Politik Kuasa atas Data
Font: Ukuran: - +
Reporter : Aryos Nivada
DIALEKSIS.COM | Kolom - Kasus error Bank Syariah Indonesia (BSI) yang diduga kuat terkait kejahatan siber patut dicermati dengan seksama. Memang jadi preseden buruk, ketika lembaga keuangan berlabel syariah terbesar yang jelas memiliki sistem keamanan siber, bisa takluk ditangan cyber crime geng ransomware LockBit.
Pernyataan geng ransomware LockBit itu muncul melalui akun Twitter Fusion Intelligence Center (@DarkTracer) pada Sabtu (13/5/2023) pagi. Semakin tegang ketika mengatakan mencuri sekitar 1,5 terabyte data pribadi.
Tidak bisa lagi melihatnya sebagai kejadian biasa, apalagi jika dicermati dengan kejadian-kejadian serangan siber yang juga pernah menimpa jelang Pilpres 2019. Lantas menarik menguliti lebih dalam indikasi motif dan polanya dari sebuah kejadian. Bahkan memunculkan pertanyaan tegasnya mengapa kerap terjadi jelang Pemilu, termasuk masuk transisi ke Pemilu 2024.
Kita ketahui bersama setelah error dialami BSI, kejadian yang sama juga terjadi pada bank konvensional, Bank Central Asia (BCA). Meski errornya dapat diatasi dengan cepat, tidak tertutup kemungkinan ada kaitannya juga dengan kejahatan siber.
Memang, dari aspek reputasi bank, kejadian yang menyusahkan nasabah dapat merusak kepercayaan. Kejadian yang dialami BSI dapat saja menggerus kepercayaan publik terhadap bank umum yang dijalankan secara syariah.
Seperti di Aceh misalnya, kejadian yang menimpa BSI memantik kembali munculnya wacana untuk mengajak bank konvensional untuk beroperasi di Aceh. Padahal, dalam waktu yang tidak terlalu lama, error juga dialami oleh bank konvensional BCA.
Dengan begitu, daya kritis mesti diperluas untuk mencermati peristiwa serangan hacker yang saat ini menimpa bank.
Temuan fakta lainnya, pernah terjadi di tahun 2018, jelang Pilpres 2018. Kala itu, pihak Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) melaporkan dari Januari hingga Oktober 2018 terdeteksi 207,9 juta serangan siber.
Sebelumnya, BSSN melaporkan telah terjadi 143,6 juta serangan siber sepanjang Januari hingga Juni 2018. Dan, berdasarkan laporan dari perusahaan keamanan Gemalto, ada 4,5 miliar data telah dicuri selama paruh pertama 2018.
Dari rangkaian fakta itu, memunculkan pertanyaan sederhananya, ada apa dengan kejahatan siber yang terjadi jelang Pilpres? Apakah sebatas ingin menunjukkan kuasa mereka atas data, yang dengan itu dapat mencari keuntungan ekonomi, atau ada kehendak kuasa lain yang ingin dicapai dari penguasaan atas data?
Hal terpentingnya kemana data yang dicuri geng ransomware LockBit dijual? Jika analogi konspirasi kita pakai, tidak menutup kemungkinan pencurian data sengaja dilakukan kelompok berkuasa yang mampu mengendalikan negara.
Lebih kritis lagi, tujuan mereka untuk melanggengkan kekuasaan serta mengontrol negara. Sejalan dengan rumus baku siapa yang mampu kendalikan data dan informasi, kunci menguasai manusia dan pemerintahan.
Apa ada kaitannya dengan siapa yang menguasai data, dia menguasai dunia? Dalam konteks perebutan kekuasaan maka siapa yang memiliki akses atas data, dan siapa yang menguasai data itu sendiri terbuka kemungkinan untuk menguasai permainan.
Jika ditelisik indikasi selalu kerap terjadi jelang Pemilu pencurian data, motifnya jelas ingin menguasai data pemilih di Indonesia. Tujuannya sangat rasional mengetahui peta pemilih, penggelembungan suara, hingga sinkronisasi data. Pola ini mirip sekali di setiap transisi jelang Pemilu, hanya saja caranya yang berbeda-beda untuk mengambil datanya.
Dan, melihat bagaimana berkuasanya pelaku kejahatan siber di Indonesia mengganggu data berbagai lembaga pemerintah dan swasta, maka dengan sendirinya sampai pada kesimpulan bahwa negara tidak berkuasa melindungi warga negaranya, bahkan gagal. Kegagalan negara melindungi data privasi warganya menunjukkan ketidakmampuan negara kita dalam mengontrol, mengatasi dunia siber serta perang siber.
Kesimpulan ini sangat mungkin digunakan oleh berbagai pihak untuk memanfaatkan jasa para penjahat siber untuk mencapai kehendak mereka, untuk menguasai atau mengendalikan negara dan penyelenggaranya.
Dengan begitu, siapapun yang ingin menjadi penguasa negeri, tanpa turun tangan mereka tidak akan pernah menjadi penguasa. Jadi, hanya yang mereka setujui saja dapat dimenangkan dengan kuasa data yang mereka miliki. Mmmm benarkah?. [**]
Penulis: Aryos Nivada (Direktur Utama Lingkar Sindikasi Grup]