Menjadi Belanda...!
Font: Ukuran: - +
Catatan: Masri Amin
ACEH Tenggara 47 tahun yang lalu berdiri dan diresmikan sebagai Daerah Otonom (26/06/1974). Hal ini tidak terlepas dari perjuangan segenap rakyat Tanoh Alas, yang dimotori H.Syahadat beserta beragam tokoh multikultur.
Sebagai entitas sebuah wilayah, Tanoh Alas sebagai sebutan lain dari Aceh Tenggara telah lama eksis dalam beragam panggung episode perjuangan, salah satunya peristiwa "Kute Reh". Pembantaian di Kuta Reh terjadi pada 14 Juni 1904.
Keberutalan ini menyebabkan 2.922 warga sipil meregang nyawa, terdiri dari 1.773 laki-laki dan 1.149 perempuan. Tapi, menurut catatan Kempes dan Zentgraaff, masyarakat yang menjadi korban pembantaian itu mencapai 4.000 orang. Dibandingkan penduduk ketika itu, jumlah korban tersebut cukup besar. Sehingga peristiwa itu dijuluki "The Killing Field".
Pasukan Marechaussee Belanda di Kuta Reh memanggungkan peristiwa biadab itu dalam pose sebuah photo yang berlatar korban sahid para suhada dan seorang anak balita yang masih hidup. Pasukan Belanda itu tersenyum puas, berlagak tak bersalah atas kejahatan perang yang mereka lakukan.
Epos Kuta Reh menjadi cuplikan bukti diatas segala bukti, bahwa pejuang Tanah Alas mencintai negeri ini penuh dengan segenap cita.
Suasana Bumi Sepakat Segenep yang dinikmati hari ini merupakan jejak para pejuang terdahulu, termasuk para pendiri kabupaten. Langgam para pemimpin menjejak dalam khas masing-masing. Cara mereka membangun dan mencintai Tanoh Alas diwarnai suasana yang melekat dimasing-masing era.
Sejak kepemimpinan H.Syahadat, T.Johan S, T.Iskandar, H.Syahbudin BP, H.Armen Desky, H.Hasanuddin B hingga era kini Raidin Pinem - punya tarikan nafas tetap ingin memajukan Aceh Tenggara dengan gaya masing-masing.
Aceh Tenggara sebagai Aceh Sengsara sudah berhasil ditepis beberapa dekade lalu. Sebutan Aceh Batak - karena keberagamannya - dijawab dengan langgam syariah dengan ikon sebagai daerah terdepan dari Aceh Serambi Mekkah - Masjid Agung At-Taqwa, berhasil dilakukan.
Jujur diakui, walau tidak sengsara, namun belum juga sejahtera secara merata. Problem umum daerah pedalaman dan kadang termarjinalkan. Namun banyak juga faktor penyebabnya. Karena itu, komitmen mencintai Tanoh Alas - yang perlu terus digelorakan tanpa henti.
Kekinian, Wajah Aceh Tenggara yang terus bersolek tersabit muram. Proses politik dalam panggung pesta demokrasi di isi dengan pesta uang. Politik uang dimaknai kelaziman dan disamakan biaya politik. Ini sebuah tragedi dalam sebuah proses politik yang melahirkan pemimpin.
Proses politik yang baik saja belum tentu melahirkan pemimpin yang visioner untuk membangun, apalagi proses politiknya penuh dengan "kotoran" dan "residu". Rakyat menyiakan kesempatan untuk mendapat pemimpin yang baik - dengan selalu berkiblat pada tebaran " rente".
Siklus ini tak akan terputus bila kita tak memutusnya. Rakyat "dimiskinkan" dan "dilaparkan" dari sebuah skema yang memang dipelihara. Kesejahteraan semakin menjauh dari harapan rakyat semesta.
Polusi politik uang mewarnai langit Bumi Sepakat Segenep disaat 47 Tahun umurnya. Pemilihan Pengulu Kute (Pilkades) Serentak penuh aroma menyengat, bau busuk. Mayoritas Pilkades serentak di 269 Desa dengan 616 orang calon kepala desa mengandalkan uang untuk meraih kemenangan.
Secara telanjang kita mendengar Rp.300 ribu - Rp.500 ribu bahkan Rp 1 juta per suara demi untuk menang. Pemilih pun menciptakan pasar untuk memilih. Entah nalar apa yang merasuki para calon dan pemilih. Semua menjelma menjadi "Belanda". Semua menjadi bar-bar dan biadab laksana pasukan Belanda menghabisi pejuang Tanoh Alas dalam peristiwa Kuta Reh.
Sang calon menjual "kecap" kesejahteraan warga agar dipilih, dengan menyelipkan "amplop" untuk pemilih. Pemilih menuntut pemimpin yang baik dan transparan dalam membangun desa sembari melihat isi amplop. Sesuatu yang paradok alias sungsang cara bertindak. Ini Gila !!!
Mana mungkin sang Kades terpilih akan transparan dan amanah kalau modal besar belum kembali. Adalah mustahil meminta keadilan bila pemilih juga merampok sang calon. Belum lagi Cakades yang kalah akan bergerak merong-rong yang terpilih sepanjang kekuasaannya.
Kisruh tidak terhindarkan, begitu juga dana desa akan berpindah tujuan. Adalah gila dan ajaib bila Kades terpilih dengan modal besar akan menjalankan amanah dengan harapan sesungguhnya. Rakyat sendiri akhirnya menjadi tumbal dan korban, naif sekali.
Diantara kemuraman gelap tu, masih ada para Cakades yang punya nurani dan visi serta tidak mengandalkan uang bak lentera. Apapun hasilnya, kalian bukan "Belanda".
selamat Hari Jadi Kabupaten Aceh Tenggara ke-47. Kado untuk mu, telah lahir banyak menjelma seperti "Pasukan Marechaussee Belanda" yang cukup kejam dan keji mencabik wajah mu. Menusuk perut mu bahkan mengubur mu dalam kubangan dengan penuh kebiadaban yang berwujud sebagian warga mu yang menjadi Cakades dan Pemilih.
Maafkan Kami - Aceh Tenggara. (catatan FB)
Penulis; Sekretaris PD.Muhammadiyah Aceh Tenggara. Alumni Politik Lokal dan OTDA UGM.