Pemilu 2024: Pemilih Muda, Politik Dinasti, dan Potensi Polarisasi
Font: Ukuran: - +
Reporter : Rizki Aulia Rinanda
Rizki Aulia Rinanda, Mahasiswa Prodi Ilmu Politik FISIP UIN Ar-Raniry. [Foto: dok. Pribadi untuk Dialeksis.com]
DIALEKSIS.COM | Kolom - Pemilu 2024 yang baru saja selesai dilaksanakan telah menjadi ruang-ruang hangat pembicaraan. Mulai dari potensi penyalahgunaan wewenang, ancaman terhadap integritas sistem demokrasi, dan suburnya politik dinasti. Selain itu isu-isu seperti partisipasi pemilih muda dan potensi polarisasi politik juga menjadi sorotan utama.
Dalam penyelenggaraan Pemilu kemarin di Indonesia, sorotan tertuju pada isu-isu yang mengemuka, yakni partisipasi pemilih muda, pengaruh politik dinasti, dan potensi polarisasi politik.
Pemilu bukan sekedar agenda rutin dalam agenda politik, melainkan sebuah panggung penting yang mencerminkan kekuatan demokrasi dan partisipasi masyarakat dalam menentukan masa depan negara. dengan demografi pemilih yang semakin beragam, terutama dengan pertumbuhan signifikan jumlah pemilih muda, peran mereka dalam memengaruhi hasil pemilu dan agenda politik menjadi semakin krusial dan viral.
Peran serta pemilih muda dan atau pemilih pemula dalam Pemilu 2024 lalu sangat penting untuk diperhatikan. Generasi muda di indonesia memiliki potensi besar untuk memengaruhi hasil pemilu melalui partisipasi aktif mereka. Mereka cenderung lebih terbuka terhadap ide-ide baru, berorientasi terhadap isu-isu sosial, lingkungan, dan keadilan, serta memiliki akses yang luas terhadap informasi media sosial. Pemilih muda juga seringkali menjadi agen perubahan dalam masyarakat, sehingga pandangan dan aspirasi mereka harus diakomodasi oleh partai politik dan calon pemimpin agar mendapatkan dukungan yang kuat.
Namun, bukan berarti tidak ada tantangan yang dihadapi oleh pemilih muda. Tantangannya berupa cara menarik minat dan partisipasi pemilih muda yang cenderung apatis terhadap politik konvensional, pendidikan politik yang kurang, ketidakpercayaan terhadap institusi politik yang korup, serta ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah menjadi beberapa faktor yang memengaruhi partisipasi pemilih muda dalam pemilu 2024 kemarin.
Disisi lain, politik dinasti yang kerap dikaitkan dengan penyalahgunaan kekuasaan dan dominasi kelompok elite politik, menjadi fokus perhatian dalam diskusi-diskusi politik menjelang Pemilu, khususnya Pemilihan Presiden (Pilpres). Dinasti politik tidak hanya mencerminkan ketidakmerataan akses politik, tetapi juga menimbulkan pernyataan tentang keadilan, transparansi, dan akuntabilitas dalam proses politik.
Praktik politik dinasti, dimana keluarga politisi yang sama secara berulangkali menduduki jabatan politik, menjadi perhatian karena dapat menghambat rotasi kepemimpinan yang sehat dan merugikan demokrasi. Hal ini juga dapat menciptakan oligarki politik yang mempersempit ruang partisipasi politik bagi individu-individu yang tidak berasal dari keluarga politis. Oleh karena itu, pemilih diharapkan lebih kritis dalam memilih calon yang benar-benar mewakili kepentingan rakyat dan bukan hanya kepentingan keluarga politis.
Terakhir, potensi polarisasi dalam Pemilu 2024 menjadi perhatian serius. Perbedaan pandangan politik, agama, dan budaya di masyarakat dapat memicu polarisasi yang dapat mengancam stabilitas politik dan sosial. Polarisasi yang terlalu dalam dapat memecah belah masyarakat, menghambat dialog politik yang konstruktif, dan merusak kebersamaan nasional. Oleh karena itu, penting bagi semua pihak untuk mempromosikan dialog, toleransi, dan kerja sama lintas kelompok guna mencegah polarisasi yang merugi bagi bangsa.
Partisipasi aktif pemilih muda, penolakan terhadap politik dinasti, dan upaya untuk mengatasi potensi polarisasi akan menjadi kunci keberhasilan dalam membangun masa depan politik yang lebih baik bagi Indonesia. Semua pihak, baik pemilih, partai politik, maupun pemerintah, memiliki peran penting dalam menjaga integritas dan keberlangsungan demokrasi di Indonesia.
Tahun ini juga, kita akan melaksanakan Pilkada Serentak, maka ketiga isu yang sudah dipaparkan dapat menjadi kesadaran bagi penyelenggara, peserta, dan pemilih di Pilkada nanti. [**]
Penulis: Rizki Aulia Rinanda (Mahasiswa Prodi Ilmu Politik FISIP UIN Ar-Raniry)