Sabtu, 13 Desember 2025
Beranda / Kolom / Koordinasi Bencana

Koordinasi Bencana

Sabtu, 13 Desember 2025 15:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Nurdin Hasan

Freelance Journalist, Nurdin Hasan. Foto: dok pribadi 


DIALEKSIS.COM | Kolom - Di tengah kabar duka dan lumpur pekat yang masih menyelimuti sejumlah wilayah di Aceh akibat banjir bandang dan tanah longsor, dua pekan silam, satu kata terus terngiang. Kata itu seolah mantra suci dalam penanganan bencana: 'Koordinasi'.

Ah, koordinasi. Kata yang begitu mudah diucapkan para pejabat di ruang ber-AC saat konferensi pers. Kata yang selalu menghiasi narasi sukses penanggulangan bencana -- tapi maaf -- baru sebatas di atas kertas. 

Namun, fakta di lapangan masih jauh dari harapan. Di tengah genangan air lumpur dan wajah-wajah letih para korban yang mulai terancam kelaparan, kata ini terasa seperti pil pahit. Di antara reruntuhan rumah dan kampung tertimbun lanau akibat terjangan kayu-kayu gelondongan yang diseret air bah, koordinasi seolah menambah trauma para penyintas.

Bagaimana tidak? Fenomena penanganan bencana di Aceh, khususnya Bener Meriah dan Aceh Tengah, kembali menyingkap borok klasik yang sudah diidap bangsa ini bertahun-tahun. Itulah dia diskoordinasi yang akut.

Coba kita bedah sedikit. Bencana datang, air bah meluluhlantakkan, tanah longsor memutus akses. Respon pertama paling vital adalah tanggap darurat, atau yang akrab disebut masa panik. Ini fase di mana hitungannya bukan lagi hari, tetapi jam, bahkan menit, untuk memastikan korban selamat mendapat pertolongan pertama, khususnya makanan dan kebutuhan dasar.

Ironisnya, di Aceh, bantuan 'masa panik' seperti diartikan secara harfiah sebagai 'masa paling panik mencari bantuan'. Meski sudah ditetapkan tanggap darurat, tapi jajaran pemerintah Aceh sepertinya tidak merasa dalam situasi darurat.

Laporan di lapangan sungguh memilukan. Bantuan logistik datang terlambat. Bukan terlambat sedikit, namun terlambat yang dapat mengancam korban dengan hantu kelaparan. 

Bayangkan, di tengah puing-puing, ketika trauma psikologis masih membekas, para penyintas harus berhadapan dengan ancaman perut kosong. Beras, lauk pauk, dan air bersih -- elemen paling mendasar kemanusiaan -- tak kunjung tiba secara merata.

Malah, ada rakyat yang terpaksa berjalan kaki berhari-hari sambil memanggul sekarung cabai dari Bener Meriah ke Bireuen, hanya untuk "ditukar" dengan sekantong beras 5 kilogram. Belum lagi harganya yang melambung tinggi.

Ini bukan soal kurangnya stok bantuan makanan. Indonesia, secara umum, punya kemampuan logistik dan kedermawanan yang tinggi. Masalahnya terletak pada 'sihir' yang bernama koordinasi. 

Koordinasi dalam penanganan bencana ibarat orkestra besar. Dirigennya harus jelas. Not baloknya harus terbaca, dan para pemain mulai dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten, hingga para relawan, harus memainkan lagu yang sama.

Di Aceh, orkestra ini sering kali berubah menjadi pertunjukan marching band yang sejauh ini masih kacau balau. Akibatnya, ada laporan tentang bantuan yang menumpuk di bandara, sementara rakyat terus berteriak, dengan suara merintih bahwa mereka "lapar".

Pemerintah Pusat baik itu BNPB maupun kementerian punya dana, sumber daya besar, dan helikopter. Tapi, pergerakannya terkesan kaku, prosedural, dan seringkali terlalu 'tinggi' untuk melihat kebutuhan mikro penyintas di desa-desa terpencil.

Belum lagi ocehan para petinggi negeri ini yang hanya menambah persoalan. Ambil saja contoh, "bencana hanya heboh di medsos". Lalu, ada pejabat bilang tak mau menerima bantuan asing demi "harga diri bangsa". Terus donasi diaspora di luar negeri bakalan dipungut pajak. Oh No... come on guys.

Pemerintah Daerah lewat BPBA dan BPBD adalah ujung tombak yang tahu persis kondisi geografis dan sosial. Sayangnya, mereka juga seperti tercekik birokrasi, kekurangan anggaran operasional cepat, dan kadang 'sungkan' atau 'berhati-hati' saat harus mengambil keputusan cepat, tanpa menunggu komando dari atas. 

Sedangkan, relawan dan komunitas yang merupakan motor paling cepat bergerak, paling tulus, dan dekat dengan korban mulai dihantui perasaan was-was. 

Selain sering berhadapan dengan tembok birokrasi, para relawan kadang kesulitan mendapatkan data valid karena tidak ada command center yang efektif. Belum lagi "ancaman" audit dan penjara atau harus ada izin dari pemerintah saat menggalang dana bantuan.

Hasilnya? Tumpang tindih! Bantuan dari relawan organisasi A menumpuk di satu posko, sementara para korban di desa seberang sungai belum tersentuh. 

Data korban tidak sinkron. Ada daerah yang dapat beras berkarung-karung, sementara daerah lain, khususnya yang terisolasi di pegunungan Gayo, hanya bisa melihat bantuan melintas di udara, atau malah harus menunggu jalan dibuka berhari-hari.

Ini adalah ironi yang patut ditertawakan dengan air mata. Sebuah sistem yang harusnya terpusat dan terpadu (one command), malah terlihat seperti kerajaan-kerajaan kecil yang sibuk dengan ego wilayah dan prosedur internal masing-masing.

Kekacauan ini bukan terjadi tanpa sebab. Ada beberapa 'resep gagal' yang selalu terulang dalam setiap penanganan bencana.

Sebut saja peta buta. Ini maksudnya ialah kurangnya assessment cepat dan akurat. Badan terkait lambat dalam memetakan siapa yang butuh apa, dan di mana lokasi persisnya. Akibatnya, bantuan yang dikirim seringkali tidak sesuai kebutuhan.

Ada juga indikasi logistik tersendat di balik meja pejabat. Maksudnya adalah prosedur pencairan dana, pengadaan barang, dan mobilisasi logistik terlalu berbelit-belit. Dalam situasi darurat, urusan administrasi haruslah di belakang, bukan di depan.

Yang lebih parah, ego sektoral. Ada pejabat merasa paling berhak duduk di pusat komando, hanya sekadar ingin tampil di depan kamera, padahal itu bukan bidangnya. Ada juga omongan pejabat yang tak dilaksanakan anak buah. Sementara, korban tidak bisa menunggu, karena mereka terancam kelaparan.

Kita seolah lupa bahwa tujuan akhir dari semua itu adalah satu: menyelamatkan nyawa dan menanggulangi penderitaan korban.

Ancaman kelaparan yang melanda warga Aceh Tengah dan Bener Meriah adalah tamparan keras di wajah para koordinator. Ini bukan hanya masalah ganasnya alam, tapi sistem yang lamban dan tumpul.

Koordinasi itu bukan hanya soal meeting dan jumpa pers, sambil tersenyum di balik sorotan kamera jurnalis. Koordinasi adalah kepercayaan, kecepatan, dan keberanian mengambil risiko, kadang harus melabrak aturan normal, demi kemanusiaan.

Lain kali, ketika ada pejabat mengucapkan kata "Koordinasi" di depan kamera, mungkin survivors perlu sedikit mencibir -- bukan karena mereka benci, tapi bosan mendengar janji tanpa implementasi.

Para penyintas butuh command center yang benar-benar tunggal, berani memotong birokrasi, dan berani memberikan kekuasaan full di lapangan kepada petugas yang paling tahu medan, tanpa harus menunggu 'restu' dari ibu kota.

Saatnya koordinasi diturunkan dari menara gading birokrasi. Ia harus menjadi gerakan praktis, cepat, dan responsif. Sebab, bagi penyintas yang kelaparan, sekarung beras 5 kilogram yang datang hari ini jauh lebih sangat berharga daripada sepuluh janji koordinasi yang baru akan dibahas minggu depan.

Mungkin, satu-satunya hal yang sangat terkoordinasi dengan baik hingga sejauh ini adalah kekecewaan publik terhadap lambatnya respons pemerintah. Kalau itu cepat, tak mungkin rakyat di Aceh Tengah meminta bantuan pada Perdana Menteri Malaysia. Dan, sayangnya, kran bantuan dari negara sahabat belum juga dibuka.[]

Penulis: Nurdin Hasan | Freelance Journalist 

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI