Lenyapnya Religiusitas
Font: Ukuran: - +
Oleh: Otto Syamsuddin Ishak
Bagaimanakah afinitas (saling melimpahi) antara etika kesalehan dan spirit berilmu pengetahuan?
Dalam kehidupan sehari-hari ada banyak ragam fenomena tentang realitas etika dan semangat berilmu pengetahuan.
Ada akademisi yang laju penguasaan ilmu pengetahuan pada bidangnya terus meninggi - secara struktural jenjang kepangkatan terus meningkat - dan jabatan struktural di akademi pun terus memuncak.
Tetapi di sisi lain, perilaku keberagamaannya - yang mencerminkan etika kesalehan - justru tumbuh berbanding terbalik. Bahkan perilakunya dalam pelayanan akademik banyak menjadi gunjingan yang menandakan amoralitas.
Lebih tragis lagi, peningkatan struktural keilmuannya begitu cemerlang, namun ditemukan ada banyak tindakan plagiasi. Majalah Mingguan Tempo, yang dikenal memiliki jam yang panjang di dalam melakukan investigasi, dalam usianya ke 50 tahun, menurunkan laporan utamanya dengan tajuk “Wajah Kusam Kampus”.
Akibat kejar pangkat, katanya, yang menjadi basis karir struktural di akademi, maka sejumlah rektor diduga potensial melakukan plagiasi (swaplagiarisme) untuk memproduksi karya ilmiahnya. Perkembangan struktural melejit ke atas, sekaligus perkembangan kultural di akademisi justru menukik ke bawah.
Hal itu merupakan penilaian tentang dunia akademi secara akademis. Lalu, bagaimana penilaian publik terhadap kapasitas dan integritas para akademisi. Karena, betapa pun sibuknya dengan dunia akademi, tetap saja akademisi adalah insan sosial juga. Ia tetap berinteraksi dengan komunitas sekitar di dalam keseharian hidupnya.
Pemahaman dari kalangan awam cenderung bertolak dari perspektif moral sosial. Tepatnya, publik cenderung melihat dari sudut religiusitas seseorang.
Maka perlulah kiranya para akademisi, sejak awal, untuk memahami apa yang dikatakan oleh Al-Utsaimin bahwa “ilmu adalah ibadah.” Bahkan ia mengatakan di dalam karyanya Syarah Hilyah Thalibil Ilmi, bahwa “ilmu adalah shalat secara rahasia dan ibadah hati.” Oleh karena itu, adalah wajib untuk menjaga niat dari merasuknya tujuan lain.
Bilamana niat terjaga, maka terjaga keseimbangan relasi antara peningkatan kapasitas dan keteguhan integritas di dalam meniti karir. Lalu, peningkatan kesalehan dan penguasaan keilmuan, serta jenjang struktural saling melimpahi. Bukannya, yang satu mematikan yang lain.
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat sering bertanya: di satu pihak, pemahaman keagamaannya baik, dan pemahaman keilmuannya tinggi, tetapi di lain pihak, mengapa kebijakan atau tindakannya mencelakakan orang lain?
Ada baiknya kita camkan pengalaman Sufyan ra: “Aku telah dianugerahi pemahaman Al-Qur’an, akan tetapi, saat aku menerima shurrah (hadiah) dari penguasa, hilanglah pemahamanku”.
Karir struktural, yang diberikan oleh pejabat, menjadi tantangan selanjutnya. Apalagi didorong oleh ambisi untuk meningkatkan karir struktural, maka kedua hal itu akan mensirnakan niat yang dicanangkan pada mula melangkah menuntut ilmu.
Karena jabatan itu didapat tidak berlandaskan pada kapasitas keilmuan semata, melainkan dari anugerah atasannya, yang telah menguji loyalitas personalnya, dan disertai oleh ambisi pribadi.
Perihal itu, para ulama salaf mengingatkan bahwa “sesungguhnya mereka tidak memberi kita sesuatu kecuali untuk menukar agama kita dengan dunia mereka.”
Bila agama telah tergadaikan maka segala kebijakan dan tindakan mereka yang berilmu pengetahuan menjadi potensial mudharat bagi sekalian alam. Publik yang menjadi subyek kebijakan itu tidak mendapatkan kemaslahatan dari ketinggian keilmuan dan struktural akademisi itu.*
*Penulis adalah sosiolog, yang tinggal di Banda Aceh.