individualistik, tetapi harus dibangun di atas nilai-nilai kearifan lokal dan spiritualitas bangsa. Ilmu harus memihak pada bonum commune kebaikan bersama, bukan keuntungan pribadi.

Kedua, pendidikan tinggi harus kembali mengajarkan filsafat ilmu sebagai dasar berpikir kritis. Mahasiswa, peneliti, dan birokrat perlu dilatih untuk tidak hanya berpikir “apa yang efisien”, tetapi juga “apa yang bermoral dan manusiawi”. Pendidikan ekonomi yang kering dari filsafat hanya akan menghasilkan teknokrat yang cerdas menghitung, tetapi miskin empati.

Ketiga, setiap kebijakan publik harus melalui refleksi aksiologis sejauh mana ia membawa manfaat bagi rakyat kecil dan menjaga keseimbangan sosial. Ilmu dan kebijakan tanpa nilai kemanusiaan hanya akan memperdalam ketimpangan.

Dengan demikian, filsafat ilmu bukanlah disiplin abstrak yang jauh dari kehidupan, tetapi cahaya penuntun dalam memahami dan memperbaiki realitas sosial kita.

Menemukan Kemanusiaan dalam Ilmu

Krisis biaya hidup dan pekerjaan di Indonesia adalah panggilan reflektif bagi bangsa ini untuk meninjau ulang cara berpikirnya tentang ilmu, ekonomi, dan manusia.

Secara ontologis, kita diingatkan bahwa kesejahteraan bukan sekadar angka ekonomi, tetapi hakikat kemanusiaan.

Secara epistemologis, kita belajar untuk tidak menelan kebenaran resmi tanpa mengujinya dengan realitas rakyat.

Dan secara aksiologis, kita diajak menegakkan nilai keadilan, kemaslahatan, dan empati sosial dalam setiap kebijakan dan ilmu pengetahuan.

Ilmu sejati, kata filsafat, bukanlah yang membuat manusia lebih kaya, tetapi yang membuat manusia lebih manusiawi.

Selama ilmu dan kebijakan masih berpihak pada nilai kemanusiaan, maka bangsa ini memiliki harapan untuk keluar dari krisis, menuju masyarakat yang adil, makmur, dan bermartabat. [**]

Penulis: Teuku Alvinnur, S.Pd., (mahasiswa magister di Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh dan memiliki ketertarikan pada isu-isu filsafat ilmu, pendidikan, dan keislaman)

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI