Makna Sosiologis Azan
Font: Ukuran: - +
Oleh: Otto Syamsuddin Ishak
Ini cerita 1970-an akhir di Yogya. Saya baru tiba Yogya, meskipun saya sendiri adalah kelahiran Yogya, namun dibesarkan di Aceh.
Pada 1960-an akhir, setiap Ramadhan saya dibawa pulang ke tempat Kakek-Nenek (tepatnya, Yahwa dari Bapak) di Tijue dan Bambi, Sigli. Hal yang menyenangkan, abang membawa saya naik kereta api.
Kalau turun di Tijue, maka kereta bisa berhenti sejenak di Cot Gapue; dan kalau kami turun di Bambi, maka kereta api berhenti di Balee On.
Pada saat itu, saya berusia 9-10 tahun. Sebagaimana umumnya suasana keislaman di Aceh, menjelang waktu shalat dan berbuka puasa, selalu mendengan suara pengajian dari pengeras suara di meunasah, lalu ada suara beduk, baru kemudian suara azan dan iqamat.
Pada akhir 1970-an, saya menikmati Ramadhan di kota kelahiran saya. Jelang saat magrib, saya keluar dari kos-kosan mencari makanan untuk berbuka di warung tegal, pinggir jalan.
Saya diterpa kebingungan: orang pada makan minum dan merokok sebagaimana bukan di dalam suasana Ramadhan di Aceh. Apalagi, masuk waktu magrib tidak terdengar suara azan maupun beduk.
Begitulah, azan dari pengeras suara menjadi penting secara sosial atau kultural untuk saya yang dibesarkan di Aceh. Memang azan panggilan untuk beribadah. Tapi azan juga pertanda pergantian waktu secara sosial.
Irama hidup sehari-hari mengikuti beduk dan azan, yang karena teknologi, azan beralih ke pengeras suara. Azan Subuh pertanda penjual kopi sudah memanaskan air. Abis subuh, ibu-ibu mengantarkan kue produknya ke warung.
Azan Dhuhur sudah mengganti bubuk kopi baru. Azan Ashar sudah menganti penjaga karena ia harus mencari rumput untuk kambing dan lembunya, atau menyiram tanaman sayurannya. Azan Magrib sudah berada di meunasah hingga azan Isya.
Rupa-rupanya, kemunculan azan menjadi diskursus di masa Rasulullah Saw di Madinah, pada awal Hijriyah. Bagaimana metode memberitahu umat yang terbaik bahwa waktu shalat tiba. Nampaknya, tentu kalau ditafsir sekarang, azan harus bersifat khas Islam.
Karena, Nabi menolak usulan untuk menggunakan terompet dan lonceng. Karena itu, azan pun menjadi salah satu identitas penting bagi komunitas muslim.
Karena tujuan dasarnya untuk memberitahu jamaah, dan belum didukung oleh teknologi, maka sosok pilihan muazin jatuh pada Bilal: suaranya keras dan enak ditelinga. Untuk itu, Bilal melantunkan azan dari tempat yang tinggi.
Hal ini rupanya mempengaruhi arsitektur masjid, yakni harus ada menara (yang juga berfungsi lain, yakni untuk melihat posisi matahari dan bulan).
Akhirnya, diskursus azan terjawab manakala seorang sahabat Nabi SAW, Abdullah bin Zaid bermimpi dan melaporkan kepada Rasulullah, berikut lafalnya. Nabi Saw merespon: "itu adalah penglihatan yang nyata, dan dia (Bilal) mesti menggunakan itu untuk memanggil orang untuk sholat, karena dia lebih keras suaranya daripada kalian.
Suara yang keras menjadi penting, dan konteks sosiologis keagamaan di Madinah pada saat itu juga masih majemuk.
Fenomena-fenomena sosial, kata sosiolog, baik kita sadari maupun tidak, adalah mengkonstruksi siapa kita. Saya dikonstruksi oleh fenomena sosial di Aceh. Begitu gejala-gejala sosial yang lazim saya dapatkan dalam keseharian di Aceh, lalu tidak saya dapatkan di Yogya, maka saya merasa asing, dan kehilangan pedoman sosial, atau mengalami disorientasi.
Demikian juga ketika saya berada di New York 2001. Saya diajak seorang teman untuk Jumatan, tapi sesampai sekitar masjid, saya beristirahat dan santai. Karena tidak memperhatikan waktu, saya diberitahu kawan bahwa sudah azan. Saya baru tersadar jika tidak ada suara azan yang terdengar keluar masjid.
Contoh lain, saya pernah mendengar rumor di masa konflik Aceh. Ada agen perjalanan yang membawa warga Aceh ke Malaysia. Mereka diberangkatkan tengah malam dengan kapal sederhana.
Setelah beberapa jam perjalanan laut, mereka dibangunkan dan diminta segera turun karena sudah sampai ke tujuan. Para penumpang patuh saja. Tapi, tak lama kemudian, mereka mendengar suara azan subuh.
Keraguan mulai muncul karena suara dan gaya alunannya seperti yang sering terdengar dari meunasah-meunasah. Suara deru mobil semakin sering, ooo…tak jauh dari jalan raya. Namun, lamat-lamat terlintas seperti warna bus Banda Aceh-Medan: ooo…sudah ditipu kita!
Baiklah, ada konteks sosial di mana suara azan diperdengarkan ke publik; dan ada konteks di mana suara azan hanya diperdengarkan pada jamaah yang sudah berada di dalam masjid. Hal itu dapat kita maklumi karena adanya keragaman konteks kehidupan keberagamaan. Apalagi bila telah menjadi identitas sebuah konteks sosial.
Sayang, bahkan sial sekali, jika dilahirkan sebuah peraturan sapujagat yang mendekonstruksi keunikan masing-masing konteks, untuk diseragamkan, sehingga toleransi terhadap kemajemukan kehidupan beragama hancur!*
*Penulis adalah sosiolog bermukim di Banda Aceh