Menari di Lahan Rumpet
Font: Ukuran: - +
Menari di Lahan Rumpet
Oleh: Otto Syamsuddin Ishak
Tak diduga bahwa setelah dikeluarkan sertifikat hak pakai (1992) oleh BPN Kotamadya Banda Aceh atas lahan di Kopelma Darussalam, rupanya masalah yang lalu tak selesai, masalah baru pun bermunculan.
Bahkan mereka yang terlibat dalam memproses dan menegakkan sertifikat 1992 itu menemukan nasibnya masing-masing. Mengapa demikian?
Lahan itu sudah berstatus Hak Erfpacht, yang dipegang oleh perusahaan Belanda, N.V Roempet, yang berada di dalam wilayah kekuasaan Sagi 26 Mukim, yang mana Panglima Sagi adalah Teuku Nyak Banta, yaitu ayahanda dari Teuku Nyak Arif (17 Juli 1899-4 Mei 1946).
Ketika Belanda kalah pada awal 1942, maka lahan ini otomatis kembali berada dalam penguasaan Mukim 26, yang mana Panglima Sagi 26 adalah Teuku Nyak Arif (1920).
Karena itu, lahan Kopelma Darussalam, bukanlah lahan tak bertuan, bahkan bukan pula lahan Negara dalam konteks Keindonesiaan (1945, yang mendapat pengakuan Belanda pada 1949).
Apalagi sejak 1942, lahan ini secara otomatis kembali berada di bawah penguasaan Mukim 26, karena T. Nyak Arif dan pasukannya dapat mengalahkan Belanda di dalam peperangan (1873-1942).
Kopelma Darussalam memang daerah perlintasan peperangan Kesultanan Aceh dan Belanda. Secara mudah dapat kita lihat adanya jalan raya dan pepohonan asam jawa dari Kutaraja hingga Krueng Kalee, dari simpang Tungkop hingga Aneuk Galong, dan berlanjut hingga Tanoh Abee.
Di sepanjang jalan itu kita bisa menemukan titik-titik tempur mulai dari pusat Mukim 26, Dayah Tgk Di Lamnyong, Dayah Tgk Chik Pante Kulu (1836) yang dikenal sebagai salah seorang penulis varian Hikayat Perang Sabil, Dayah Tgk Chik Krueng Kalee (1886-1973), Dayah Tgk Chik Tanoh Abe (Qadhi Rabbul Jalil), yang dari generasi ke generasi menjaga pintu masuk ke Aceh dari arah pantai Timur Utara, Aceh.
Oleh karena itu, di Kopelma Darussalam ditemukan tebaran makam para penyebar Islam dan makam-makam syuhada, serta makam serdadu Belanda. Secara historis, lahan di Kopelma Darussalam sarat dengan nilai-nilai spiritual (pendidikan dan perjuangan).
Kiranya generasi kini dapat berhati-hati bila menggelar tarian kekuasaan di Kopelma Darussalam. Itulah mengapa status lahan tersebut hanya sebagai hak pakai, bukan hak milik, baik untuk Universitas Syiah Kuala maupun Universitas Islam Negeri Ar-Raniry. Lalu, siapakah pemilik lahan tersebut?
Riwayat singkat pemilikan lahan tersebut dimulai (1) dari Mukim 26 (keluarga Teuku Nyak Arief, hingga 1958); (2) lalu wakafkan ke Pemerintah Daerah Istimewa Aceh, sejak 1958-hingga saat ini).
Lalu, pertikaian penguasaan lahan secara sepihak dan tidak adil muncul, antara Unsyiah, UIN dan Dayah Tgk Chik Pante Kulu untuk tapal batas. Lalu, berlanjut masalah penguasaan asset berupa bangunan.
Perjanjian damai Unsyiah-UIN pun gagal meskipun dicoba tengarai oleh Menteri Agama. Pertikaian merebak ke soal penggusuran warga yang disulut oleh kebijakan Rektor Unsyiah, yang bertabrakan secara beruntun dengan surat Keputusan Gubernur 012/301/1986 dan Qanun Kotamadya Banda Aceh No. 2 Tahun 2018.
Tarian yang berkuasa di lahan Rumpet terus berlanjut, sementara status hak pakai – jika mengacu pada UU No. 5 Tahun 1960 tentang Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang dirincikan dalam Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 (PP 40/1996) tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah—maka masa berlaku sertifikat 1992 yang dimiliki oleh Unsyiah dan UIN telah kadaluarsa (1992-2017).
Ada baiknya, silahkan para penguasa kampus untuk segera mengurus kembali perpanjangan status hak pakai lahan di Kopelma Darussalam, sebelum tarian kekuasaannya dilanjutkan.*
*: Penulis adalah Sosiolog, tinggal di Banda Aceh.