Beranda / Kolom / Ini Namanya APBA ‘Pancong’

Ini Namanya APBA ‘Pancong’

Jum`at, 07 Februari 2025 14:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Saddam Rassanjani

Saddam Rassanjani, S.IP.,M.Sc. PhD (Cand), Dosen FISIP Universitas Syiah Kuala.


DIALEKSIS.COM | Kolom - Dulu, pernah ada sebutan APBA ‘Pungo’. Istilah ini disampaikan oleh Gubernur Zaini Abdullah. Jika Inpres efisiensi APBN dan APBA ditindaklanjuti maka muncullah APBA ‘Pancong.’ 

Sebutan APBA ‘Pungo’ untuk APBA Perubahan karena masa kerja tahun anggaran 2015 hanya tersisa 45 hari lagi. 

Saat itu, kehadiran APBA Perubahan di awal November 2015 mendapat sorotan luas. Harusnya, usulan perubahan bisa dilakukan jauh hari, sejak Juli 2015. 

Saat ini, muncul pula APBA ‘Pancong.’ Sebutan ini untuk menggambarkan keadaan APBA yang sudah banyak berkurang dari 15, 14 triliun pada 2018 dan 17 triliun pada 2019 menjadi 11,07 triliun pada 2025. 

Tak ada keterlambatan pengesahan RAPBA 2025 di DPR Aceh. Bahkan, disebut tercepat se-Indonesia dan dinilai sejarah baru sebagai pengesahan anggaran tercepat dari yang pernah ada dalam sejarah Pemerintah Aceh.

Meski telah disahkan, tercepat lagi, namun APBA yang sudah dievaluasi oleh Kemendagri pada pekan pertama Januari 2025 itu belum juga ditetapkan oleh Pemerintah Aceh dan DPR Aceh. 

Belum selesai dilakukan singkronisasi ulang, muncul pula Instruksi Presiden (Presiden) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD 2025. Inpres ini diteken Presiden Prabowo pada Rabu, 22 Januari 2025.

Tindak lanjut Inpres itu diterbitkan Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 29 Tahun 2025 tentang Penyesuaian Rincian Alokasi TKD menurut Provinsi/Kabupaten/Kota Tahun Anggaran 2025 Dalam Rangka Efisiensi Belanja APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025 dan disusul KMK KMK No. S-37/MK.02/2025. 

Berdasarkan KMK 29 yang dikeluarkan 3 Februari 2025 itu maka Penerimaan Aceh dari pemerintah pusat tahun 2025 mengalami penurunan dari sebelumnya Rp 6,958 triliun dipangkas menjadi Rp 6,640 triliun. 

Masing-masing dipotong yakni; dana Otsus Rp 156 miliar, DAK Fisik Rp 104,2 miliar, dan DAU Rp 56,3 miliar. Keseluruhan penerimaan yang dipotong mencapai Rp 317,4 miliar. 

Sebelumnya, sejak 2023, penerimaan Aceh dari Dana Otsus juga sudah di ‘pancong.’ Artinya, dari 2 persen menjadi 1 persen dari platform Dana Alokasi Umum (DAU) nasional. 

Untuk diketahui, penerimaan Aceh dari Dana Otsus sejak 2008 sampai 2024 sudah tembus 100 triliun lebih. Dan, setelah mengalami penurunan 1 persen Dana Otsus Aceh akan berakhir pada 2027. 

Secara politik memang terbaca adanya usaha untuk memperpanjang takdir Dana Otsus Aceh. Ada juga narasi yang ingin Dana Otsus Aceh di abadikan selamanya. Di musim Pilpres janji meng-abadikan Dana Otsus datang dari berbagai kandidat presiden. 

Dalam kampanye Pilkada 2024 juga muncul suara memperpanjang Dana Otsus Aceh. Bahkan, ada pasangan yang menggambarkan kedekatan dengan Presiden RI, sekaligus mengandalkan dukungan kursi yang besar di DPR RI sebagai argumen pendukung bahwa nasib Dana Otsus Aceh bisa diperpanjang, atau diabadikan. 

Latar argumen perpanjangan Dana Otsus Aceh itu selalu dikaitkan untuk kepentingan mendukung kegiatan pembangunan di Aceh. Salama ini, dukungan Dana Otsus Aceh dinilai cukup berperan dalam menekan angka kemiskinan Aceh dari waktu ke waktu. 

Namun, karena Aceh masih belum juga keluar dari status provinsi termiskin di Sumatera maka berbagai pihak mengharapkan agar Pusat bersedia memperpanjang Dana Otsus Aceh. 

Namun, ada juga yang melihat tidak ada urgensinya Dana Otsus Aceh diperpanjang. Hal itu karena dihadapkan dengan laku koruptif para pihak yang terlibat dalam pelaksanaan program dan kegiatan pembangunan. Bahkan, ada yang menolak diperpanjang manakala anggaran Aceh itu justru lebih banyak mengalir ke instansi vertikal. 

Berbeda, meski Dana Otsus Aceh berpeluang diperpanjang setelah berakhir pada 2027, namun Yusuf Kalla menyebut potensi penerimaan Aceh bisa jauh lebih besar dari Migas Aceh. Disebutkan, jika terjadi kegiatan ekplorasi minyak dan gas di Aceh maka Aceh akan mendapat 70 persen. Yusuf Kalla memperkirakan kegiatan ekplorasi migas di Aceh akan terjadi dalam waktu 10 tahun ke depan. Prediksi Yusuf Kalla didasarkan pada temuan cadangan Migas di Aceh sebagaimana banyak diwartakan media beberapa tahun ini. 

Hadirnya kebijakan efisiensi paska pengesahan APBN 2025 itu jelas mengejutkan semua pihak. Pertama, menyadari bahwa Pusat sedang menempuh jalan menekan defisit dan mencegah penambahan utang baru, dan pada saat yang sama sedang berusaha meningkatkan pendapatan. Taruhannya, jika target pendapatan tidak tercapai dan belanja tak dikurangi sejak awal, maka defisit akan melebar.

Sebagaimana diketahui postur APBN menggambarkan defisit yang melebar hingga Rp616,2 triliun. Sementara hingga akhir November 2024 utang pemerintah Indonesia telah mencapai Rp 8.680,13 triliun.

Kedua, kebijakan efisiensi yang dilakukan paska pengesahan APBN bahkan untuk Aceh paska pengesahan APBA jelas mengharuskan langkah-langkah singkronisasi ulang paska evaluasi Kemendagri ditambah dengan adanya Inpres dan KMK 29/2025. 

Tidak hanya itu, Pemerintah juga harus menyesuaikan kerjanya dengan KMK No. S-37/MK.02/2025, terkait efisiensi belanja bagi instansi yang difokuskan pada 16 pos anggaran, termasuk pengurangan belanja alat tulis kantor (90 persen), kegiatan seremonial (56,9 persen), perjalanan dinas (53,9 persen), dan berbagai pos lainnya.

Itu pun belum mencapai titik ideal efisiensi. Berbagai pihak mengusulkan efisiensi yang ikut menyentuk sektor lain yang dinilai berpotensi pemborosan, seperti pengadaan mobil dinas, renovasi rumah dinas pejabat, dan belanja makan-minum. 

Entah kemana arah perjalanan APBN dan APBA, belum ada yang tahu dengan pasti. Yang jelas publik di Aceh sudah terbiasa dengan suguhan kupi pancong saat berkunjung ke warung kopi. []

Penulis: Saddam Rassanjani, S.IP.,M.Sc. PhD (Cand), Dosen FISIP Universitas Syiah Kuala

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI