Covid19: Pejabat Aceh dan Kebijakan
Font: Ukuran: - +
Rupa-rupanya begitu peliknya diskursus kebijakan dalam konteks solusi terhadap pandemic Covid19 ini. Hal ini tersadar, ketika saya berada dalam webinar yang diselenggarakan oleh FISIP Universitas Syiah Kuala yang menghadirkan narasumber dari para pemangku kebijakan di posisinya masing-masing.
Para pihak tidak bisa beranjak dari satu sudut pandang yang berdekatan. Dari pihak akademi, kira-kira mengatakan: kami punya ahlinya, cukup perlengkapan penunjangnya, tapi tidak mendapatkan dukungan pendanaan dari Pemerintah Daerah.
Dari pihak legislatif mengatakan, setelah refokusing anggaran, pihak eksekutif tidak transparan didalam redistribusi penggunaannya. Dari pihak rumah sakit mengatakan kesulitannya, karena kultur yang susah diatur. Hal ini menyulitkan untuk memutuskan matarantai transmisi. Apalagi Aceh sudah masuk ke tahap transmisi lokal.
Kalau pada tahap awal, kesulitannya lain lagi, yakni karena karakter sosialnya memiliki mobilitas tinggi-sebagai konsekuensi masyarakat dagang dan perantau, maka penyebaran covid masih datang dari antar wilayah.
Secara keseluruhan terkesan, betapa sulitnya berkoordinasi secara vertical maupun horizontal di Aceh. Secara sosiologis, orang-orang cenderung bersikukuh pada statusnya, dan tidak berorientasi pada peran yang dapat disumbangkan untuk kemaslahatan.
Padahal, menurut Safrizal, Dirjen Adwil Kemendagri, dalam kondisi pandemic yang sulit diprediksi kapan berakhirnya. Hal yang sangat dibutuhkan adalah koordinasi. Titik pulih sangat tergantung pada penemuan vaksin atau virusnya melemah dengan sendirinya. Penanganan pandemic tidak bias dilakukan oleh aktor tunggal.
Pandemi permasalahan medis, sosial dan ekonomi. Sudah barang tentu persoalan medis ditangani oleh ahli medis dan institusinya. Bahkan Kepala RSZA, rumah sakit berada di garda belakang. Safrizal mengibaratkan dalam sebuah perang, rumah sakit adalah benteng terakhir ketahanan.
Pandemi sudah menjadi persoalan sosial. Pertama, dalam konteks Aceh, masih ada golongan masyarakat yang tidak percaya terhadap keberadaan Covid-19. Masih ada tokoh yang mengatakan: kami memakai masker karena ada pejabat yang berkunjung. Golongan ini belum membedakan antara keberadaan virus dengan belum memadainya kemampuan untuk mencegah Covid-19.
Disisi lain, dampak sosial sudah menimbulkan xenophobia dan rasisme sehingga masyarakat terfragmentasi baik secara vertical-masyarakat versus pemerintah-maupun secara horizontal, antar kelompok masyarakat.
Satu hal yang dapat dipastikan bahwa serangan Covid-19 adalah fluktuatif, jika merujuk pada data statistik nasional maupun Aceh. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah Aceh harus berselancar diatas fluktuasi pandemic. Bilamana menekankan dimensi kesehatan-kuratif dan preventif
Lalu kapan menekankan aspek sosial-untuk mematikan transmisi local dan antar wilayah dan kapan menekankan membangun jaringan pengamanan sosial, yang mana krisis ekonomi berkembang menuju resesi.
Bahkan para ekonom kritis sudah mendeklarasi bahwa kehidupan sudah masuk ke tahap resesi. Pertandanya, antara lain, sudah terjadi ketidakseimbangan antara produksi dan konsumsi, pertumbuhan ekonomi masuk ke tahap minus, impor lebih besar daripada ekspor, angka pengangguran meningkat, dan seterusnya.
Dalam kecenderungan kehidupan ke depan yang demikian, dan dengan perilaku pemangku kebijakan yang kesulitan berkoordinasi, maka kita tak bisa membayangkan pada tingkat mana tragedy kehidupan di Aceh yang akan terjadi.
Penulis Dr. Otto Syamsuddin Ishak (Sosiolog/Dosen Unsyiah)