BPMA Untuk Siapa?
Font: Ukuran: - +
Reporter : Jaka Rasyid
Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA) memilih Pulau Batam sebagai tempat operasi transisi darat (onshore support facilities) untuk kegiatan pengeboran cadangan migas oleh KKKS Repsol di lepas pantai Pidie Jaya (Pijay). Lalu BPMA yang kini dipimpin Azhari Idris sebagai Pelaksana Tugas Kepala BPMA hadir untuk siapa, dan apakah Aceh tidak layak?
BPMA lahir dari kesepakatan perjanjian damai antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang melahirkan Undang Undang Pemerintah Aceh Nomor 11 Tahun 2006. Pada bagian keempat, pengelolaan Sumber Daya Alam migas diatur.
Pasal 160 menjadi dasar lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Bersama Sumber Daya Alam Minyak dan Gas Bumi di Wilayah Kewenangan Aceh.
Untuk mewujudkan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2015 selanjutnya Pemerintah bersama dengan Pemerintah Aceh membentuk sebuah badan pelaksana yang disebut dengan Badan Pengelola Migas Aceh atau disingkat BPMA, karena itu BPMA merupakan salah satu produk politik yang lahir dari proses negosiasi dan realisasi kesepakatan perjanjian perdamaian antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Berdasarkan PP Nomor 23 Tahun 2015, BPMA dimandatkan memberikan multiplier effect kepada rakyat Aceh. BPMA berdasarkan tugas dan tanggungjawabnya adalah sebagai pelaksana pengawasan dan pengendalian kegiatan usaha hulu migas yang dilakukan oleh Kontraktor Kerja Sama di Wilayah Kewenangan Aceh baik di darat dan di laut (di bawah 12 mil).
Keberhasilan dalam pelaksanaan tugas dan tanggungjawab tidak saja memberikan pendapatan dari bagi hasil migas kepada Pemerintah Aceh, namun juga memberikan manfaat kemakmuran sebesar-besar mungkin kepada rakyat Aceh.
Terciptanya lapangan kerja baru, meningkatnya perekonomian di kawasan, terserapnya tenaga kerja baru yang berasal dari generasi muda Aceh, meningkatnya kualitas pendidikan dan tereksplorasinya wilayah-wilayah atau blok-blok migas yang selama ini tidak tersentuh pasca perdamaian.
Dalam mengukur dan menentukan BPMA dapat melaksanakan tugas dan fungsinya tentunya sangat tergantung dari siapa yang akan memimpin badan tersebut dan siapa saja yang akan menjalankan tugas strategis yang telah dimandatkan didalam PP No 23 Tahun 2015. Sudah tentu jawabannya adalah mereka yang memiliki tingkat professionalitas yang mumpuni.
Pemerintah Aceh, sesuai amanat PP 23, melakukan seleksi dengan mengumumkan secara terbuka kemasyarakat untuk menyaring pimpinan BPMA melalui Fit & Proper Test dalam rangka mendapatkan 3 orang kandidat yang terbaik untuk diajukan ke Mentri ESDM yang selanjutnya akan melakukan F&P lagi terhadap tiga kandidat tersebut dan memilih satu orang sebagai Kepala BPMA.
Pemerintah RI dalam hal ini dilaksanakan oleh Kementerian ESDM pada tanggal 23 Maret 2016 mengangkat dan melantik Marzuki Daham sebagai Kepala BPMA. Selama masa tugas beliau bersama dengan tim yang dibentuk oleh Pemerintah Aceh dan bersama dengan tim yang ditunjuk oleh Kementerian ESDM melalui SKK Migas telah berhasil merancang perencaan keuangan kebutuhan organisasi BPMA sampai dengan terlaksananya penyeleksian staf profesional BPMA.
Marzuki Daham pada bulan Agustus 2018 harus meletakan jabatannya karena sudah memasuki usia pensiun dan ini sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan oleh Badan Kepegawaian Negara (bagi pejabat pimpinan tinggi dan pejabat fungsional madya).
Untuk mengisi kekosongan posisi jabatan Kepala BPMA, Pemerintah Aceh yang diwakili oleh Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf mengusulkan pengangkatan Azhari Idris (seorang pegawai menengah di SKK Migas) sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Kepala BPMA kepada Kementerian ESDM.
Pengusulan nama Azhari Idris dilakukan atas pertimbangan Gubernur Aceh yang menganggap Azhari Idris telah banyak membantu Pemerintah Aceh sampai terbentuk dan beroperasinya BPMA. Dan juga kemunculan nama Azhari Idris juga mungkin didasari oleh kepentingan Pemerintah Aceh dalam menjaga hubungan yang baik dengan pemerintah pusat dalam memperlancar urusan BPMA khususnya menyangkut pengusulan anggaran kepada Kementerian Keuangan melalui Dirjen Migas-Kementerian ESDM, dan pelaksanaan proses hand-over kewenangan, tupoksi dari SKK Migas kepada BPMA.
Irwandi saat itu juga meminta Marzuki Daham sebagai Penasehat Plt Kepala BPMA, permintaan itu dilakukan oleh Gubernur Aceh sebelum mengajukan pengusulan Azhari Idris sebagai Plt Kepala BPMA kepada Menteri ESDM.
Penunjukan Marzuki Daham sebagai penasehat Plt Kepala BPMA menjadi persyaratan utama yang harus laksanakan oleh Azhari Idris. Pertimbangannya karena latar belakang pendidikan Azhari yang tidak berhubungan dengan migas, Azhari adalah alumni IAIN dan masih minim pengalaman dan jaringan pada Industri migas ini. Hadirnya Marzuki sebagai penasehat untuk melengkapi kebutuhan BPMA.
Pada Mei 2018, nama Azhari Idris melalui Surat Keputusan Menteri ESDM Nomor 22.Pr/73/mem/2018, ditunjuk sebagai Plt. Kepala BPMA mulai Agustus 2018.
Usai ditunjuk sebagai Pelaksana Tugas, Azhari Idris memulai babak baru BPMA, lembaga yang menangani migas Aceh kehilangan arah, konflik internal terjadi, terlebih dengan pengingkaran janji terhadap penempatan Marzuki Daham sebagai penasehat lembaga itu.
Apalagi Azhari Idris tidak sepenuhnya menguasai lini bisnis migas apalagi terkait dengan penentuan skema kontrak bagi hasil yang sangat mempengaruhi kedudukan BPMA dan Pemerintah Aceh secara khusus. Keputusan Azhari berakibat fatal dan merugikan Aceh ke depan.
Secara hukum Azhari Idris sudah sah menjabat Plt melalui Keputusan Menteri ESDM, Masa tugas Kepala BPMA paling lama 12 bulan, dan dapat diperpanjang satu kali merujuk pada PP Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS.
BPMA yang dinahkodai oleh Azhari Idris juga tidak merujuk kepada apa yang telah diatur didalam PP Nomor 23 Tahun 2015 sebagai pedoman dasar pelaksanaan pengelolaan migas bersama. Tidak hanya itu, tanpa penasehat sudah pasti apa yang diputuskan atau ditetapkan oleh Plt. Kepala BPMA akan keluar dari objektif organisasi karena ketidaktahuan dan ketidakmampuan Plt Kepala dalam menguasai lini bisnis migas.
Oleh karena itu setiap tindakan, keputusan dan kebijakan yang diambil oleh Plt Kepala tanpa terlebih dahulu berdiskusi dengan penasehat pada akhirnya membuat pegawai BPMA terbentur satu sama lain sehingga mengakibatkan terjadinya konflik didalam internal BPMA itu sendiri.
Keraguan Irwandi Yusuf pada Azhari akhirnya terjadi, kesalahan penggunaan kekuasaan dan wewenang mulai dirasakan di lembaga tersebut, pada September 2018 Azhari sebagai Plt Kepala BPMA melakukan perekrutan pegawai administrasi kontrak secara tertutup atau tidak mengumumkan kepada publik melalui media cetak online terkait perekrutan pegawai kontrak tersebut.
Plt Kepala BPMA menggunakan Kepala Divisi SDM dan segelintir pegawai BPMA untuk melaksanakan perekrutan pegawai kontrak secara tertutup dan ini tentunya menyalahi PP Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS dan PP Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja.
Selain melanggar peraturan pemerintah Plt. Kepala BPMA juga dianggap telah melanggar Undang Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan juga dianggap telah melanggar Surat Ederan Kepala Kepegawaian Negara Nomor K.26-30/V/.20-3/99 Tahun 2016, yang mana menyebutkan: UU Nomor 30 Tahun 2014, Pasal 14 Ayat 7: "Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh Wewenang melalui Mandat tidak berwenang mengambil Keputusan dan/atau Tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status hukum pada aspek organisasi, kepegawaian (pegangkatan, pemindahan dan pemberhentian), dan alokasi anggaran."
Berikutnya Azhari mengangkat atau menaikkan pangkat pegawai BPMA yang dianggap bisa diajak bekerjasama dari posisi terendah menjadi Kepala Divisi. Keputusan ini diambil dengan melibatkan Kepala Divisi SDM BPMA. Keputusan yang diambil oleh Plt. Kepala juga menyalahi UU Nomor 30 Tahun 2014 dan Surat Ederan Kepala Kepegawaian Negara Nomor K.26-30/V/.20-3/99 Tahun 2016.
Selain menyalahi aturan keputusan yang diambil juga semakin memperkeruh konflik internal BPMA dan dari sinilah terbentuk kubu oposisi Plt Kepala BPMA.
Selain itu Azhari juga mengangkat atau menaikkan pangkat sebagian Kepala Divisi BPMA menjadi Kepala Deputi didalam organisasi BPMA. Keputusan ini juga dilakukan untuk memperkuat dan untuk mendukung rencana Plt Kepala BPMA dalam membawa BPMA sesuai keinginannya.
Keputusan dan ketetapan ini dilakukan pada awal tahun 2019, dimana jika dihitung-hitung belum berjalan lebih dari enam bulan pegawai BPMA dalam menjalankan fungsinya sudah semudah itu mendapatkan promosi kenaikan pangkat, dan tentunya dalam waktu sesingkat itu belum ada kontribusi apapun dari pegawai BPMA kepada organisasi apalagi kepada Aceh.
Hal lain adalah melakukan perekrutan pegawai BPMA tahap kedua pada bulan Mei 2019. Pelaksanaan ini juga bertentangan dengan kewenangan Plt Kepala sesuai dengan yang telah diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 dan Surat Ederan Kepala Kepegawaian Negara Nomor K.26-30/V/.20-3/99 Tahun 2016.
Tanpa Penasehat Plt Kepala BPMA semakin keluar dari tujuan organisasi terutama dalam menjalankan tugas dan fungsi BPMA. Tidak hanya itu ternyata Azhari tidak hanya salah dalam menggunakan kekuasaan yang diberikan oleh Kementerian ESDM atas rekomendasi dari Gubernur Aceh.
Berikut ini adalah sejumlah kewenangan yang seharusnya dilakukan tetapi tidak dilaksanakan oleh Plt. Kepala, sehingga mengakibatkan organisasi BPMA mulai dari terbentuk sampai dengan terisi oleh pegawai bisa dikatakan tidak memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) untuk penyelenggaraan adminstrasi, kepegawaian, pelaksanaan teknis, kedisiplinan sampai dengan SOP terkait dengan kegiatan-kegiatan khusus yang harus dimiliki oleh BPMA dalam mengukur dan menentukan pencapaian kinerja BPMA bersama dengan pegawai di dalamnya.
Jika kembali merujuk pada Pasal 49 UU Nomor 30 Tahun 2014 dan Surat Edaran Kepala Kepegawaian Negara Nomor K.26-30/V/.20-3/99 Tahun 2016 seorang Plt. Kepala memiliki kewenangan yang meliputi, menetapkan sasaran kerja pegawai dan penilaian prestasi pegawai, menetapkan kenaikan gaji berkala, menetapkan cuti selain cuti di luar tanggungan, menetapkan surat penugasan pegawai, menyampaikan usul mutasi pegawai kecuali perpindahan antar instansi, memberikan izin belajar, dan mengikuti seleksi jabatan pimpinan tinggi/administrasi dan izin tidak masuk kerja.
Dari sejumlah kewenangan di atas tentunya sudah lebih awal dirancang dan disusun kedalam SOP agar rencana kerja dan pelaksanaan pengawasan dan pengendalian kontraktor kontrak kerja sama dapat berjalan optimal.
Kinerja Azhari Idris yang rapuh semakin memperburuk situasi, ini terlihat dari KKKS Triangle Pase Inc yang gagal menemukan cadangan gas pada kegiatan drilling Mei – Juni 2019.
Ini adalah dampak dari perpanjangan hubungan kerja sama antara BPMA dengan SKK Migas yang dilakukan oleh Plt Kepala BPMA sehingga menghambat terlaksananya fungsi pengawasan dan pengendalian Kegiatan Usaha Hulu Migas di Aceh dengan diperpanjangnya perjanjian kerjasama antara BPMA dengan SKK Migas yang seharusnya.
Berakhir pada April 2019 menjadi indicator terjadinya kegagalan pada pelaksanaan pengawasan dan pengendalian KKKS Triangle Pase Inc (TPI) dalam melakukan pengeboran di Blok Pase pada tahun 2019.
Perjanjian kerja sama antara BPMA dengan SKK Migas mencakup proses on boarding pegawai BPMA agar lebih mudah memahami konsep bisnis dan regulasi yang harus dijalankan, pelaksanaan proses peralihan dokumen migas dari SKK Migas kepada BPMA, dan juga dengan diperpanjangnya perjanjian kerjasama ini berdampak pada keterbatasan pegawai BPMA dalam mengambil alih pelaksanaan yang bersifat teknis seperti penyetujuan dan evaluasi kegiatan pemboran secara langsung oleh TPI.
Kegagalan TPI dalam melakukan pengeboran disebabkan karena kesalahan teknis pada saat pengeboran.
SKK Migas karena masih memiliki keterikatan perjanjian kerjasama maka sepenuhnya kegiatan yang masih bersifat teknis belum sepenuhnya bisa diserahkan kepada pegawai BPMA. Akhirnya di saat terjadi kegagalan pengeboran maka dampak tersebut secara langsung mencerminkan bahwa BPMA tidak mampu mengendalikan dan mengarahkan kegiatan yang bisa mendatangkan pendapatan baru bagi Aceh dari penemuan sumber baru migas di Blok Pase.
Anggaran Belanja Habis Pertengahan Tahun
Ketidakmampuan Plt Kepala BPMA Azhari Idris dalam memimpin BPMA semakin terus terlihat, selain salah dalam menggunakan kewenangan juga dianggap tidak mampu menjaga organisasi beroperasi sebagaimana mestinya.
Dampak dari kesalahan yang dilakukan tanpa disadari telah mengakibatkan terkurasnya anggaran belanja BPMA sehingga kegiatan pengawasan dan pengendalian Kontraktor Kontrak Kerja Sama Wilayah Kewenangan Aceh tidak bisa lagi diawasi dan dikendalian secara langsung karena tidak tersedianya dana untuk pelaksaan perjalanan dinas, pegawai BPMA tidak bisa meningkatkan kualitas performance melalui training dan sertifikasi.
Penyebab terkurasnya anggaran belanja BPMA dapat diindentifikasi dari: pengangkatan pangkat/golongan Kepala Divisi menjadi Kepala Deputi, dimana selisih gaji antara kepala divisi dengan kepala deputi hampir mencapai 80% dari upah dasar kepala divisi.
Pengangkatan pegawai dari level terendah menjadi Kepala Divisi juga mengakibatkan terkuras anggaran karena selisih anggaran yang harus dikeluarkan melebihi 200% dari upah dasar staf yang diangkat.
Perekrutan tenaga kerja kontrak admin secara tertutup juga telah menguras anggaran belanja BPMA yang seharusnya bisa digunakan untuk meningkatkan kualitas kinerja dan performa melalui kegiatan training terpadu dan sertifikasi pegawai BPMA sesuai dengan kebutuhan yang dipersyarakatkan untuk mengawasi kegiatan usaha hulu migas.
Perekrutan pegawai BPMA tahap II yang seharusnya tidak perlu dilakukan karena ruang lingkup dan kewenangan BPMA masih dianggap mampu dihandle oleh pegawai yang sudah ada.
Pengeluaran anggaran biaya yang tidak tepat sasaran lainnya seperti pengadaan rental mobil dengan spesifikasi tahun tinggi sehingga menguras anggaran belanja yang cukup besar.
Masih banyak lagi kejanggalan yang dapat ditemukan di dalam BPMA, ketidakharmonisan dalam berkomunikasi dan berinteraksi sesama pegawai BPMA merupakan salah satu dampak internal yang diakibatkan oleh krisis leadership dan manajerial dalam tubuh BPMA itu sendiri.
Persoalan demi persoalan baru lambat laun akan segera timbul sebagai dampak dari ketidakmampuan dan salah dalam menggunaan kewenangan oleh Plt. Kepala BPMA.
Apabila kondisi ini tidak segera diatasi oleh Pemerintah Aceh maka BPMA hanyalah lembaga tak berguna, selain dianggap tidak mampu menjalankan tugasnya dan hanya menghabiskan uang negara saja tanpa mampu memberikan manfaat bagi kemakmuran rakyat, padahal lembaga BPMA dan operasionalnya dibiayai dengan APBN setiap tahunnya.
Untuk memastikan kebenaran informasi yang disampaikan di atas, bisa dilakukan dengan pelaksanaan pemeriksaan langsung Kantor BPMA dan menyelidiki secara bertahap terhadap apa yang telah disampaikan di atas.
Terlebih baru-baru ini Azhari (selaku Plt BPMA) menetapkan Pulau Batam sebagai tempat operasi transisi darat (Onshore Support Facilities) untuk kegiatan pengeboran lepas pantai oleh KKKS Repsol di lepas pantai Pijay.
Keputusan menjadikan Pulau Batam sebagai tempat operasi transisi darat menjadi tamparan bagi Pemerintah Aceh, seolah menyebut Aceh tidak layak, padahal Fasilitas ini akan banyak memberi multiplyier efek terhadap penyediaan lapangan kerja untuk masyarakat Aceh.
Penulis di akhir tulisan ini menitipkan harapan pada Pemerintah Aceh, yang menjadi atasan BPMA agar shorebase ini ditempatkan di Aceh, dan mengembalikan BPMA sebagai lembaga yang bermanfaat pada kepentingan Aceh.(Jaka Rasyid)