Kamis, 18 September 2025
Beranda / Kolom / Maulid antara Khanduri Religi dan Kapitalisme Religius

Maulid antara Khanduri Religi dan Kapitalisme Religius

Rabu, 17 September 2025 14:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Firdaus Mirza

Firdaus Mirza, Sosiolog FISIP USK. Foto: doc Dialeksis


DIALEKSIS.COM | Kolom - Perayaan Maulid Nabi di Aceh telah menjadi tradisi yang mengakar. Dari gampong hingga kota, dari meunasah sederhana hingga masjid megah, Maulid dirayakan dengan meriah. Namun, di balik semarak itu, muncul pertanyaan kritis, apakah Maulid masih murni sebagai khanduri religi pesta syukur dan cinta Nabi atau telah bertransformasi menjadi wajah lain dari kapitalisme religius?

Sejak awal, Maulid adalah ungkapan cinta umat kepada Rasulullah. Ia hadir dalam bentuk doa, shalawat, zikir, dan ceramah agama. Dalam kerangka Émile Durkheim, Maulid berfungsi sebagai ritus kolektif yang memperkuat solidaritas sosial.

Di Aceh, Maulid identik dengan identitas budaya. Meunasah menjadi pusat perayaan, warga bergotong royong memasak, sementara ulama mengingatkan umat akan teladan Nabi. Hidangan bersama menciptakan rasa persaudaraan lintas keluarga dan gampong. Nilai utama dari khanduri religi ini adalah kebersamaan dan syukur.

Namun, realitas sosial hari ini menunjukkan bahwa Maulid tidak berhenti pada ruang spiritual. Ia telah merambah ke arena konsumsi, gengsi, bahkan politik.

Dalam praktik sehari-hari, jamuan makanan menjadi simbol utama Maulid di Aceh. Kuah beulangong, yang dimasak dalam kuali besar, bukan hanya makanan, melainkan tanda kehormatan sosial. Semakin banyak daging yang dimasak, semakin tinggi status gampong atau keluarga penyelenggara.

Jean Baudrillard menyebut fenomena ini sebagai konsumsi simbolik orang tidak hanya makan untuk kenyang, tetapi untuk menunjukkan status. Dalam konteks Aceh, kuah beulangong adalah tanda kehormatan dan gengsi.

Pierre Bourdieu memberi perspektif lain, bahwa Maulid adalah arena perebutan modal simbolik. Keluarga kaya yang menyumbang besar atau menggelar Maulid megah dianggap lebih religius dan terhormat. Nama penyumbang bahkan diumumkan di depan publik, semacam katalog status sosial.

Inilah wajah kapitalisme religius, dimana agama dibungkus dalam logika pasar dan gengsi, sementara ritual menjadi arena pertarungan simbol.

Festival dan Pasar

Tak hanya soal makanan, estetika Maulid juga berkembang. Panggung besar dipasang, artis religi diundang, pengeras suara berdentum hingga larut malam. Di banyak daerah, Maulid telah bergeser menjadi festival keagamaan.

Bersamaan dengan itu, ekonomi ritual bergerak cepat. Pedagang kue tradisional, penjual songkok, penyewa tenda, hingga jasa dekorasi panen rezeki. Kawasan sekitar masjid berubah menjadi pasar dadakan selama musim Maulid. Ritual sakral berbaur dengan logika pasar.

Fenomena ini menunjukkan bagaimana agama dan konsumsi saling mengikat. Dalam istilah sosiologi agama, terjadi proses komodifikasi religi dimana simbol-simbol agama menjadi komoditas yang diperjualbelikan.

Fenomena lain yang tak bisa diabaikan adalah politisasi Maulid. Max Weber pernah menyinggung proses rasionalisasi dalam agama modern. Hal ini terlihat ketika Maulid di Aceh dikelola dengan panitia resmi, proposal dana, dan sponsor, bahkan melibatkan pemerintah daerah.

Di Banda Aceh, misalnya, Maulid di Masjid Raya Baiturrahman rutin menjadi agenda resmi, dihadiri pejabat tinggi dan diliput media besar. Kehadiran pejabat di panggung Maulid sering lebih menonjol ketimbang pesan dakwah. Ritual keagamaan berubah menjadi panggung politik identitas.

Dengan demikian, Maulid tidak hanya menjadi ruang spiritual, tetapi juga instrumen legitimasi politik dan birokrasi.

Di satu sisi, Maulid menghidupkan ekonomi lokal. Tukang masak, pedagang kue, penyedia kursi, hingga peternak sapi merasakan berkahnya. Anak muda tertarik hadir, masyarakat pasca-konflik dan tsunami menemukan ruang kebersamaan.

Namun di sisi lain, muncul ketimpangan sosial. Keluarga miskin yang tak sanggup menyumbang besar sering merasa tersisih. Maulid yang seharusnya menyatukan justru menciptakan jarak sosial. Banyak keluarga mengeluh terbebani biaya hajatan yang dianggap wajib demi menjaga gengsi.

Inilah kontradiksi kapitalisme religius, di satu sisi membuka ruang ekonomi, di sisi lain menimbulkan beban sosial.

Pertanyaannya, bagaimana kita menghadapi tarik menarik antara khanduri religi dan kapitalisme religius ini?

Perlu ada kesadaran bahwa religiusitas tidak diukur dari besar kecilnya jamuan, melainkan dari akhlak yang diteladani dari Nabi. Edukasi keagamaan harus dipertegas, agar ceramah tidak hanya menjadi formalitas, melainkan benar-benar menyentuh nilai kesederhanaan dan kasih sayang Rasulullah.

Juga perlu ada budaya kesederhanaan yang ditumbuhkan kembali. Maulid harus menjadi ruang syukur, bukan ajang gengsi yang memberatkan keluarga miskin. Dan pemerintah daerah harus berhati hati, agar tidak menjadikan Maulid sekadar panggung politik atau komoditas pariwisata. Perayaan resmi tetap penting, tetapi tidak boleh menenggelamkan makna sakral.

Maulid di Aceh hari ini adalah cermin dialektika antara khanduri religi dan kapitalisme religius. Ia tetap mengajarkan cinta Nabi, tetapi sekaligus membuka ruang konsumsi, politik, dan gengsi.

Perlu disadari bahwa cinta kepada Nabi tidak ditentukan oleh banyaknya kuah beulangong atau megahnya panggung, melainkan oleh kesungguhan meneladani akhlaknya dalam kehidupan sehari-hari.

Penulis: Firdaus Mirza, Sosiolog FISIP USK

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
bpka - maulid