Beranda / Kolom / Paska Kebenaran

Paska Kebenaran

Selasa, 03 November 2020 09:00 WIB

Font: Ukuran: - +


Oleh: Otto Syamsuddin Ishak

Kita hidup, kalau dalam perspektif sosiologis, selalu berada di dalam sebuah zaman, atau era. Jika demikian, di era apakah kita hidup sekarang? Pasca-Kebenaran. Singkatnya, di era kebohongan menjadi kebenaran (hoaks). Di mana kondisi faktual ditumpangi atau direduksi oleh kontribusi tindakan yang tidak faktual.

Apa itu?

Baru-baru ini, Jakarta mendapat Sustainainable Transport Award (STA) 2021. Lalu, Jubir Presiden, Fadjroel Rachman mengatakan perolehan award tersebut juga ada andil Jokowi-Ahok. Orang akan abai terhadap “kuburan massal” 300 bus Transjakarta di Ciputat dan Bogor. Konon proyek pengadaan bus 2012-13 itu, menurut Kejagung, ada unsur korupsi sehingga Kepala Dinas Perhubungan DKI, Udar Pristono dinyatakan oleh MA dikenakan 13 tahun penjara, denda Rp. 1 milyar, dan mengganti kerugian negara Rp. 6,7 milyar.

American Dialect Society (ADS) menduga pasca-kebenaran terkait dengan kata yang diperkenalkan oleh Stephen Colbert: 'truthiness', yang meraih predikat terpopuler pada tahun 2005. Sedangkan, Kamus Oxford menobatkan "post-truth" sebagai Word of the Year 2016. Boleh jadi, sejak tahun itulah kita masuk ke dalam era pasca-kebenaran.

Namun secara sosiologis, hal yang utama adalah perujukan pada konteks yang penting, yang dianggap cukup signifikan merubah dunia, yakni referendum Brexit (Inggris keluar dari Uni Eropa) dan liputan media mengenai pilpres AS.

Silahkan anda membaca anatomi perilaku politik untuk pemenangan Donald Trump. Di satu sisi, publik merasakan nuansa kebohongan dan rasisme, tetapi di lain sisi bahwa Trump adalah kandidat terbaik. Paska terpilih Trump terjadilah serangkaian keributan politik di parlemen, dan serangkaian keributan sosial di jalanan.

Agaknya, kita bisa membaca anatomi proses demokrasi di AS dan peristiwa setelah terpilih, seraya membayangkan kembali pilpres 2019 dan serangkaian peristiwa hari ini. Bahwa kiat menguat dikhotomi antara aspek moral dan aspek (kemenangan) untuk berkuasa.

Kita tidak lagi hidup di zaman agama sebagai sumber etika di dalam perilaku kehidupan sehari-hari, khususnya di dalam bernegara, lebih khusus lagi di dalam berpolitik, dan secara umum dalam bersaing di dalam kehidupan ini.

Bahkan bila dimensi beragama kita menonjol dalam konteks sosial, maka bersiaplah diserang label intoleran, radikal, kadrun, teroris, ISIS dan 1001 macam label yang mendegradasikan eksistensi moral di dalam kehidupan bernegara dan keseharian interaksi sosial.

Kita dipaksa untuk menjalani hidup dengan berorientasi pada capaian (output). Pada saat bersamaan kita dipaksa mengabaikan soal cara untuk mencapai (yang berbasis pada pertimbangan moral). Orang tidak berpikir dan bertindak kritis lagi- karena di sana ada aspek moral- tetapi berniatlah, berpikir dan bertindak dengan mengungkit kelemahan moral lawan atau kompetitor politik agar kita keluar sebagai pemenang, bahkan penguasa.

Agar berhasil lupakan kriteria kapasitas dan integritas. Kriteria individu yang ideal-siddiq, amanah, tabligh, dan fathanah-justru jegalan pertama untuk anda jadi pemimpin.

Kini, kita diperkenalkan dengan hoaks dan doxing sebagai instrumen untuk meraih kemenangan atau kekuasaan, dan merawat kuasa atas negara dan hukum, agar terbentuk oligarki. Karena itu, kini rezim pun membutuhkan buzzer dan influencer untuk membentuk citra dirinya di hadapan rakyatnya, yang konon secara konstitisional adalah pemilik republik ini.

Memang setiap revolusi melahirkan perspektif sosiologis yang baru, sebagaimana di era industrialisasi, demikian pula di era revolusi teknologi komunikasi. Masalahya sekarang, bagaimana teorisasi terhadap fenomena sosial yang lahir dalam konteks paska-kebenaran ini?

Bagaimana anatomi konstruksi sosial yang faktual di mana sebuah kebenaran faktual direduksi oleh penyebaran informasi yang secara struktural logis tapi dibaliknya tersusun fakta-fakta yang justru mendestruksi kebenaran struktural itu sendiri?*

Penulis adalah Ketua Pusat Riset Perdamaian dan Resolusi Konflik (PRPRK), Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.


Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI