DIALEKSIS.COM | Kolom - Setiap dari pernyataan Ketua DPRA yang kita klaim sebagai bagian aspirasi rakyat Aceh sesungguhnya berada pada ruang abu-abu antara artikulasi politik dan sekadar gimmick. Ia menjadi arena pertarungan makna, di mana realitas sosial Aceh yang kompleks pasca MoU Helsinki dikonstruksi dan dimanipulasi dalam wacana publik.
Masalahnya, klaim tersebut tidak disertai dengan mekanisme representasi yang nyata. Rakyat Aceh hadir hanya sebagai entitas simbolik, bukan sebagai subjek yang benar-benar berbicara. Mereka diposisikan sebagai abstraksi yang dapat diapropriasi oleh elite, sebuah kondisi yang mengingatkan pada tesis Spivak the subaltern cannot speak.
Dalam konteks Aceh, subaltern yang diam itu adalah masyarakat yang justru ditumpangi klaim oleh elite politiknya.
Di sisi lain, pola pernyataan seperti ini justru memperlihatkan kecenderungan kelatahan politik dimana isu simbolik diangkat berulang kali untuk membangun citra, namun minim relevansi dengan kebutuhan mendesak rakyat Aceh.
Gimmick menjadi jalan pintas untuk menutupi problem mendasar seperti stagnasi pembangunan ekonomi, tingginya angka kemiskinan, ketimpangan pendidikan, dan lemahnya birokrasi.
Ironisnya, setiap retorika politik Aceh selalu dikaitkan dengan narasi identitas Islam, perlawanan, dan otonomi khusus. Alih-alih memperkuat kedewasaan politik, narasi ini justru digunakan untuk mengunci Aceh dalam politik simbolik yang sesungguhnya rapuh. Pernyataan Ketua DPRA yang dimaknai sebagai aspirasi rakyat, pada akhirnya hanya mengesankan bahwa Aceh memiliki satu suara monolitik, padahal realitas sosial justru sangat beragam dan penuh dinamika.
Klaim semacam itu juga berisiko memperlebar jarak distrust antara Aceh dan Jakarta. Setiap retorika yang tak sensitif terhadap konteks MoU Helsinki bisa dibaca sebagai bentuk ketidakdewasaan dalam menjaga konsensus damai. Bukan hanya mereduksi makna aspirasi rakyat, tetapi juga memperkeruh persepsi pusat terhadap komitmen Aceh. Pernyataan tersebut juga sarat makna bertendensi makar terhadap negara, dan ini berbahaya untuk narasi politik damai di Aceh.
Pertanyaan paling mendasar apakah pernyataan Ketua DPRA ini memang isu paling urgent bagi rakyat Aceh? Ataukah hanya strategi menciptakan drama politik untuk menguasai ruang wacana? Jika jawabannya yang kedua, maka publik Aceh sesungguhnya sedang dikorbankan dalam sandiwara politik simbolik.
Dengan demikian, yang tampak jelas adalah paradoks representasi rakyat yang diklaim justru absen, sementara elite terus memonopoli makna. Politik simbolik semacam ini bukan hanya menipiskan kualitas demokrasi di Aceh, tetapi juga mereduksi substansi perdamaian menjadi sekadar retorika murahan. [**]
Penulis: Firdaus Mirza (Sosiolog FISIP USK)