Rabu, 24 Desember 2025
Beranda / Kolom / Membaca Krisis Banjir Sumatra-Aceh 2025 melalui Feminisme Postkolonial

Membaca Krisis Banjir Sumatra-Aceh 2025 melalui Feminisme Postkolonial

Rabu, 24 Desember 2025 08:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Harif Aulia Rahman

Harif Aulia Rahman, Mahasiswa Prodi Ilmu Politik FISIP UIN Ar-Raniry. [Foto: HO/Dokumen untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Kolom - Banjir yang melanda wilayah Sumatra, khususnya Aceh pada tahun 2025, menjadi salah satu peristiwa bencana yang berdampak besar terhadap kehidupan sosial masyarakat. Banjir tersebut menyebabkan kerusakan rumah warga, terganggunya akses pendidikan dan kesehatan, serta terhambatnya aktivitas ekonomi masyarakat. 

Dalam banyak pemberitaan, banjir sering dijelaskan sebagai akibat dari curah hujan tinggi dan kondisi alam yang tidak menentu. Penjelasan ini memang penting, namun belum mampu menggambarkan persoalan secara utuh. Jika dilihat lebih dalam, banjir Sumatra-Aceh 2025 juga berkaitan erat dengan persoalan tata kelola lingkungan, kebijakan pembangunan, dan ketimpangan sosial yang telah berlangsung lama.

Selama ini, bencana sering dipahami sebagai peristiwa yang bersifat netral dan menimpa semua orang secara sama. Padahal, dampak bencana tidak pernah dirasakan secara merata. Kelompok masyarakat tertentu mengalami dampak yang lebih berat, terutama perempuan, anak-anak, dan masyarakat miskin. Dalam konteks banjir Sumatra-Aceh 2025, perempuan berada pada posisi yang sangat rentan karena peran sosial yang melekat pada mereka. Oleh karena itu, penting untuk melihat banjir tidak hanya sebagai persoalan alam, tetapi juga sebagai persoalan sosial dan politik yang berkaitan dengan relasi kuasa dan ketidakadilan gender.

Tulisan ini menggunakan pendekatan feminisme postkolonial untuk menganalisis banjir Sumatra-Aceh 2025. Feminisme postkolonial menekankan bahwa pengalaman perempuan di wilayah bekas jajahan, seperti Indonesia, tidak dapat dilepaskan dari sejarah kolonialisme dan dampaknya yang masih terasa hingga saat ini. Pendekatan ini juga mengkritik cara pandang pembangunan yang cenderung mengabaikan pengalaman dan suara perempuan. Dengan menggunakan perspektif ini, banjir dipahami sebagai hasil dari kebijakan dan struktur sosial yang tidak adil, bukan sekadar peristiwa alam semata.

Secara historis, Sumatra merupakan wilayah yang sejak masa kolonial telah mengalami eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran. Hutan dibuka untuk kepentingan perkebunan dan pertambangan, sementara sungai dimanfaatkan tanpa memperhatikan keseimbangan ekosistem. Pola eksploitasi ini terus berlanjut hingga masa setelah kemerdekaan melalui berbagai proyek pembangunan. Di Aceh, alih fungsi hutan dan lahan basah dalam skala besar menyebabkan berkurangnya daya serap air dan meningkatnya risiko banjir. Hal ini menunjukkan bahwa banjir bukanlah kejadian yang muncul secara tiba-tiba, melainkan akibat dari proses panjang yang berkaitan dengan kebijakan pembangunan.

Banjir Sumatra-Aceh 2025 memperlihatkan bagaimana kerusakan lingkungan berdampak langsung pada kehidupan masyarakat. Permukiman di sekitar sungai dan wilayah dataran rendah menjadi area yang paling terdampak. Dalam situasi ini, perempuan menghadapi beban yang lebih berat dibandingkan laki-laki. Perempuan tidak hanya harus menyelamatkan diri, tetapi juga bertanggung jawab terhadap keselamatan anak-anak, lansia, dan anggota keluarga lainnya. Selain itu, perempuan sering kali harus memastikan ketersediaan makanan dan kebutuhan sehari-hari di tengah keterbatasan.

Kerentanan perempuan dalam bencana banjir tidak dapat dilepaskan dari struktur sosial yang ada. Dalam masyarakat, perempuan sering memiliki akses yang lebih terbatas terhadap sumber daya ekonomi, pendidikan, dan informasi. Ketika banjir terjadi, keterbatasan ini semakin memperparah kondisi perempuan. Banyak perempuan kehilangan sumber penghidupan, terutama mereka yang bekerja di sektor informal atau mengandalkan sumber daya alam di sekitar tempat tinggalnya. Situasi ini menunjukkan bahwa kerentanan perempuan bukanlah kondisi yang alami, melainkan hasil dari ketimpangan sosial dan gender yang telah lama terbentuk.

Penanganan banjir di Sumatra dan Aceh selama ini masih didominasi oleh pendekatan teknis dan jangka pendek. Pemerintah lebih banyak berfokus pada pembangunan infrastruktur seperti tanggul, normalisasi sungai, dan penyaluran bantuan darurat. Pendekatan ini memang penting, tetapi sering kali tidak disertai dengan partisipasi masyarakat secara bermakna. Perempuan jarang dilibatkan dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan terkait penanganan banjir. Akibatnya, kebijakan yang dibuat sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan nyata perempuan di lapangan.

Selain itu, fasilitas pengungsian yang disediakan pascabanjir sering kali belum ramah gender. Banyak tempat pengungsian yang tidak memiliki ruang aman bagi perempuan dan anak-anak, serta kurang memperhatikan kebutuhan kesehatan perempuan. Kondisi ini memperlihatkan bahwa perspektif gender masih belum menjadi perhatian utama dalam kebijakan kebencanaan. Dalam kerangka feminisme postkolonial, situasi ini mencerminkan keberlanjutan relasi kuasa yang meminggirkan perempuan dari ruang-ruang pengambilan keputusan.

Kebijakan relokasi pascabanjir juga perlu dikritisi. Relokasi sering dianggap sebagai solusi untuk mengurangi risiko banjir di masa depan, tetapi kebijakan ini dapat membawa dampak sosial yang besar. Perempuan berpotensi kehilangan akses terhadap lahan, sumber air, dan jaringan sosial yang selama ini menopang kehidupan mereka. Tanpa keterlibatan perempuan dalam proses pengambilan keputusan, relokasi justru dapat memperdalam ketimpangan sosial dan gender yang sudah ada.

Meskipun menghadapi berbagai keterbatasan, perempuan di Aceh dan wilayah Sumatra lainnya tidak sepenuhnya pasif. Perempuan memiliki pengetahuan lokal yang penting terkait lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. Dalam situasi banjir, perempuan sering berperan aktif dalam membangun solidaritas komunitas, seperti mengelola dapur umum, mengatur distribusi bantuan, dan memberikan dukungan emosional bagi sesama korban banjir. Peran ini menunjukkan bahwa perempuan memiliki kapasitas sebagai agen perubahan, bukan sekadar korban bencana.

Dengan menggunakan perspektif feminisme postkolonial, banjir Sumatra-Aceh 2025 dapat dipahami sebagai hasil dari hubungan yang tidak seimbang antara manusia, alam, dan kekuasaan. Kerusakan lingkungan, kebijakan pembangunan yang tidak berkelanjutan, dan ketimpangan gender saling berkaitan dalam menciptakan kerentanan perempuan. Oleh karena itu, penanganan banjir perlu dilakukan secara lebih menyeluruh dengan melibatkan perspektif gender dan partisipasi perempuan.

Sebagai penutup, banjir Sumatra-Aceh 2025 menunjukkan bahwa bencana bukan sekadar persoalan alam, tetapi juga persoalan sosial dan politik. Perempuan merupakan kelompok yang paling terdampak sekaligus memiliki peran penting dalam proses pemulihan. Dengan mengakui peran dan pengalaman perempuan serta melibatkan mereka dalam pengambilan kebijakan, penanganan banjir di masa depan dapat menjadi lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan. [**]

Penulis: Harif Aulia Rahman (Mahasiswa Prodi Ilmu Politik FISIP UIN Ar-Raniry)

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI