Kebangkitan Identitas
Font: Ukuran: - +
Oleh: Otto Syamsuddin Ishak
Di dalam periode masyarakat yang bagaimanakah kita hidup sekarang?
"Sudah barang tentu," jawab sebagian pakar ilmu sosial, "kita hidup dalam periode kebangkitan identitas."
Masyarakat yang bagaimanakah rupanya? Ya, masing-masing kita sebagai individu mendefinisikan diri atas dasar keyakinannya, dan mengekspresikan dalam perilaku sesuai dengan konteks dinamika zaman. Baru kemudian terbentuk kolektivitas dengan tujuan membentuk ulang dunia sosial.
Memang sebuah fenomena sosial bisa dibaca dengan berbagai perspektif yang dimiliki oleh ilmuwan sosial. Misalnya, fenomena yang merentang antara Pilkada DKI 2017 hingga Pilpres 2019.
Nampaknya, setiap periode politik yang ditunjukkan oleh fenomena politik yang kuat, akan memberikan cara baca tersendiri sesuai dengan kondisi moral ilmuan sosialnya.
Pertama, ilmuwan sosial ada yang cenderung membaca fakta sebagai fenomena konspirasi politik, yang menguat pasca pembunuhan Presiden Amerika Serikat ke-35 John F. Kennedy (Januari 1961 sampai November 1963). Teori yang membaca sebuah fenomena selalu terkait dengan persekongkolan rahasia untuk bertindak negatif yang berada di balik sebuah peristiwa.
Karena itu, ada ilmuwan sosial yang membaca fenomena Pilpres19 dengan teori konspirasi, yang mana ada persekongkolan politik (khususnya di kalangan elite) untuk mencurangi pemilihan.
Hal ini memang dimungkinkan di dalam sistem demokrasi yang dilaksanakan oleh instrumen negara yang berpihak. Bahkan pihak rezim diperkuat dengan melakukan monopoli tafsir atas undang-undang ITE sehingga efektif sebagai instrumen hukum dalam mendestruksi lawan politik.
Lagi-lagi, rezim masih bisa meningkatkan kedigdayaannya dengan undang-undang dan institusi anti korupsi, yang merekam jejak lawan politik dengan perbantuan operasi intelijen. Dan, senjata hukum lainnya, adalah anti-terorisme.
Kedua, ilmuwan sosial kini juga ada yang cederung membaca fakta itu sebagai gejala yang menunjukkan kebangkitan identitas dalam berkompetisi politik. Identitas itu, khususnya, berbasis pada agama (Islam).
Lalu, identitas disambungkan dalam konteks etnis, mayoritas-minoritas, sehingga tiba pada wacana intoleransi dan radikalisme. Kebangkitan identitas cenderung ditafsir negatif di tengah-tengah penumbuhan toleransi yang sadar akan multikulturalisme.
Awalnya, perspektif identitas sebetulnya dipakai untuk menjelaskan perilaku individu maupun kelompok. Pemakaian untuk membaca perilaku kelompok bisa merupakan kontinuitas atau segaris dengan antiradikalisme atau ultranasionalisme. Artinya sebuah polar lain dari radikalisme, yang cenderung dilabelkan pada kelompok keagamaan yang berpolitik.
Padahal, Amartya Sen, filsuf dan meraih nobel ekonomi pada tahun 1998, mengatakan bahwa setiap individu memiliki sejumlah identitas sekaligus pada dirinya.
Karena itu, bilamana kelompok atau golongan itu beranggotakan individu-individu, maka sebetulnya secara laten memiliki potensi sejumlah identitas, meskipun secara manifest yang terwujudkan tunggal.
Sen juga mengatakan bahwa identitas itu adalah sumber kebanggaan dan, sekaligus kebahagiaan. Meskipun Sen juga mengingatkan bahwa identitas juga memiliki potensi energy negatif bagi tindakan kekerasan. Namun, ia cenderung memandang positif.
Artinya, kesimpulan yang ditarik ilmuwan sosial tergantung pada potensi moral yang tertanam di dalam dirinya, maupun pensikapan politiknya sehingga ia cenderung untuk berwacana positif atau, negatif, baik disadari maupun tidak.
Dalam konteks munculnya fenomena gerakan protes berspirit keislaman dalam rentang waktu sejak kolonial hingga saat ini, maka para ilmuan sosial yang berperspektif identitas (negatif) akan tiba pada kesimpulan bahwa itulah fenomena yang menunjukkan politisasi agama yang mencederai nalar bernegara. Apakah nalar bernegara kolonial, Orde Lama, Orde Baru maupun Orde Reformasi.
Mereka abai terhadap afinitas agama dan politik dapat muncul dalam bentuk simbiosis etika dan, berpolitik—yang cenderung positif—sebagaimana Max Weber.
Jika pandangan ilmuwan sosial demikian (negatif) menjadi dominan dalam konteks bernegara saat ini, maka mereka menjadi actor potensial dalam menciptakan kontradiksi antara agama dan negara (politik) sehingga perbenturan sosial akan semakin marak, baik secara vertikal maupun horizontal. Hal ini tentunya melemahkan ketahanan nasional sebuah negara bangsa.