Korupsi, Bakal Ada Lagi Pejabat Aceh Masuk Jeruji Besi
Font: Ukuran: - +
Catatan ; Bahtiar Gayo
Lihatlah kerugian keuangan negara di Aceh. Anda mungkin penasaran, siapa lagi calon calon penghuni jeruji besi? Dalam sepekan ini negeri Serambi Mekkah dihangatkan dengan pembahasan korupsi. Begitu parahkah negeri ini?
Bukan hanya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sedang menggaruk “pelaku” korupsi. Namun penyidik lainya juga beramai-ramai mengendus sejumlah dugaan korupsi lainya. Hasil audit BPKP Aceh juga mengejutkan.
Sebelumnya berkembang isu, KPK melakukan OTT. Kemudian informasi itu diperjelas oleh Plt Jubir KPK yang menyatakan benar pihaknya ada melakukan penyelidikan.
Mungkinkah ada asap bila tidak ada api? Semakin menarik ketika Ali Fikri, Plt Jubir KPK menjelaskan kebenaran pihaknya melakukan penyelidikan, meminta keterangan dan klarifikasi terhadap beberapa pihak terkait.
Apakah menyangkut laporan DPRA dan laporan masyarakat soal MYC dan Kapal Aceh Hebat? Walau Jubir KPK belum menjelaskan kasus apa dan siapa saja pihak-pihak yang diperiksa, namun semuanya akan terkuak. Publik tinggal menunggu saja siapa yang akan digiring KPK ke persidangan.
Selain riuhnya pembahasan tentang kinerja KPK di Aceh saat ini, tidak kalah menariknya keterangan ketua Kepala Perwakilan BPKP Aceh, Indra Khaira Jaya. Dalam penjelasanya di sebuah Rakor, pihak BPKP atas permintaan penyidik sudah melakukan audit terhadap 18 kegiatan.
Hasil audit mengejutkan. Kopi pahit yang saya minum semakin pahit, ketika saya melihat angka kerugianya negara mencapai Rp 44,4miliar. Angka yang bukan kecil, bila dibagikan untuk fakir miskin agar nasib mereka berubah, otomatis kemiskinan di Aceh akan berkurang.
Angka itu merupakan audit anggaran tahun 2020 dan 2021. Untuk tahun 2020 ada 10 hasil audit dan tahun 2021 ada 8. Dari 18 kegiatan itu menurut kepala BPKP Aceh berupa kegiatan antara lain; Pengadaan ternak, sertifikasi tanah, pengembangan tanaman tembakau.
Pemeliharaan jalan jembatan, Pamsimas (Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat), pembangunan pasar tradisional.Pembangunan tanggul, pelayanan rumah tangga legislatif, pembangunan jembatan, penyaluran beasiswa dan pendidikan, peningkatan jalan, dan beberapa kegiatan lainnya.
Kerugian keuangan negara mencapai Rp 44,4 miliar. Bagaimana dengan tahun-tahunya sebelumnya? Banyak kasus yang diendus pihak penyidik (baik pihak kejaksaan dan polisi) belum semuanya sampai ke meja hijau.
Catatan Alfian Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) misalnya, pada tahun 2018 di Aceh ada 15 kasus dalam proses penyidikan oleh Kepolisian, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Empat kasus dalam proses penyidikan kepolisian, sembilan kasus oleh Kejaksaan dan dua kasus dalam penyidikan KPK,” kata Alfian.
Menurutnya data tersebut hanya untuk kasus korupsi dalam proses penyidikan penegak hukum. LSM MaTA mengumpulkan dari pantauan kasus serta berkoordinasi dengan kejaksaan, kepolisian dan KPK.
Sementara kasus tahun sebelumnya ada 18 kasus dalam proses penyidikan polisi dan kejaksaan menyidik 15 kasus.
Selama kurun waktu 2017 dan semester I 2018, MaTA mencatat total kerugian negara yang ditemukan oleh aparat penegak hukum mencapai Rp 349,9 miliar atau setara dengan 4.374 unit rumah sederhana untuk warga miskin.
Kasus demi kasus itu belum seluruh mampu diselesaikan pihak penyidik. Banyak yang masih mengambang, belum ada kepastian kapan ada kepastian hukumnya.
Salah satu contoh dugaan korupsi yang ditangani pihak penyidik Tipikor Polda Aceh. Penyaluran beasiswa anggaran tahun 2017 senilai Rp 22,29 miliar. Sudah dua tahun lebih ditangani pihak penyidik, namun kasusnya belum sampai kepengadilan.
Demikian dengan sejumlah kasus lainya, timbul timbul tenggelam dalam pembahasan. Artinya tiap tahun ada PR yang belum terselesaikan dalam dugaan korupsi. Belum tuntas kasus tahun sebelumnya, muncul lagi hasil audit BPKP angaran 2020 dan 2021, atas permintaan penyidik Tipikor.
Aceh bakal ada ledakan tersangka korupsi. Itu juga bila penyidik serius dan komitmen menyelesaikan tugasnya. Publik menungu kinerja apara penyidik hukum korupsi ini.
Melihat perkembangan Aceh dengan sejumlah angka angka tadi, sudah seharusnya KPK melakukan supervisi di Aceh. Meningkatkan pengawasan, agar para penyelenggara negara di ujung barat Pulau Sumatera ini tidak lagi terus menerus bertambah menghiasi jeruji besi.
Demikian dengan masyarakat, harus bahu membahu dalam memberantas korupsi. Bila masyarakat memiliki data tentang korupsi, sampaikan ke KPK, penyidik, atau ke LSM yang peduli dengan persoalan korupsi.
Bila masyarakat diam dan membiarkanya, maka pelaku korupsi akan terus menggurita di bumi ini. Jangan biarkan uang negara yang berasal dari rakyat “ditelan” oleh mereka yang seharusnya bekerja untuk kesejahteraan rakyat.
Angka kemiksinan di negeri ini masih tinggi, sementara mereka yang masuk dan akan masuk juruji besi juga akan bertambah karena korupsi. Kini kembali ke kita, apakah kita peduli? Kalau bukan kita siapa lagi?