kip lhok
Beranda / Kolom / Bila Bernegara Tak Beridentitas

Bila Bernegara Tak Beridentitas

Minggu, 11 Desember 2022 08:30 WIB

Font: Ukuran: - +


Oleh: Otto Syamsuddin Ishak

Jelang 2024, isu penolakan politik identitas semakin massif. Lalu, muncul peristiwa pemukulan imam masjid (di Bekasi) oleh individual, yang kemudian dilabel tidak waras. Muncul lagi aksi teroris (di Bandung), yang pelakunya disebut penyidik mantan Napi terorisme anggota JAD.

Ada praktek berpolitik yang bagaimanakah yang sedang dikembangkan dalam mengelola Indonesia?

Sementara, hutang negara di dalam periode rezim sekarang terus meroket. Isu covid dengan varian baru diroketkan kembali. Proyek pembangunan yang mangkrak kian terpublikasi. Perentalan lahan ke pihak investor (asing) kian marak.

Pelelangan territorial (kepulauan) dilakukan. Sarana public yang lebih murah dimatikan untuk berjalannya sarana baru yang lebih mahal (kereta cepat). Sarana umum seperti jalan tol mulai dilelang. Krisis pangan dihembuskan, tapi rezim justru membeli beras pada petani di negara asing (impor).

Kesenjangan kaya-miskin kian meroket. Saya jadi teringat pada hadist-yang dianggap lemah-bahwa kemiskinan dekat dengan kekufuran. Lalu, kita lihat yang dianggap atau dibunuh sebagai teroris cenderung orang miskin, dan tinggal di pemukiman miskin, serta tak teridentifikasi berasal dari keluarga yang dekat dengan pesantren atau jamaah pengajian di kampungnya. Agak misterius yang disubyekkan sebagai teroris.

Perpolitikan di Indonesia kian marak dengan penolakan politik identitas, sekaligus dipakai untuk “membunuh” lawan politik (di dalam pencapresan, 2024, yang belum dipastikan terjadi). Selain itu juga dimarakkan tindakan doksing (mengungkit dan menyebarkan aib) dan hoaks (informasi rekayasa untuk menutup yang sebenarnya), yang sumber datanya dari Lembaga resmi, tapi diviralkan oleh buzer bayaran rezim atau oligarki.

Apakah yang akan terjadi jelang, pada dan pasca 2024 di Indonesia?

Jika saya mempertimbangkan perbenturan wacana berpolitik di Indonesia saat ini, maka saya terbayang kembali wacana agama dan berpolitik di masa kolonial di nusantara, khususnya di Aceh.

Tentu pada saat itu, buzzer tidak dikenal oleh rezim kolonial. Mereka justru menggunakan akademisi, hingga berkembang varian akademik orientalisme. Salah satunya adalah Christiaan Snouck Hurgronje (1857-1926).

Jadi, beda rezim, beda zaman, beda wataknya. Dulu, untuk menaklukkan suatu subyek politik, yakni Islam, maka rezim menggunakan akademisi. Sekarang rezim cenderung menggunakan buzzer.

Jika dahulu melahirkan bidang ilmu orientalisme, maka bidang ilmu apakah yang dilahirkan buzzer? Jika dahulu Snouck melahirkan Lembaga birokratisasi Islam (Depag), maka buzzer sekarang melahirkan Lembaga birokratisasi apa?

Bila dahulu Snouck sampai bersusah payah untuk menyusup ke Mekkah, untuk belajar Islam dan kehidupan keagamaan orang Aceh khususnya; maka kemanakah para buzzer mempelajari agama Islam dan komunitasnya?

Dalam lain kata, bila Snouck melakukan strukturalisasi Islam sehingga melahirkan sebuah Lembaga negara; maka buzzer melakukan dekulturalisasi Islam (pengacauan) sehingga melahirkan instrument negara yang (bebas) menggunakan kekerasan untuk menundukkan.

Oleh karena itu, kejadian yang berpotensi pelanggaran HAM yang berat bermunculan, di antaranya tindakan aparat sindikasi Sambo pada KM 50, dan mungkin juga terjadi pelanggaran HAM pada perekayasaan individu untuk menjadi actor bom bunuh diri dari komunitas yang tak memiliki sejarah jihad sepanjang perpolitikan di Nusantara ini.

Sindikat islamophobia mengkonstruksi individu muslim menjadi actor kekerasan-yang sudah barang tentu bukan dengan menyuntikkan varian keislaman, melainkan bisa jadi memformat dengan sabu-sabu atau narkotika.

Dalam lain kata, sebenarnya hal demikian adalah proyek penghancuran ketangguhan ketahanan nasional itu sendiri. Aparat negara sedang melakukan aksi bunuh diri nasional.

Jika demikian wacana politik di dalam bernegara yang kian marak diarus-utamakan, maka semakin potensial kekacauan di nusantara ini jelang, pada, dan pasca 2024 kelak.

Instrumen kekerasan yang dikendalikan rezim akan berbenturan dengan jamaah yang menolak dibunuh oleh negara (pelanggaran HAM yang berat). Lalu apa jadinya bila sindikat pelaku tidak atau tanpa identitas? Tentu hukum yang adil tidak bisa ditegakkan sampai negara hukum itu sendiri runtuh dengan sendirinya!*

*Penulis adalah sosiolog, mantan komisioner Komnasham, dan alumni PPSA-XX Lemhanas.


Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda