Rabu, 01 Oktober 2025
Beranda / Kolom / Momentum Kesaktian Pancasila, Nasionalisme di Era Krisis Identitas

Momentum Kesaktian Pancasila, Nasionalisme di Era Krisis Identitas

Rabu, 01 Oktober 2025 09:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Firdaus Mirza Nusuary

 Firdaus Mirza, Sosiolog FISIP Universitas Syiah Kuala. Foto: Dialeksis


DIALEKSIS.COM | Kolom - Indonesia setiap 1 Oktober, selalu memperingati Hari Kesaktian Pancasila momen itu punya nilai kesejarahan bagi bumi pertiwi ini. Cara menjaga memori penting itu, tindakan nyata di sekolah maupun kantor pemerintah, upacara digelar, ikrar dibacakan, dan pidato dikumandangkan. Namun, pertanyaan yang kerap terabaikan adalah apakah Pancasila benar-benar masih “sakti” dalam menghadapi tantangan zaman, atau hanya sekadar sakti di atas podium?

Mirisnya bagi generasi yang lahir pascareformasi, Pancasila sering hadir sebatas teks hafalan, bukan napas kehidupan. Padahal, sejak awal ia dirancang bukan hanya sebagai dasar negara, melainkan juga sebagai ideologi pemersatu keragaman dan penuntun arah nasionalisme Indonesia.

Jika menelisik esensi Pancasila lahir dari pergulatan sejarah. Ia merupakan konsensus politik sekaligus kearifan budaya yang berhasil menjembatani kepentingan berbagai golongan pada 1945. Para pendiri bangsa menyadari, tanpa landasan ideologi yang bisa merangkul semua perbedaan, republik yang baru lahir akan mudah terpecah.

Namun, nilai luhur itu hari ini kerap direduksi menjadi formalitas seremonial. Sosiolog Emile Durkheim membedakan solidaritas mekanik berbasis kesamaan tradisi dan solidaritas organik berbasis saling ketergantungan dalam masyarakat modern. Indonesia jelas membutuhkan solidaritas organik, karena warganya sangat beragam. Ironisnya, keberagaman ini justru kerap dimanfaatkan sebagai alat politik untuk memecah belah, bukan untuk menguatkan persatuan.

Pemikiran tersebut dikaitkan pada praktek Pemilu 2024 menjadi salah satu contohnya. Politik identitas digunakan secara masif, mempersempit nasionalisme menjadi loyalitas kepada tokoh atau kelompok tertentu. Padahal, Sila Ketiga Persatuan Indonesia menuntut kesediaan untuk melampaui sekat primordial.

Hal terpenting selain mencermati aspek politiknya, dalam kondisi kekinian di era digital, nasionalisme sering tampil dalam bentuk simbolik: bendera merah putih dipajang di profil media sosial, tagar #IndonesiaHebat digelorakan, atau lagu kebangsaan dikumandangkan di konser musik. Semua itu penting, tetapi jelas belum cukup.

Survei Litbang Kompas (2023) menunjukkan 62 persen anak muda memaknai nasionalisme sebatas kepatuhan pada simbol negara. Artinya, mayoritas masih melihat nasionalisme dari sisi seremonial, bukan keterlibatan nyata dalam mewujudkan keadilan sosial sebagaimana digariskan dalam Sila Kelima.

Media sosial pun menjadi pedang bermata dua. Ia bisa memobilisasi solidaritas, tetapi juga memperuncing polarisasi. Hoaks politik, ujaran kebencian, dan propaganda digital memperlihatkan betapa rapuh fondasi nasionalisme kita saat ini.

Kita ketahui bersama bahwa sejak 1965, peringatan Hari Kesaktian Pancasila lebih sering dikaitkan dengan narasi bahwa Pancasila selamat dari ancaman PKI. Narasi ini memang penting, tetapi membuat kita lupa bertanya: sakti untuk apa?

Kesaktian Pancasila seharusnya tidak hanya diukur dari kemampuannya bertahan dari ideologi lain, melainkan dari daya gunanya dalam menjawab persoalan bangsa mulai dari kemiskinan, korupsi, intoleransi, hingga ketidakadilan. Faktanya, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tahun 2023 masih terpuruk di peringkat 110 dunia. Jika Pancasila benar - benar sakti, mengapa praktik korupsi tetap merajalela?

Generasi muda hari ini hidup dalam dua dunia: global dan lokal. Mereka mengidolakan budaya Korea, akrab dengan wacana feminisme global, tetapi sekaligus dituntut tetap memegang teguh nasionalisme Indonesia. Tarikan dua dunia inilah yang sering melahirkan krisis identitas.

Pancasila sebenarnya bisa menjadi jalan tengah, asalkan ia dihadirkan secara aktual. Sayangnya, pendidikan Pancasila di sekolah masih sebatas hafalan, bukan praktik. Padahal, literasi digital, pendidikan multikultural, hingga kesadaran lingkungan adalah ruang-ruang baru tempat Pancasila seharusnya bekerja.

Dasar argumentasi di atas wajib disadari untuk semua masyarakat Indonesia, bahwa Pancasila tidak akan sakti bila hanya berhenti di ruang upacara. Ia baru hidup bila diinternalisasi dalam kebijakan dan tindakan sehari-hari. Mari kita uji satu per satu melalui realitas yang terjadi di negara tercinta ini. Dimulai dari 'Sila Kedua' (Kemanusiaan yang Adil dan Beradab), faktanya sangat banyak diskriminasi terhadap kelompok minoritas masih sering terjadi.

Ditinjau dari 'Sila Keempat' (Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan), realitas terjadi demokrasi kerap direduksi menjadi transaksi politik. Masuk ke 'Sila Kelima' (Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia), tidak sejalan terhadap sila kelima karena terjadinya ketimpangan ekonomi masih tinggi, rakyat kecil sulit mengakses pendidikan dan kesehatan.

Nasionalisme sejati bukan sekadar mengibarkan bendera, melainkan memastikan seluruh warga negara terlindungi, sejahtera, dan diperlakukan adil.

Yang juga penting, teladan kepemimpinan. Nilai Pancasila hanya bisa berakar kuat bila elite politik, birokrat, dan pejabat publik menjadikannya pedoman nyata dalam keputusan, bukan hanya jargon dalam pidato. Tanpa keteladanan itu, nasionalisme mudah runtuh di tengah gempuran pragmatisme.

Pasca Pemilu 2024, polarisasi politik belum sepenuhnya reda. Di media sosial, masyarakat terjebak dalam echo chamber yang memperkuat perbedaan, bahkan dalam lingkup keluarga. Sementara itu, isu disintegrasi di daerah masih membayang, dari Papua hingga konflik tapal batas di Aceh dan Sumut.

Kondisi ini mengingatkan kita bahwa persatuan tidak boleh hanya menjadi retorika. Pancasila harus dimaknai sebagai sarana resolusi konflik berbasis keadilan. Tanpa itu, nasionalisme mudah menyusut menjadi sekadar fanatisme kelompok.

Peringatan Hari Kesaktian Pancasila seharusnya menjadi momentum untuk bergerak, bukan sekadar mengenang masa lalu. Tidak cukup hanya menghafal sila. Anak muda harus diajak mengaitkan nilai Pancasila dengan isu nyata: krisis iklim, korupsi, hingga ketidakadilan sosial.

Di era banjir hoaks, kita membutuhkan etika bermedia sosial yang berlandaskan nilai kemanusiaan dan persatuan. Nasionalisme harus diukur dari keberpihakan pada kelompok rentan, pengurangan kesenjangan, dan komitmen pada keberlanjutan lingkungan”bukan sekadar banyaknya bendera yang berkibar.

Guru, seniman, aktivis, hingga influencer perlu menghadirkan Pancasila dalam bahasa generasi muda, sehingga nilainya tidak terasa kaku atau usang. Dengan begitu, Pancasila bukan hanya milik buku teks, tetapi hadir dalam musik, film, karya seni, hingga percakapan sehari-hari.

Kesaktian Pancasila bukanlah mitos yang diwariskan, melainkan pekerjaan rumah yang terus diperbarui. Sakti artinya mampu menjawab tantangan zaman yang dihadapi kekinian mulai dari terjadinya polarisasi, krisis identitas, ketimpangan, dan korupsi.

Nasionalisme Indonesia di abad ke-21 tidak boleh berhenti pada simbol. Ia harus diwujudkan dalam kebijakan yang adil, solidaritas yang nyata, serta tindakan yang menyejahterakan rakyat.

Hari Kesaktian Pancasila adalah pengingat bahwa nasionalisme bukan warisan yang tinggal dipelihara, melainkan proyek bersama yang harus terus diperjuangkan. Kesaktian itu hanya bermakna bila nilai-nilainya benar-benar hadir dalam kehidupan sehari-hari.

Penulis: Firdaus Mirza, Sosiolog FISIP Universitas Syiah Kuala

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
bpka - maulid