DIALEKSIS.COM | Kolom - Di kota Vladivostok yang dingin, di ujung timur Federasi Rusia, Eastern Economic Forum (EEF) ke-10 menjadi panggung bagi sebuah narasi yang tak biasa. Di antara para pemimpin bisnis dan delegasi global, Wali Nanggroe Aceh, Paduka Yang Mulia Tgk. Malik Mahmud Al Haythar, tampil dengan sebuah cerita yang melintasi samudra dan waktu.
Ia datang tidak hanya untuk menawarkan investasi, tetapi juga untuk merajut kembali benang-benang sejarah yang pernah terputus.
Saat berbicara di sesi "The Greater Eurasian Partnership," mata para hadirin tertuju padanya. Wali Nanggroe membuka sambutan dengan kehangatan yang tulus, "Rakyat Aceh turut merasakan duka ini, karena kami juga pernah mengalami tsunami besar tahun 2004. Kami berdiri dalam solidaritas bersama Anda." Kalimat itu, diucapkan dengan penuh empati, adalah jembatan yang menghubungkan Kamchatka yang baru saja dilanda bencana dengan Aceh yang telah bangkit dari duka serupa.
Di situlah letak momen paling mengharukan. Pernyataan itu bukan sekadar formalitas diplomasi. Ada sebuah ingatan tentang bantuan Rusia yang datang tanpa pamrih saat Aceh hancur leuluh diterjang tsunami 2004. Saat dunia seolah berhenti, Rusia mengirimkan pesawat-pesawatnya dengan pasokan obat-obatan, gandum, dan berbagai bantuan darurat.
Bantuan ini, meski sering terlupakan, adalah bukti persahabatan sejati yang terukir di masa paling sulit. Bagi rakyat Aceh, itu adalah momen di mana solidaritas global terasa nyata, dan Rusia adalah salah satu tangan yang menolong.
Narasi Wali Nanggroe kemudian membawa audiens mundur ke masa lalu yang jauh, ke era akhir abad ke-19. Ia mengingatkan para delegasi bahwa hubungan ini bukanlah hal baru.
"Sejak berabad-abad lalu, Aceh menjadi persimpangan peradaban global yang mempertemukan pedagang, cendekiawan, dan budaya dari Asia, Timur Tengah, hingga Eropa," kata Wali Nanggroe, menegaskan posisi strategis Aceh.
Namun, yang terpenting adalah nostalgia tentang diplomasi Aceh di masa sulit. Saat itu, Kesultanan Aceh yang berjuang melawan invasi Belanda, mengirim utusan ke Saint Petersburg, ibu kota Kekaisaran Rusia, memohon bantuan Tsar Nicholas II.
Meskipun tidak berujung pada aliansi militer, upaya diplomasi itu menjadi bukti bahwa Aceh adalah entitas yang dihormati dan memiliki visi global. Itu adalah kisah tentang harapan, tentang mencari sekutu di ujung dunia, dan tentang keberanian sebuah bangsa.
Hari ini, hampir satu setengah abad kemudian, Tgk. Malik Mahmud Al Haythar, penerus diplomasi Aceh, kembali ke Rusia. Kunjungan ini bukan hanya tentang memaparkan potensi ekonomi, tetapi juga tentang memperkuat kembali ikatan yang terjalin. Kehadirannya di EEF 2025 menjadi simbol bahwa persahabatan tidak lekang oleh waktu, dan di antara lembaran-lembaran sejarah, ada sebuah narasi yang pantas untuk terus diceritakan.
Sosok Wali Nanggroe, dengan segala kebijaksanaan dan pengalamannya, menjadi jembatan yang menghubungkan masa lalu yang penuh perjuangan dengan masa depan yang penuh harapan. Ia menunjukkan bahwa Aceh tidak hanya bangkit dari duka, tetapi juga siap membuka pintu kerja sama, sembari mengenang dan menghargai setiap jejak persahabatan yang pernah terukir. [**]
Penulis: Risman Rachman